\

Senin, 26 April 2010

Berguru pada Seorang Jose Mourinho

Begitu susunan semifinalis Liga Champions (LC) diketahui, diantaranya Barcelona akan berhadapan dengan Inter Milan, banyak orang langsung memplot El Barca bakal medepak I Nerazzurri. Hal tersebut sangat beralasan sebab kiprah I Nerazzurri di musim ini tidak bisa dibilang istimewa. Saat menjamu El Barca di Giuseppe Meazza dalam penyisihan Grup F LC, Javier Zanneti cs hanya mampu menahan Charles Puyol cs dengan skor kaca mata (0-0). Dan ketika mereka bertandang ke Camp Nou-markas Barcelona, pasukan biru hitam itu harus pulang dengan kepala tertunduk setelah dilibas El Barca 2-0. Dengan demikian saat leg pertama semifinal LC mempertemukan kembali tim perwakilan Spanyol dan Italia, El Barca digadang-gadang bakal memperberat langkah I Nerazurri. Euforia publik Catalan kian meledak ketika Maxwell memberikan assist kepada Pedro Rodriques dan mengubah kedudukan menjadi 1-0 untuk El Barca. Namun kegembiraan itu hanya bertahan beberapa menit saja ketika Wesley Sneijder melesakan bola ke sudut kanan gawang yang tak mampu dijangkau kiper Victor Valdes. Skor menjadi imbang 1-1 hingga turun minum.
Babak kedua mulai bergulir, El Barca meningkatkan daya serang, namun langkah Lionel Messi cs nyaris tak sampai memasuki kotak penalti. Pergerakan Xavi Hernandes sebagai dirigen pengatur irama serang El Barca tak bisa bekerja secara optimal. Bahkan sang dewa-julukan Messi-yang banyak diharapkan bisa membuat ‘mukjizat’ tidak mampu berkutik. Tendangan keras La Messiah memang sempat membuat jantung melonjak tetapi tendangan itu mampu dimentahkan kiper Julio Caesar yang penampilannya sangat gemilang pagi itu. Keberanian Pique meninggalkan ‘sarangnya’ dan melesak ke wilayah Caesar memang sempat menghantui Kiper asal Brasil itu namun aksinya itu tak berbuah manis. Alih-alih El Barca merubah kedudukan justru Interlah yang kembali mempercundangi mereka dengan dua gol lewat kaki Maicon dan heading Diego Milito. Kemenangan 1-3 atas Barca membuat Internisti-julukan fans Inter Milan berpesta.
Tidak sedikit orang yang kecewa dan sedih ketika menyaksikan fakta Inter berhasil melibas sang juara Champions musim lalu. Tapi itulah sepak bola. Dalam pengantar penerbit Catatan Sepak Bola-nya Sindhunata, penerbit buku Kompas mengungkapkan di dalam sepak bola kita dapat melihat dan merasakan tragedi, komedi, ketabahan untuk menerima kegagalan, tekad dan keberanian untuk meraih kemenangan. Sepak bola memang membawa tawa. Tetapi sepak bola juga yang membawa tangis. Dan hal itu terbukti ketika para fans Barca menangisi dan menyesali kekalahan tim kesayangan mereka.
Terlepas dari kabut duka yang menghantar kepulangan anak-anak Josep “Pepp” Guardiolla menuju Catalan. Kita patut mengacungi dua jempol untuk allenatore (Italia, Pelatih) Jose Mourinho. Mou-demikian sapaannya kian membuktikan dirinya sebagai seorang pelatih berkelas. Pelatih asal Portugal ini punya curriculum vitae menawan. Dia pernah berhasil membawa tim non-unggulan seperti FC Porto menjuarai Liga Champions musim 2003-04 dan membawa Chelsea melangkah hingga semifinal musim 2004-05. Dan pertandingan dini hari itu kembali menunjukkan jati dirinya sebagai pelatih besar. Disaat banyak publik pencinta bola menjagokan El Barca, Mou tetap optimistis anak asuhnya bisa menjadi juara “Kami telah mencapai babak semifinal dengan cara yang pantas. Tim ini juga memiliki keyakinan dan kapasitas yang mampu mendorong kami untuk menjadi juara,” ujar Mou.
Sang entrenador (Spanyol, Pelatih) Barcelona, Pepp Guardiolla pun mengakui Mou sebagai seorang pelatih yang pintar, jenius. Kepintaran dan kejeniusan seorang Mou tampak ketika ia mengatur anak-anaknya membatasi ruang gerak Xavi dan Messi. Terbukti, kedua pemain itu dibuat mati kutu oleh para defender I Nerrazurri. Kecerdasan Mou juga mengalir dalam diri Sneijder. Mou mengakui langsung peran penting Sneijder. Dia (Mou) bahkan menyebut lebih baik kehilangan satu penyerangnya daripada kehilangan Sneijder. Itulah sebabnya mengapa Mou merasa heran dan mengatakan Madrid sebagai tim aneh karena menyia-nyiakan bakat besar Sneijder dan begitu mudah membuangnya. "Kami bergantung kepada Wesley Sneijder. Tak ada keraguan mengenai hal itu. Ia memiliki gaya yang unik untuk skuad kami. Tanpanya, kami akan menjadi tim yang berbeda. Aneh, pemain yang penting bagi kami hanya menghangatkan kursi cadangan di Real Madrid," ulas Mourinho.
Kemenangan Inter Milan atas Barcelona bisa dikatakan sebagai kesuksesan seorang Mourinho sebagai seorang panglima untuk anak-anaknya di medan perang bernama sepak bola. Lantas, pesan apa yang bisa kita pelajari dari seorang allenatore berjuluk The Special One itu?
Pertama, seorang pemimpin adalah seorang pengatur strategi dan rencana yang handal. Namun strategi dan rencana itu bakal gagal bila tidak ada yang mengoperasikannya. Strategi untuk mengunci celah Messi berakselerasi dan menghentikan umpan Xavi tidak akan tercapai tanpa perjuangan para pemain belakang Inter. I Nerazurri mungkin juga tidak bisa bermain cantik hingga mampu mengungguli El Barca andaikata tak ada seorang Sneijder yang membangun dan mengatur serangan.
Menurut buku Sun Tzu: War and Management, yang dikutip Sindhunata menyatakan, setiap perusahaan (organisasi, pen) masa kini mutlak perlu mempunyai manajer (pemimpin) yang mempunyai sifat seperti panglima jempolan di atas. Perusahaan-perusahaan modern (organisasi) bisa saja membuat pelbagai strategi atau rencana yang baik dan tepat. Namun, rencana itu akan sia-sia tanpa pelaksana yang mampu mengoperasikannya (Sindhunata: 2002).
Kedua, seorang panglima harus mengetahui kemampuan (bakat/talenta) setiap pasukannya. Selain itu panglima juga harus bisa memberi motivasi untuk para serdadunya. Usaha tersebut untuk tetap mengobarkan semangat, daya juang, dan bahkan melahirkan dan mengasah kemampuan para serdadunya itu. Hal tersebut bisa kita pelajari dari optimisme yang dibangun Mourinho serta mengangkat martabat Sneijder sebagai pemain buangan Real Madrid dan menempatkannya sebagai pemain kunci merealisasikan salah satu strategi dan rencananya. Dan itu sudah terbukti, El Barca menjadi tumbal kejeniusan seorang Mourinho. Tunggu apa lagi? Mari kita berguru pada seorang panglima Mourinho dalam medan pertempuran bernama sepak bola.

Mahasiswa: Perjuangan Mempertahankan Idealisme, Suara Hati, atau Perut?*

Alkisah, di wilayah Makedonia pernah dipimpin oleh seorang raja bernama Philipus. Ketika Philipus sedang membangun Makedonia, beliau selalu dihantam kritik pedas oleh seorang ahli pidato kawakan waktu itu. Namanya Demosthenes.
Dalam sebuah kesempatan, Demosthenes menulis sebuah pidato (Philipika) yang menyerang Philipus secara langsung. Dalam pidatonya itu ada penggalan yang menarik perhatian Philipus, demikian bunyinya, “Saya nyatakan dia (Philipus) sebagai musuh kita. Sebab segala perbuatannya hingga kini hanyalah menguntungkan dia dan merugikan kita.”
Kalimat Demosthenes yang tegas itu merupakan ajaran patriotis kepada segenap rakyat Athena supaya bisa mengangkat senjata melawan Philipus. Marahkah Philipus? Tidak. Hanya putranya, Alexander Agung (kaisar yang kemudian tersohor namanya), yang saat itu masih “bau kencur” politik menjadi geram. Alexander merasa ayahnya yang disegani di seluruh negeri sudah ditelanjangi oleh Demosthenes.
Philipus yang terkenal licik dan cerdik itu tenang-tenang saja menghadapi putranya yang sedang terbakar api amarah. Hebatnya lagi, Philipus dihadapan Alexander menempatkan Demosthenes sebagai seorang pejuang yang bersusah payah hendak mencapai dan mewujudkan sebuah cita-cita. Philipus menyebut cita-cita itu kedaulatan rakyat atau demokrasi.
Philipus tidak kehabisan akal. Dia lalu mengundang Demosthenes untuk berbicara di hadapannya dan rakyat banyak. Surat undangannya berisi demikian,”Saya mengundang Anda untuk berbicara di hadapan saya di Pella (Metropol Makedonia). Waktunya terserah Tuan. Saya jamin, Tuan bisa kembali ke Athena dengan selamat.”
Demosthenes memenuhi undangan Philipus. Ia berangkat menuju Pella. Namun, apa yang terjadi? Demosthenes yang begitu lugu dan jauh dari tahta kemewahan kerajaan mengalami keterpesonaan dangkal melihat sambutan luar biasa yang sengaja diperagakan Philipus untuk meruntuhkan mental dan daya nalarnya. Di tengah kemewahan dan kemegahan itu, Demosthenes seperti orang yang kehilangan lidahnya. Ia seperti bukan layaknya seorang ahli pidato yang patut disegani (Max Regus: 98-99).

Kisah Demosthenes memberi pelajaran agar seorang cendekiawan (baca: mahasiswa) berhati-hati terhadap strategi penguasa untuk meruntuhkan mental, daya kritis, serta membungkam seruan perubahan dan perbaikan masyarakat. Selain itu, Demosthenes juga bisa menjadi sebuah representasi mahasiswa yang awalnya begitu membenci dan vokal mencongkel borok penguasa seperti perilaku korup akhirnya tunduk menyerah termakan rayuan materi dan posisi. Dan secara serentak lahirlah kader-kader koruptor yang bakal mewarisi budaya tersebut. Bila hal tersebut terjadi pupuslah harapan memutuskan cengkraman gurita korupsi di negeri ini.
Dalam tulisan ini, penulis ingin menjawab persoalan dari mana tumbuhnya akar korupsi? Serta bagaimana upaya melepaskan lilitan korupsi itu? Goresan ini berangkat dari perspektif penulis sebagai seorang mahasiswa dan ditujukan bagi rekan-rekan mahasiswa yang masih setia memegang teguh idealisme mereka menciptakan pemerintahan dan kehidupan yang bebas dari korupsi.

Perjuangan Melawan Korupsi
Peran serta mahasiswa dalam membangun pemerintahan yang baik (good government) tak bisa disepelekan. Terbukti sedikitnya tiga kali mahasiswa rela meninggalkan sarangnya (kampus) sebagai seorang intelektual dan turun ke jalan sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat dan bersama rakyat meneriakan dan menumbangkan pemerintahan yang korup.
Pertama, pergerakan mahasiswa tahun 1970-1974. Aksi para cendekiawan muda rentang tahun tersebut mencapai klimaks dengan kecaman atas keadaan sosial. Keprihatinan yang muncul di kalangan mereka mengenai korupsi yang menciptakan jurang yang dalam antara golongan kaya dan miskin akibat pembangunan bercorak kapitalis. Mereka juga mengkoreksi pengaruh Jepang yang kuat dalam perekonomian di Indonesia serta memprotes para pejabat tinggi pemerintahan yang dianggap menerima suap dari kalangan pemerintah Jepang. (bdk. A. Atapunang: 20).
Kedua, tahun 1998. Mahasiswa bersama rakyat bahu membahu melengserkan Soeharto bersama kroni-kroninya yang lekat dengan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Gerakan massa juga lahir menentang sistem pemerintahan yang represif dengan didukung kekuatan militer yang kental dengan bau militeristik. Namun lahir pertanyaan, apakah semenjak jatuhnya Soeharto setelah 32 tahun berkuasa, dan bergulirnya bola reformasi yang menuntut pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, Indonesia sudah bebas dari malapraktek pemerintahan? Belum! Buktinya, beberapa bulan lalu kita masih menjumpai aksi mahasiswa yang berdemonstrasi menuntut agar masalah korupsi segera dituntaskan.
Ketiga, 28 Januari 2010. Bertepatan dengan 100 hari pemerintahan SBY-Boediono, ribuan orang dan di antaranya para mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi menggelar aksi demo dengan tujuan bersama membersihkan Indonesia dari praktik korupsi dan mengganti sistem pemerintahan yang tidak berpihak kepada rakyat dan pro modal asing. Selain itu, penuntasan hukum skandal Bank Century menjadi bagian agenda aksi massa di atas.

Antara Idealisme, Moralitas, dan Urusan Perut
Rentetan peristiwa di atas membuktikan bahwa mahasiswa memiliki kekuatan untuk menjebol tembok kekuasaan yang menindas rakyat sehingga mereka diberi gelar pencipta sejarah. Dalam kata-kata Sindhunata, mahasiswa adalah “subjek dan kekuatan sejarah”. Mahasiswa menjadi inisator perubahan dan pembaruan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan ide segar dan tanpa kenal kata menyerah, mahasiswa selalu tampil di garis terdepan menyuarakan perubahan. Arif Budiman mengibaratkan mahasiswa seperti seorang resi menurut konsepsi budaya politik sosial Jawa. Resi, menurut Arif adalah seorang tokoh spiritual yang tidak memiliki kepentingan duniawi. Mereka melancarkan kritikan serius dan agresif, meramalkan kebobrokan serta memberi peringatan bahwa kerajaan akan runtuh (Aswab Mahasin: 148). Benarkah ada kesesuaian antara pernyataan Arif Budiman dengan realitas saat ini? Bila kita ingin jujur, ada mahasiswa (resi) yang pada akhirnya terlibat dalam politik formal. Timbul pro kontra dalam masalah tersebut. Namun, yang terpenting di sini adalah mereka harus bisa menjaga idealisme dan moralitas. Agar tidak mengingkari perjuangan mereka sendiri dan demi tegaknya pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi. Bila pada saatnya terbukti perjuangan dan seruan mereka tidak lebih dari sekedar omong kosong dan opurtunis demi menarik simpati rakyat dan memuluskan ambisi mereka meraih kekayaan dan kekuasaan, maka tepatlah apa yang diisyaratkan Edward Shills dalam tulisannya berjudul Cendikiawan dalam Perkembangan Politik. Shills menandaskan,”Perubahan dari kaum cendikiawan ketika berkuasa membuka tabir mentalitas oposisi yang dualis. Kebencian terhadap kekuasaan tidak lebih dari pesona yang ditimbulkannya. Cendikiawan yang tadinya membenci, bila berkuasa segera berdamai dengan kekuasaan. Mereka menempelkan pada dirinya tanda-tanda kebesaran dari kekuasaan dan merasa bahwa mereka identik dengan negara. Sedangkan waktu perjuangan untuk kemerdekaan merasa bahwa mereka mewakili bangsa, tetapi sekarang ketika mereka berkuasa, mereka menganggap dirinya identik dengan negara dan semua orang yang tidak setuju dengan mereka dianggap musuh negara.” Sehingga tak heran muncul ungkapan, ketika dulu masih mahasiswa pertahankan idealisme, tapi ketika bekerja pertahankan perut. Jadi jangan heran bila korupsi masih terus bercokol di bumi ini, bila harga sebuah idealisme dan suara hati bisa dibeli dengan materi dan jabatan demi mempertahankan perut untuk selalu terus terisi.

Dosa-Dosa Korupsi
Praktek korupsi di Indonesia sudah kian menggurita. Artinya, praktek tersebut diaktori mulai dari para petinggi pemerintahan hingga pegawai rendahan. Bukan hanya itu saja, korupsi kini sudah seperti dewa baru, disembah dan memiliki banyak pengikutnya. Mungkin karena korupsi menjanjikan cara hidup instan untuk mendulang kekayaan, ketimbang harus bekerja membanting tulang selama beberapa puluh tahun yang hasilnya pun belum bisa dipastikan. Namun, mereka yang melakukan tindakan tersebut menegasikan hakekat yang melekat pada dirinya sebagai seorang manusia yang dibekali tidak hanya naluri (insting) semata tetapi juga budi dan suara hati. Bila manusia hanya ingin memuaskan nalurinya, sementara itu mengabaikan peranan budi (nalar) dan suara hatinya maka manusia tersebut kehilangan keutamaannya dan tidak patut dianggap sebagai seorang manusia, tetapi lebih tepatnya seekor binatang. Budi serta suara hatilah yang membuat manusia tahu membedakan mana yang baik dan jahat, tindakan apa yang bisa mereka lakukan serta tindakan mana yang harus mereka jauhi. Keutamaan-keutamaan itulah yang tidak dimiliki makhluk ciptaan lain.
Korupsi apa pun bentuk dan caranya, siapa pun pelakunya harus dikatakan salah secara definitif. Fritz Fios, dalam tulisannya berjudul Korupsi: Bukti Penjajahan Naluri Atas Nurani, menandaskan bahwa korupsi dikatakan salah karena melanggar dan melawan tigas buah institusi penting. Pertama, melawan institusi internal (nurani murni). Pada dasarnya nurani murni atau suara hati itu tidak salah. Suara hati merupakan kompas moral, malahan dianggap sebagai suara suci dari Tuhan. Suara hati senantiasa mengarahkan manusia untuk berbuat baik dan bertindak benar. Berhadapan dengan tawaran uang, manusia cepat tergoda untuk mengikuti naluri (insting). Konsekuensi logis, pilihan tindakan manusia keliru dan salah. Pada titik ini tindakan manusia menjadi asimetris dalam posisi yang melawan suara hati (nurani).
Kedua, melawan institusi sosial. Institusi sosial di sini lebih dimengerti sebagai ‘sesama’ atau ‘orang lain’. Dengan melakukan korupsi manusia memeras dan menipu. Perbuatan ini jelas mendatangkan kerugian bagi orang lain. Di sini manusia berlaku tidak adil terhadap sesamanya. Maka tindakan korupsi merupakan pengkhianatan dan pembunuhan atas hak milik sesamanya.
Ketiga, melawan institusi normatif (undang-undang). Korupsi terkategori sebagai tindakan pidana menurut undang-undang. Karenanya korupsi melanggar tatanan normatif yang berlaku. Institusi normatif bertujuan menjamin dan melindungi hak-hak individu maupun kelompok. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bahkan telah mencantumkan beberapa pasal tentang tindak pidana korupsi. Hal ini dinyatakan secara lebih jelas, misalnya dalam KUHP pasal 419, pasal 420, dan pasal 425 yang memvonis hukuman bagi oknum yang melakukan korupsi serta lamanya hukuman yang harus dijalani (Al. Atapunang: 53-54).
Beberapa Solusi Alternatif
Kita harus mengakui bahwa kasus korupsi di Indonesia sangat sulit untuk dihapuskan. Buktinya arus demonstrasi menuntut agar kasus ini segera dihapuskan hingga saat ini masih terdengar santer. Hadirnya lembaga independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sempat membersitkan harapan bahwa korupsi akan segera raib dalam budaya bangsa ini. Hal tersebut terbukti dari banyaknya para pejabat pemerintahan serta para penegak hukum yang di-bui-kan karena kedapatan tangan melakukan tindakan tersebut. Namun asa tersebut kini mulai mengendor ketika ada dugaan usaha pengkerdilan KPK dengan ditangkapnya dua pimpinan KPK, Bibit dan Chandra, meskipun pada akhirnya kedua pimpinan itu dibebaskan. Bukan hanya itu, bila dulu KPK leluasa menyadap telepon selular (hp) target mereka tapi kini aksi tersebut harus sepengetahuan menkoinfo. Dan terakhir, banyak masyarakat kini mengeluh dengan kinerja KPK yang terkesan lamban dalam menuntaskan kasus skandal Bank Century. KPK kini diklaim sudah hampir kehilangan taringnya.
Menghilangnya korupsi dari tengah masyarakat adalah suatu hal yang mustahil. Hal serupa juga diamini T.B. Silalahi. Ia mengatakan, “untuk menghilangkan korupsi tidak mungkin, kecuali mengurangi atau meminimalisirnya” (Pos Kupang: 11). Tetapi ada titik terang yang masih bisa ditempuh untuk mengurangi atau meminimalisir perilaku korupsi yakni pertama, optimisme dan komitmen setiap pribadi untuk menjaga agar idealisme perjuangan, budi (nalar), dan suara hati tetap bersih. Setiap pribadi secara khusus mahasiswa dituntut harus selalu sadar dan menjaga ideologi perjuangan mereka dalam memberanguskan praktek korupsi di negara ini. Tidak terlalu penting bila nanti akhirnya mereka bertengger di kursi pemerintahan atau tidak. Yang terpenting harus memegang teguh visi perjuangan mereka selama ini. Bersamaan dengan itu, mahasiswa juga dituntut harus kritis dan cerdik menghadapi berbagai strategi yang bisa menarik mereka melakukan praktek serupa. Di sini suara hati memegang peranan penting. Perilaku korupsi bisa diatasi bila setiap individu menempatkan suara hati dalam bertindak dan membuat pilihan. Sebab suara hati menentukan pilihannya pada nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Korupsi tidak sampai terjadi bila setiap manusia menghormati suara hati mereka masing-masing.
Kedua, pendidikan karakter. Universitas bertanggung jawab untuk menumbuh kembangkan soft skill mahasiswanya. Selama ini bila kita ingin jujur soft skill kurang mendapat tempat dalam pendidikan di universitas. Nilai-nilai kehidupan seperti kejujuran, ketekunan, menghormati, dan peduli sesama justru sering kali harus mengalah dari ilmu ekonomi, akuntasi, hukum, dan sebagainya. Akibatnya, keberhasilan mahasiwa diukur dari berapa besar nilai atau index pretasi (ip) yang mereka peroleh, tetapi kita lupa menanyakan atau malas mencari tahu bagaimana prosesnya hingga mereka bisa mendapat nilai atau index prestasi seperti itu. Selain itu, apakah ilmu yang sudah mereka dapatkan bisa mereka aplikasikan dan bertujuan membangun kebaikan bersama? Penting diingat, pendidikan pertama-tama tidak bertujuan untuk membuat orang cerdas, tetapi yang utama semakin memanusiakan manusia. Kecerdasan memang dibutuhkan. Tetapi bukanlah yang utama. Apalah artinya kepintaran bila hal itu digunakan untuk menipu orang lain. Karena itu, kecerdasan harus diimbangi dengan suara hati yang jernih dan bersih agar hidup menjadi suatu berkah bagi sesama.
Ketiga, mengoptimalkan undang-undang, peranan penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim), serta KPK. Salah satu kegagalan kita memberantas korupsi di negara ini adalah berlakunya undang-undang atau hukum ‘karet’. Benar seperti yang sudah dikemukan di atas bahwa, masalah korupsi dan putusan untuk para pelakunya sebenarnya sudah ada di dalam undang-undang kita. Permasalahannya, undang-undang tersebut kurang bisa diafirmasikan secara tegas oleh para penegak hukum di negara ini. Ibarat sebuah karet, dengan kebesaran uang undang-undang bisa dengan mudah ditarik sesuka hati demi meloloskan koruptor kelas kakap. Sementara, untuk rakyat kecil seperti nenek Mina, yang hanya mengambil kakao jatuh dari pohon milik tetangganya, harus pasrah menjalani proses hukum dan merasakan dinginnya lantai penjara. Berbeda dengan kasus skandal Bank Century, yang telah merugikan negara hingga 6,7 triliun, kabarnya kini seperti benang kusut dan tak tahu kapan berakhir dengan membawa kesimpulan. Lamanya penanganan masalah tersebut ada dugaan bahwa skandal tersebut melibatkan para petinggi negara ini. Singkat kata, undang-undang atau hukum di negara kita masih terkesan tebang pilih. Optimalisasi KPK juga perlu diperhatikan. Salah satunya membuang peraturan yang mengharuskan proses penyadapan terlebih dahulu mendapat persetujuan menkoinfo. Bila KPK merupakan salah satu lembaga independen maka biarkanlah lembaga tersebut bekerja secara independen.
Hingga saat ini rakyat Indonesia masih menanti sebuah impian bisa hidup di negara yang bebas dan bersih dari virus-virus korupsi. Jangan biarkan harapan tersebut memudar dan menaburkan benih-benih apatisme serta kebencian kepada para penyelenggara ini bila tidak ingin gelombang demonstrasi yang lebih besar dari peristiwa 98 terjadi di bangsa ini.

*Tulisan ini pernah diikutsertakan dalam lomba essai di Politeknik Negeri Jakarta, Universitas Indonesia, awal Maret 2010.

Bibliografi

Atapunang, Al (Peny.). KKN dan Perjuangan Mahasiswa. Maumere: STFK Ladalero, 2000.

Mahasin, Aswab dan Ismed Natsir (Eds.). Cendikiawan dan Politik. Jakarta: LP3S, 1983.

Pos Kupang, 18 Juni 1997

Regus, Max. Sketsa Nurani Anak Bangsa. Jakarta: Obor, 2004.

Senin, 26 April 2010

Berguru pada Seorang Jose Mourinho

Begitu susunan semifinalis Liga Champions (LC) diketahui, diantaranya Barcelona akan berhadapan dengan Inter Milan, banyak orang langsung memplot El Barca bakal medepak I Nerazzurri. Hal tersebut sangat beralasan sebab kiprah I Nerazzurri di musim ini tidak bisa dibilang istimewa. Saat menjamu El Barca di Giuseppe Meazza dalam penyisihan Grup F LC, Javier Zanneti cs hanya mampu menahan Charles Puyol cs dengan skor kaca mata (0-0). Dan ketika mereka bertandang ke Camp Nou-markas Barcelona, pasukan biru hitam itu harus pulang dengan kepala tertunduk setelah dilibas El Barca 2-0. Dengan demikian saat leg pertama semifinal LC mempertemukan kembali tim perwakilan Spanyol dan Italia, El Barca digadang-gadang bakal memperberat langkah I Nerazurri. Euforia publik Catalan kian meledak ketika Maxwell memberikan assist kepada Pedro Rodriques dan mengubah kedudukan menjadi 1-0 untuk El Barca. Namun kegembiraan itu hanya bertahan beberapa menit saja ketika Wesley Sneijder melesakan bola ke sudut kanan gawang yang tak mampu dijangkau kiper Victor Valdes. Skor menjadi imbang 1-1 hingga turun minum.
Babak kedua mulai bergulir, El Barca meningkatkan daya serang, namun langkah Lionel Messi cs nyaris tak sampai memasuki kotak penalti. Pergerakan Xavi Hernandes sebagai dirigen pengatur irama serang El Barca tak bisa bekerja secara optimal. Bahkan sang dewa-julukan Messi-yang banyak diharapkan bisa membuat ‘mukjizat’ tidak mampu berkutik. Tendangan keras La Messiah memang sempat membuat jantung melonjak tetapi tendangan itu mampu dimentahkan kiper Julio Caesar yang penampilannya sangat gemilang pagi itu. Keberanian Pique meninggalkan ‘sarangnya’ dan melesak ke wilayah Caesar memang sempat menghantui Kiper asal Brasil itu namun aksinya itu tak berbuah manis. Alih-alih El Barca merubah kedudukan justru Interlah yang kembali mempercundangi mereka dengan dua gol lewat kaki Maicon dan heading Diego Milito. Kemenangan 1-3 atas Barca membuat Internisti-julukan fans Inter Milan berpesta.
Tidak sedikit orang yang kecewa dan sedih ketika menyaksikan fakta Inter berhasil melibas sang juara Champions musim lalu. Tapi itulah sepak bola. Dalam pengantar penerbit Catatan Sepak Bola-nya Sindhunata, penerbit buku Kompas mengungkapkan di dalam sepak bola kita dapat melihat dan merasakan tragedi, komedi, ketabahan untuk menerima kegagalan, tekad dan keberanian untuk meraih kemenangan. Sepak bola memang membawa tawa. Tetapi sepak bola juga yang membawa tangis. Dan hal itu terbukti ketika para fans Barca menangisi dan menyesali kekalahan tim kesayangan mereka.
Terlepas dari kabut duka yang menghantar kepulangan anak-anak Josep “Pepp” Guardiolla menuju Catalan. Kita patut mengacungi dua jempol untuk allenatore (Italia, Pelatih) Jose Mourinho. Mou-demikian sapaannya kian membuktikan dirinya sebagai seorang pelatih berkelas. Pelatih asal Portugal ini punya curriculum vitae menawan. Dia pernah berhasil membawa tim non-unggulan seperti FC Porto menjuarai Liga Champions musim 2003-04 dan membawa Chelsea melangkah hingga semifinal musim 2004-05. Dan pertandingan dini hari itu kembali menunjukkan jati dirinya sebagai pelatih besar. Disaat banyak publik pencinta bola menjagokan El Barca, Mou tetap optimistis anak asuhnya bisa menjadi juara “Kami telah mencapai babak semifinal dengan cara yang pantas. Tim ini juga memiliki keyakinan dan kapasitas yang mampu mendorong kami untuk menjadi juara,” ujar Mou.
Sang entrenador (Spanyol, Pelatih) Barcelona, Pepp Guardiolla pun mengakui Mou sebagai seorang pelatih yang pintar, jenius. Kepintaran dan kejeniusan seorang Mou tampak ketika ia mengatur anak-anaknya membatasi ruang gerak Xavi dan Messi. Terbukti, kedua pemain itu dibuat mati kutu oleh para defender I Nerrazurri. Kecerdasan Mou juga mengalir dalam diri Sneijder. Mou mengakui langsung peran penting Sneijder. Dia (Mou) bahkan menyebut lebih baik kehilangan satu penyerangnya daripada kehilangan Sneijder. Itulah sebabnya mengapa Mou merasa heran dan mengatakan Madrid sebagai tim aneh karena menyia-nyiakan bakat besar Sneijder dan begitu mudah membuangnya. "Kami bergantung kepada Wesley Sneijder. Tak ada keraguan mengenai hal itu. Ia memiliki gaya yang unik untuk skuad kami. Tanpanya, kami akan menjadi tim yang berbeda. Aneh, pemain yang penting bagi kami hanya menghangatkan kursi cadangan di Real Madrid," ulas Mourinho.
Kemenangan Inter Milan atas Barcelona bisa dikatakan sebagai kesuksesan seorang Mourinho sebagai seorang panglima untuk anak-anaknya di medan perang bernama sepak bola. Lantas, pesan apa yang bisa kita pelajari dari seorang allenatore berjuluk The Special One itu?
Pertama, seorang pemimpin adalah seorang pengatur strategi dan rencana yang handal. Namun strategi dan rencana itu bakal gagal bila tidak ada yang mengoperasikannya. Strategi untuk mengunci celah Messi berakselerasi dan menghentikan umpan Xavi tidak akan tercapai tanpa perjuangan para pemain belakang Inter. I Nerazurri mungkin juga tidak bisa bermain cantik hingga mampu mengungguli El Barca andaikata tak ada seorang Sneijder yang membangun dan mengatur serangan.
Menurut buku Sun Tzu: War and Management, yang dikutip Sindhunata menyatakan, setiap perusahaan (organisasi, pen) masa kini mutlak perlu mempunyai manajer (pemimpin) yang mempunyai sifat seperti panglima jempolan di atas. Perusahaan-perusahaan modern (organisasi) bisa saja membuat pelbagai strategi atau rencana yang baik dan tepat. Namun, rencana itu akan sia-sia tanpa pelaksana yang mampu mengoperasikannya (Sindhunata: 2002).
Kedua, seorang panglima harus mengetahui kemampuan (bakat/talenta) setiap pasukannya. Selain itu panglima juga harus bisa memberi motivasi untuk para serdadunya. Usaha tersebut untuk tetap mengobarkan semangat, daya juang, dan bahkan melahirkan dan mengasah kemampuan para serdadunya itu. Hal tersebut bisa kita pelajari dari optimisme yang dibangun Mourinho serta mengangkat martabat Sneijder sebagai pemain buangan Real Madrid dan menempatkannya sebagai pemain kunci merealisasikan salah satu strategi dan rencananya. Dan itu sudah terbukti, El Barca menjadi tumbal kejeniusan seorang Mourinho. Tunggu apa lagi? Mari kita berguru pada seorang panglima Mourinho dalam medan pertempuran bernama sepak bola.

Mahasiswa: Perjuangan Mempertahankan Idealisme, Suara Hati, atau Perut?*

Alkisah, di wilayah Makedonia pernah dipimpin oleh seorang raja bernama Philipus. Ketika Philipus sedang membangun Makedonia, beliau selalu dihantam kritik pedas oleh seorang ahli pidato kawakan waktu itu. Namanya Demosthenes.
Dalam sebuah kesempatan, Demosthenes menulis sebuah pidato (Philipika) yang menyerang Philipus secara langsung. Dalam pidatonya itu ada penggalan yang menarik perhatian Philipus, demikian bunyinya, “Saya nyatakan dia (Philipus) sebagai musuh kita. Sebab segala perbuatannya hingga kini hanyalah menguntungkan dia dan merugikan kita.”
Kalimat Demosthenes yang tegas itu merupakan ajaran patriotis kepada segenap rakyat Athena supaya bisa mengangkat senjata melawan Philipus. Marahkah Philipus? Tidak. Hanya putranya, Alexander Agung (kaisar yang kemudian tersohor namanya), yang saat itu masih “bau kencur” politik menjadi geram. Alexander merasa ayahnya yang disegani di seluruh negeri sudah ditelanjangi oleh Demosthenes.
Philipus yang terkenal licik dan cerdik itu tenang-tenang saja menghadapi putranya yang sedang terbakar api amarah. Hebatnya lagi, Philipus dihadapan Alexander menempatkan Demosthenes sebagai seorang pejuang yang bersusah payah hendak mencapai dan mewujudkan sebuah cita-cita. Philipus menyebut cita-cita itu kedaulatan rakyat atau demokrasi.
Philipus tidak kehabisan akal. Dia lalu mengundang Demosthenes untuk berbicara di hadapannya dan rakyat banyak. Surat undangannya berisi demikian,”Saya mengundang Anda untuk berbicara di hadapan saya di Pella (Metropol Makedonia). Waktunya terserah Tuan. Saya jamin, Tuan bisa kembali ke Athena dengan selamat.”
Demosthenes memenuhi undangan Philipus. Ia berangkat menuju Pella. Namun, apa yang terjadi? Demosthenes yang begitu lugu dan jauh dari tahta kemewahan kerajaan mengalami keterpesonaan dangkal melihat sambutan luar biasa yang sengaja diperagakan Philipus untuk meruntuhkan mental dan daya nalarnya. Di tengah kemewahan dan kemegahan itu, Demosthenes seperti orang yang kehilangan lidahnya. Ia seperti bukan layaknya seorang ahli pidato yang patut disegani (Max Regus: 98-99).

Kisah Demosthenes memberi pelajaran agar seorang cendekiawan (baca: mahasiswa) berhati-hati terhadap strategi penguasa untuk meruntuhkan mental, daya kritis, serta membungkam seruan perubahan dan perbaikan masyarakat. Selain itu, Demosthenes juga bisa menjadi sebuah representasi mahasiswa yang awalnya begitu membenci dan vokal mencongkel borok penguasa seperti perilaku korup akhirnya tunduk menyerah termakan rayuan materi dan posