\

Senin, 13 Juli 2009

KRISTOLOGI FEMINIS

Ludwig Feurbach , dalam sebuah tesisnya mengungkapkan bahwa Teologi adalah antropologi . Artinya, teologi semata-mata proyeksi kualitas manusia kepada Yang Ilahi. Kualitas-kualitas yang melekat pada Yang Ilahi merupakan atau bersumber dari kualitas manusia sendiri. Jadi bila manusia mengatakan Yang Ilahi baik hal tersebut muncul karena kualitas kebaikan ada pada manusia, atau bila manusia mengatakan bahwa Yang Ilahi itu penyayang karena memang rasa sayang juga terdapat atau dimiliki manusia.
Kita harus mengakui bahwa Teologi selama ini didominasi oleh laki-laki. Medan wacana Teologi dikuasai laki-laki dan terbatas bagi perempuan. Apabila ruang wacana teologi dikuasai laki-laki, maka sesuai dengan argumen Ludwig Feurbach maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pertama, penafsiran terhadap Yang Ilahi disarati kepentingan laki-laki dan kedua, kualitas yang diproyeksikan kepada Yang Ilahi adalah kualitas laki-laki, hal tersebut kemudian memberikan ekses, pertama pencitraan Yang Ilahi sebagai sosok maskulin dan yang kedua pembacaan Kitab Suci melegitimasi posisi subordinat kaum perempuan.
Hal seperti itu memancing reaksi keras dari para teolog feminis yang ingin mengoreksi gambaran Yang Ilahi dengan sifat-sifat patriarkal dan sebagai pria. Selain itu para teolog feminis ingin membaca dan menafsirkan Kitab Suci dalam terang pengalaman perempuan. Dengan demikian mereka ingin mengimbangi dan mengatasi Teologi yang selam ini hampir secara eksklusif diciptakan oleh pria dan dalam perspektif serta latar belakang pengalaman pria.

Teologi (Pembebasan) Feminis
Teologi memiliki sikap kritis berhadapan dengan aneka bentuk tindakan manusia yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia . Sebagai salah satu contoh, lahirnya Teologi Pembebasan di Amerika Latin dipicu oleh situasi kemiskinan yang dialami masyarakat setempat. Situasi seperti ini paradoks dengan khotbah tentang hidup Kerajaan Allah yang mana kehadiran Yesus ke tengah dunia merupakan revelasi Allah menegakkan keadilan dan kesejahteraan seluruh dunia dengan mengangkat orang-orang yang paling hina. Oleh sebab itu, kehadiran Teologi Pembebasan ingin membangkitkan kesadaran manusia kepada gambaran Yang Ilahi dalam karya menghapuskan penindasan.
Ciri-ciri yang menandai Teologi Pembebasan secara keseluruhan juga hampir sama menandai Teologi (Pembebasan) Feminis. Teologi ini muncul dari pengakuan akan penderitaan suatu kelompok khusus yang tertindas, yakni kaum perempuan. Situasi tersebut menggerakan sejumlah teolog feminis untuk bangkit dan meneriakkan sebuah situasi yang bertentangan dengan kehendak Allah. Tujuan berteologi ini tidak hanya memahami makna tradisi iman, tetapi juga mengubah tradisi (dominasi patriarkat). Tujuan lanjut dari teologi ini bukan melakukan diskriminasi sebaliknya, yaitu perempuan mendominasi laki-laki, seandainya hal tersebut terjadi, maka masalahnya akan sama saja akan tetapi Teologi ini menuntut setiap orang dengan hak-haknya sendiri ikut berpartisipasi menurut bakatnya, tanpa stereotip-stereotip tertentu, dan saling memberi dan menerima satu sama lain. Visi yang membimbing Teologi Feminis ialah visi suatu masyarakat manusia yang baru yang berdasarkan pada nilai-nilai saling menghargai dan timbal balik (laki-laki dan perempuan). Metode yang diterapkan oleh Teologi (pembebasan) Feminis adalah menganalisis situasi, menyelidiki tradisi untuk mencari apa yang ikut ambil bagian dalam menciptakan penindasan, dan menyelidiki lagi untuk mencari apa yang membebaskan serta menghasilkan penghargaan yang baru mengenai makna Yesus Kristus bagi kaum perempuan.
Reaksi kaum feminis atas situasi penindasan dan ketidakadilan dalam struktur masyarakat melahirkan 2 (dua) jenis aliran Teologi Feminis yaitu Teologi Feminis Revolusioner dan Teologi Feminis Reformis. Teologi Feminis Revolusioner diciptakan oleh kaum perempuan yang setelah menyelidiki tradisi Kristiani mengambil kesimpulan bahwa tradisi itu didominasi oleh kaum laki-laki dan menyatakan bahwa tradisi itu tidak dapat memberikan harapan perbaikan. Kaum perempuan dalam aliran Teologi ini biasanya memeberikan suara dengan hentakkan kaki dan meninggalkan Gereja. Mereka membentuk kelompok-kelompok untuk berdoa dan beribadat bersama-sama. Kelompok ini menganggap persaudarian adalah nilai yang besar dan mereka menyebut Allah dengan panggilan Dewi . Hal tersebut menandasakan bahwa Teologi Feminis Revolusioner tidak tertarik kepada Teologi Katolik dan refleksi tentang Yesus Kristus. Sedangkan aliran Teologi Feminis Reformis , sekalipun sependapat dengan aliran Teologi Feminis Revolusioner bahwa tradisi Kristiani telah didominasi kaum laki-laki, mereka masih melihat alasan untuk tetap berharap bahwa tradisi Kristiani dapat diubah, sebab tradisi itu juga mengandung unsur-unsur pembebasan yang kuat. Namun perbedaan antara Teologi Feminis Revolusioner dengan Teologi Feminis Reformis nampak dalam reaksi yang mereka lakukan. Teologi Feminis Reformis tetap tinggal di dalam Gereja dan berusaha mengadakan perubahan. Para teolog aliran ini mengunakan model pembebasan dalam arti mereka mengusahakan pelucutan patriarki dan keadilan yang sama terutama bagi orang-orang yang terampas dan tertindas.

Menggali Akar Permasalahan
Pada bagian terdahulu telah disebutkan mengenai metode yang diterapkan dalam Teologi (Pembebasan) Feminis yakni menganalisis situasi, menyelidiki tradisi untuk mencari apa yang ikut ambil bagian dalam menciptakan penindasan, dan menyelidiki kembali tradisi untuk mencari apa yang membebaskan kaum perempuan dalam cengkraman dominasi partriarkal. Ketiga langkah di atas akan diterapkan dalam menggali akar permasalah yang tumbuh di permukaan.
Langkah pertama dalam metode Teologi (Pembebasan) Feminis adalah menganalisis situasi. Pendekatan ini penting agar kita dapat mengetahui sebab musabab lahirnya negasi terhadap kaum perempuan dan peranannya dalam tradisi Kristiani. Berdasarkan analisis terhadap situasi yang menimpa kaum perempuan adalah karena faktor seksisme.
Seksisme seperti halnya rasisme bermuara pada penggolongan manusia, penentuan peranan-peranan tertentu dan mengingkari hak-hak orang-orang tertentu atas dasar ciri-ciri fisik. Rasisme memandang orang-orang tertentu lebih rendah martabatnya atas dasar warna kulit atau warisan budaya dan dengan gigih berusaha keras membatasi orang-orang kulit berwarna dalam ‘keranjang’ yang sudah ditakdirkan, demikian halnya atas dasar jenis kelamin, seksisme memandang kaum perempuan pada hakikatnya lebih rendah harga dirinya sebagai manusia daripada kaum laki-laki dan berusaha dengan sekuat tenaga untuk membatasi kaum perempuan dalam ‘kandang’ mereka sendiri. Dalam kedua paham tersebut, ciri-ciri fisik dipandang sebagai yang menentukan hakikat manusia, sehingga martabat luhur pribadi manusia dilanggar.
Seksisme menampakkan dirinya dalam 2 (dua) cara. Pertama, pola struktural sehingga kaum perempuan berada dalam genggaman laki-laki. Pola ini menjadikan laki-laki sebagai pusat, pemimpin, dan penguasa sementara perempuan dimarjinalkan. Pola tersebut kemudian dikenal dengan istilah patriarki . Pola penampakan seksisme yang kedua adalah mengangkat kemanusiaan laki-laki dan menjadikannya sebagai norma untuk semua orang. Pola ini dikenal dengan istilah androsentrisme. Cara berpikir androsentrik mengklaim bahwa kemanusiaan itu berpusat pada laki-laki dewasa. Perempuan dipandang sebagai manusia bukan menurut kedudukannya sebagai manusia kelas dua, kedudukannya berasal dari dan bergantung pada laki-laki. Pola pikir androsentrik dan patriarkal telah merasuki kehidupan masyarakat dan Gereja. Hampir semua teolog laki-laki yang berpengaruh dalam tradisi telah berpikir menurut pola tersebut, sebutlah Tertulianus, Augustinus, dan Paulus. Salah satu surat Paulus kepada Timotius berbunyi demikian “Aku tidak mengijinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengijinkannya memerintah laki-laki; Hendaknya ia berdiam diri. Karena Adam yang pertama dijadikan, kemudian barulah Hawa. Lagipula bukan
Adam yang tergoda, melainkan perempuan itulah yang tergoda dan jatuh ke dalam dosa” (bdk. 1 Tim. 2:11-14). Seksisme dengan struktur patriakalnya dan pemikiran androsentriknya telah membuat perempuan mengalami penderitaan yang sistematis.
Dalam tradisi klasik, Augustinus dan masyarakat umumnya berpendapat bahwa kesombongan adalah dosa asal yang menyebabkan manusia jatuh dalam dosa. Para teolog feminis berpendapat bahwa itu (mungkin) ada benarnya untuk laki-laki, namun untuk perempuan lebih besar kemungkinannya dosa asal timbul sebagai bentuk hilangnya pusat, buyarnya kepribadian, kurangnya kesadaran diri sehingga orang hanyut atau tidak tentu arah. Di sisi lain, seksisme juga merendahkan laki-laki, laki-laki biasa mengembangkan kemanusiaannya secara sempit (menjadi kuat, rasional, menguasai). Laki-laki juga tidak boleh mengembangkan kemanusiaannya dalam semua dimensinya, kita semua terkungkung dalam stereotip-stereotip.
Teologi Feminis telah mengembangkan sebuah kriteria atau prinsip kritis untuk menilai sistem seksisme. Menurut rumusan Rosemary Radford Ruether, prinsip itu adalah nilai kemanusiaan sepenuhnya kaum perempuan yang merunjuk kepada Gaudium et Spes, 29 tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini. Apa pun yang memampukan nilai ini tumbuh dan berkembang bersifat menebus dan berasal dari Allah; apa pun yang mengerdilakan nilai ini bersifat tidak menebus dan bertentangan dengan kehendak Allah. Dengan mengingat hal ini maka seksisme sendiri dinilai berdosa.

Kritik atas Kristologi
Langkah kedua dalam berteologi (pembebasan) feminis adalah analisis atas tradisi. Kristologi merupakan salah satu ajaran Gereja yang paling banyak mengundang kontroversial. Hal ini disebabkan karena Kristologi banyak digunakan sebagai ‘buldozer’ untuk menindas kaum perempuan. Titik penyulut dalam Kristologi adalah cara penafsiran kelaki-lakian Yesus. Kekhususan historis-Nya (laki-laki) juga dilabelkan pada diri Allah, karena Yesus laki-laki maka Allah juga laki-laki. Sehingga gambaran Allah yang dicitrakan seperti seorang perempuan tidak mendapat tempatnya. Namun dalam Kitab Kejadian, sebenarnya tertulis jelas bahwa Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan adalah sama-sama citra Allah, maka tidak ada diskriminasi di sini. Masih bertalian dengan ayat Kitab tersebut Teologi Feminis berpikir bahwa bila laki-laki dan perempuan diciptakan menurut citra Allah maka Allah dapat digambarkan sebagai laki-laki ataupun sebagai perempuan.

Kristologi Pembebasan Feminis
Metode terakhir dalam berteologi (pembebasan) feminis adalah menyelidiki tradisi untuk menemukan unsur-unsur Kristologi yang membebaskan kaum perempuan. Penyelidikan atas tradisi itu akhirnya sampai pada kesimpulan, pertama, pengajaran Yesus memaklumkan keadilan dan damai sejahtera untuk semua orang, termasuk kaum perempuan. Para teolog pembebasan melihat bahwa dalam pengajaran Yesus justru orang yang tersisih dan tersingkir dalam struktur-struktur yang sudah mapanlah yang ditempatkan pertama sebagai pemerintahan Allah, bukan untuk menciptakan diskriminasi melainkan mendobrak pola lama diskriminasi dan menciptakan pola relasi baru. Kedua, Yesus memanggil Allah sebagai Abba juga membebaskan, sebab menurut pemahaman Yesus, Abba adalah kebalikan dari patriarki yang mendominasi. Sebaliknya, Abba yang penuh belas kasih, mesra, dan erat ini membebaskan setiap orang dari pola-pola dominasi. Ketiga, perilaku Yesus yang khas, yaitu memihak kaum marjinal, meliputi kaum perempuan sebagai pihak yang tertindas dari kaum yang tertindas dalam setiap kelompok. Teladan Yesus sendiri telah membuat seorang teolog feminis berkomentar bahwa masalahnya bukan bahwa Yesus itu laki-laki, melainkan bahwa lebih banyak laki-laki tidak seperti Yesus. Keempat, kisah-kisah tentang perempuan dalam Injil ditafsirkan dari sudut pandang feminis, menjadi jelas bahwa meskipun hal ini telah disisihkan dalam tradisi androsentrik, Yesus memanggil perempuan-perempuan untuk menjadi murid-murid-Nya. Kelima, selain berkeliling bersama dengan Yesus di Galilea, perempuan-perempuan yang menjadi murid-murid-Nya juga mengikuti-Nya sampai ke Yerusalem. Keenam, dalam dasawarsa pertama Gereja, ada bukti yang kuat bahwa perempuan-perempuan menunaikan pelayanan yang gigih sebagai rekan dari para laki-laki.
Kristologi Pembebasan Feminis telah menemukan Yesus sebagai Sang Pembebas, bukan dalam arti umum yang berkenaan dengan orang-orang miskin tetapi khususnya berkenaan dengan kaum perempuan. Ia membawa keselamatan melalui hidup dan Roh-Nya, mengembalikan kaum perempuan kepada martabat pribadi yang sepenuhnya dalam Kerajaan atau Pemerintahan Allah., serta mengilhami mereka untuk membebaskan diri dari struktur-struktur dominasi dan subordinasi.

DAFTAR PUSTAKA

Banawiratma, JB dan Sindhunata, Di Bawah Bayang-Bayang Kekuasaan Lelaki, BASIS no 07-08 Tahun ke-45, Yogyakarta, Kanisius, Oktober 1996.

Budi Hardiman, F., Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Chang, William, Berteologi Pembebasan, Jakarta, Obor, Juni 2005.

Gahral Adian, Doni, Tealogi, Spiritualitas, dan Keberpihakan pada Perempuan, dalam Jurnal Perempuan seri 20, Jakarta, Yayasan Jurnal Perempuan, 2001.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Senin, 13 Juli 2009

KRISTOLOGI FEMINIS

Ludwig Feurbach , dalam sebuah tesisnya mengungkapkan bahwa Teologi adalah antropologi . Artinya, teologi semata-mata proyeksi kualitas manusia kepada Yang Ilahi. Kualitas-kualitas yang melekat pada Yang Ilahi merupakan atau bersumber dari kualitas manusia sendiri. Jadi bila manusia mengatakan Yang Ilahi baik hal tersebut muncul karena kualitas kebaikan ada pada manusia, atau bila manusia mengatakan bahwa Yang Ilahi itu penyayang karena memang rasa sayang juga terdapat atau dimiliki manusia.
Kita harus mengakui bahwa Teologi selama ini didominasi oleh laki-laki. Medan wacana Teologi dikuasai laki-laki dan terbatas bagi perempuan. Apabila ruang wacana teologi dikuasai laki-laki, maka sesuai dengan argumen Ludwig Feurbach maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pertama, penafsiran terhadap Yang Ilahi disarati kepentingan laki-laki dan kedua, kualitas yang diproyeksikan kepada Yang Ilahi adalah kualitas laki-laki, hal tersebut kemudian memberikan ekses, pertama pencitraan Yang Ilahi sebagai sosok maskulin dan yang kedua pembacaan Kitab Suci melegitimasi posisi subordinat kaum perempuan.
Hal seperti itu memancing reaksi keras dari para teolog feminis yang ingin mengoreksi gambaran Yang Ilahi dengan sifat-sifat patriarkal dan sebagai pria. Selain itu para teolog feminis ingin membaca dan menafsirkan Kitab Suci dalam terang pengalaman perempuan. Dengan demikian mereka ingin mengimbangi dan mengatasi Teologi yang selam ini hampir secara eksklusif diciptakan oleh pria dan dalam perspektif serta latar belakang pengalaman pria.

Teologi (Pembebasan) Feminis
Teologi memiliki sikap kritis berhadapan dengan aneka bentuk tindakan manusia yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia . Sebagai salah satu contoh, lahirnya Teologi Pembebasan di Amerika Latin dipicu oleh situasi kemiskinan yang dialami masyarakat setempat. Situasi seperti ini paradoks dengan khotbah tentang hidup Kerajaan Allah yang mana kehadiran Yesus ke tengah dunia merupakan revelasi Allah menegakkan keadilan dan kesejahteraan seluruh dunia dengan mengangkat orang-orang yang paling hina. Oleh sebab itu, kehadiran Teologi Pembebasan ingin membangkitkan kesadaran manusia kepada gambaran Yang Ilahi dalam karya menghapuskan penindasan.
Ciri-ciri yang menandai Teologi Pembebasan secara keseluruhan juga hampir sama menandai Teologi (Pembebasan) Feminis. Teologi ini muncul dari pengakuan akan penderitaan suatu kelompok khusus yang tertindas, yakni kaum perempuan. Situasi tersebut menggerakan sejumlah teolog feminis untuk bangkit dan meneriakkan sebuah situasi yang bertentangan dengan kehendak Allah. Tujuan berteologi ini tidak hanya memahami makna tradisi iman, tetapi juga mengubah tradisi (dominasi patriarkat). Tujuan lanjut dari teologi ini bukan melakukan diskriminasi sebaliknya, yaitu perempuan mendominasi laki-laki, seandainya hal tersebut terjadi, maka masalahnya akan sama saja akan tetapi Teologi ini menuntut setiap orang dengan hak-haknya sendiri ikut berpartisipasi menurut bakatnya, tanpa stereotip-stereotip tertentu, dan saling memberi dan menerima satu sama lain. Visi yang membimbing Teologi Feminis ialah visi suatu masyarakat manusia yang baru yang berdasarkan pada nilai-nilai saling menghargai dan timbal balik (laki-laki dan perempuan). Metode yang diterapkan oleh Teologi (pembebasan) Feminis adalah menganalisis situasi, menyelidiki tradisi untuk mencari apa yang ikut ambil bagian dalam menciptakan penindasan, dan menyelidiki lagi untuk mencari apa yang membebaskan serta menghasilkan penghargaan yang baru mengenai makna Yesus Kristus bagi kaum perempuan.
Reaksi kaum feminis atas situasi penindasan dan ketidakadilan dalam struktur masyarakat melahirkan 2 (dua) jenis aliran Teologi Feminis yaitu Teologi Feminis Revolusioner dan Teologi Feminis Reformis. Teologi Feminis Revolusioner diciptakan oleh kaum perempuan yang setelah menyelidiki tradisi Kristiani mengambil kesimpulan bahwa tradisi itu didominasi oleh kaum laki-laki dan menyatakan bahwa tradisi itu tidak dapat memberikan harapan perbaikan. Kaum perempuan dalam aliran Teologi ini biasanya memeberikan suara dengan hentakkan kaki dan meninggalkan Gereja. Mereka membentuk kelompok-kelompok untuk berdoa dan beribadat bersama-sama. Kelompok ini menganggap persaudarian adalah nilai yang besar dan mereka menyebut Allah dengan panggilan Dewi . Hal tersebut menandasakan bahwa Teologi Feminis Revolusioner tidak tertarik kepada Teologi Katolik dan refleksi tentang Yesus Kristus. Sedangkan aliran Teologi Feminis Reformis , sekalipun sependapat dengan aliran Teologi Feminis Revolusioner bahwa tradisi Kristiani telah didominasi kaum laki-laki, mereka masih melihat alasan untuk tetap berharap bahwa tradisi Kristiani dapat diubah, sebab tradisi itu juga mengandung unsur-unsur pembebasan yang kuat. Namun perbedaan antara Teologi Feminis Revolusioner dengan Teologi Feminis Reformis nampak dalam reaksi yang mereka lakukan. Teologi Feminis Reformis tetap tinggal di dalam Gereja dan berusaha mengadakan perubahan. Para teolog aliran ini mengunakan model pembebasan dalam arti mereka mengusahakan pelucutan patriarki dan keadilan yang sama terutama bagi orang-orang yang terampas dan tertindas.

Menggali Akar Permasalahan
Pada bagian terdahulu telah disebutkan mengenai metode yang diterapkan dalam Teologi (Pembebasan) Feminis yakni menganalisis situasi, menyelidiki tradisi untuk mencari apa yang ikut ambil bagian dalam menciptakan penindasan, dan menyelidiki kembali tradisi untuk mencari apa yang membebaskan kaum perempuan dalam cengkraman dominasi partriarkal. Ketiga langkah di atas akan diterapkan dalam menggali akar permasalah yang tumbuh di permukaan.
Langkah pertama dalam metode Teologi (Pembebasan) Feminis adalah menganalisis situasi. Pendekatan ini penting agar kita dapat mengetahui sebab musabab lahirnya negasi terhadap kaum perempuan dan peranannya dalam tradisi Kristiani. Berdasarkan analisis terhadap situasi yang menimpa kaum perempuan adalah karena faktor seksisme.
Seksisme seperti halnya rasisme bermuara pada penggolongan manusia, penentuan peranan-peranan tertentu dan mengingkari hak-hak orang-orang tertentu atas dasar ciri-ciri fisik. Rasisme memandang orang-orang tertentu lebih rendah martabatnya atas dasar warna kulit atau warisan budaya dan dengan gigih berusaha keras membatasi orang-orang kulit berwarna dalam ‘keranjang’ yang sudah ditakdirkan, demikian halnya atas dasar jenis kelamin, seksisme memandang kaum perempuan pada hakikatnya lebih rendah harga dirinya sebagai manusia daripada kaum laki-laki dan berusaha dengan sekuat tenaga untuk membatasi kaum perempuan dalam ‘kandang’ mereka sendiri. Dalam kedua paham tersebut, ciri-ciri fisik dipandang sebagai yang menentukan hakikat manusia, sehingga martabat luhur pribadi manusia dilanggar.
Seksisme menampakkan dirinya dalam 2 (dua) cara. Pertama, pola struktural sehingga kaum perempuan berada dalam genggaman laki-laki. Pola ini menjadikan laki-laki sebagai pusat, pemimpin, dan penguasa sementara perempuan dimarjinalkan. Pola tersebut kemudian dikenal dengan istilah patriarki . Pola penampakan seksisme yang kedua adalah mengangkat kemanusiaan laki-laki dan menjadikannya sebagai norma untuk semua orang. Pola ini dikenal dengan istilah androsentrisme. Cara berpikir androsentrik mengklaim bahwa kemanusiaan itu berpusat pada laki-laki dewasa. Perempuan dipandang sebagai manusia bukan menurut kedudukannya sebagai manusia kelas dua, kedudukannya berasal dari dan bergantung pada laki-laki. Pola pikir androsentrik dan patriarkal telah merasuki kehidupan masyarakat dan Gereja. Hampir semua teolog laki-laki yang berpengaruh dalam tradisi telah berpikir menurut pola tersebut, sebutlah Tertulianus, Augustinus, dan Paulus. Salah satu surat Paulus kepada Timotius berbunyi demikian “Aku tidak mengijinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengijinkannya memerintah laki-laki; Hendaknya ia berdiam diri. Karena Adam yang pertama dijadikan, kemudian barulah Hawa. Lagipula bukan
Adam yang tergoda, melainkan perempuan itulah yang tergoda dan jatuh ke dalam dosa” (bdk. 1 Tim. 2:11-14). Seksisme dengan struktur patriakalnya dan pemikiran androsentriknya telah membuat perempuan mengalami penderitaan yang sistematis.
Dalam tradisi klasik, Augustinus dan masyarakat umumnya berpendapat bahwa kesombongan adalah dosa asal yang menyebabkan manusia jatuh dalam dosa. Para teolog feminis berpendapat bahwa itu (mungkin) ada benarnya untuk laki-laki, namun untuk perempuan lebih besar kemungkinannya dosa asal timbul sebagai bentuk hilangnya pusat, buyarnya kepribadian, kurangnya kesadaran diri sehingga orang hanyut atau tidak tentu arah. Di sisi lain, seksisme juga merendahkan laki-laki, laki-laki biasa mengembangkan kemanusiaannya secara sempit (menjadi kuat, rasional, menguasai). Laki-laki juga tidak boleh mengembangkan kemanusiaannya dalam semua dimensinya, kita semua terkungkung dalam stereotip-stereotip.
Teologi Feminis telah mengembangkan sebuah kriteria atau prinsip kritis untuk menilai sistem seksisme. Menurut rumusan Rosemary Radford Ruether, prinsip itu adalah nilai kemanusiaan sepenuhnya kaum perempuan yang merunjuk kepada Gaudium et Spes, 29 tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini. Apa pun yang memampukan nilai ini tumbuh dan berkembang bersifat menebus dan berasal dari Allah; apa pun yang mengerdilakan nilai ini bersifat tidak menebus dan bertentangan dengan kehendak Allah. Dengan mengingat hal ini maka seksisme sendiri dinilai berdosa.

Kritik atas Kristologi
Langkah kedua dalam berteologi (pembebasan) feminis adalah analisis atas tradisi. Kristologi merupakan salah satu ajaran Gereja yang paling banyak mengundang kontroversial. Hal ini disebabkan karena Kristologi banyak digunakan sebagai ‘buldozer’ untuk menindas kaum perempuan. Titik penyulut dalam Kristologi adalah cara penafsiran kelaki-lakian Yesus. Kekhususan historis-Nya (laki-laki) juga dilabelkan pada diri Allah, karena Yesus laki-laki maka Allah juga laki-laki. Sehingga gambaran Allah yang dicitrakan seperti seorang perempuan tidak mendapat tempatnya. Namun dalam Kitab Kejadian, sebenarnya tertulis jelas bahwa Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan adalah sama-sama citra Allah, maka tidak ada diskriminasi di sini. Masih bertalian dengan ayat Kitab tersebut Teologi Feminis berpikir bahwa bila laki-laki dan perempuan diciptakan menurut citra Allah maka Allah dapat digambarkan sebagai laki-laki ataupun sebagai perempuan.

Kristologi Pembebasan Feminis
Metode terakhir dalam berteologi (pembebasan) feminis adalah menyelidiki tradisi untuk menemukan unsur-unsur Kristologi yang membebaskan kaum perempuan. Penyelidikan atas tradisi itu akhirnya sampai pada kesimpulan, pertama, pengajaran Yesus memaklumkan keadilan dan damai sejahtera untuk semua orang, termasuk kaum perempuan. Para teolog pembebasan melihat bahwa dalam pengajaran Yesus justru orang yang tersisih dan tersingkir dalam struktur-struktur yang sudah mapanlah yang ditempatkan pertama sebagai pemerintahan Allah, bukan untuk menciptakan diskriminasi melainkan mendobrak pola lama diskriminasi dan menciptakan pola relasi baru. Kedua, Yesus memanggil Allah sebagai Abba juga membebaskan, sebab menurut pemahaman Yesus, Abba adalah kebalikan dari patriarki yang mendominasi. Sebaliknya, Abba yang penuh belas kasih, mesra, dan erat ini membebaskan setiap orang dari pola-pola dominasi. Ketiga, perilaku Yesus yang khas, yaitu memihak kaum marjinal, meliputi kaum perempuan sebagai pihak yang tertindas dari kaum yang tertindas dalam setiap kelompok. Teladan Yesus sendiri telah membuat seorang teolog feminis berkomentar bahwa masalahnya bukan bahwa Yesus itu laki-laki, melainkan bahwa lebih banyak laki-laki tidak seperti Yesus. Keempat, kisah-kisah tentang perempuan dalam Injil ditafsirkan dari sudut pandang feminis, menjadi jelas bahwa meskipun hal ini telah disisihkan dalam tradisi androsentrik, Yesus memanggil perempuan-perempuan untuk menjadi murid-murid-Nya. Kelima, selain berkeliling bersama dengan Yesus di Galilea, perempuan-perempuan yang menjadi murid-murid-Nya juga mengikuti-Nya sampai ke Yerusalem. Keenam, dalam dasawarsa pertama Gereja, ada bukti yang kuat bahwa perempuan-perempuan menunaikan pelayanan yang gigih sebagai rekan dari para laki-laki.
Kristologi Pembebasan Feminis telah menemukan Yesus sebagai Sang Pembebas, bukan dalam arti umum yang berkenaan dengan orang-orang miskin tetapi khususnya berkenaan dengan kaum perempuan. Ia membawa keselamatan melalui hidup dan Roh-Nya, mengembalikan kaum perempuan kepada martabat pribadi yang sepenuhnya dalam Kerajaan atau Pemerintahan Allah., serta mengilhami mereka untuk membebaskan diri dari struktur-struktur dominasi dan subordinasi.

DAFTAR PUSTAKA

Banawiratma, JB dan Sindhunata, Di Bawah Bayang-Bayang Kekuasaan Lelaki, BASIS no 07-08 Tahun ke-45, Yogyakarta, Kanisius, Oktober 1996.

Budi Hardiman, F., Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Chang, William, Berteologi Pembebasan, Jakarta, Obor, Juni 2005.

Gahral Adian, Doni, Tealogi, Spiritualitas, dan Keberpihakan pada Perempuan, dalam Jurnal Perempuan seri 20, Jakarta, Yayasan Jurnal Perempuan, 2001.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar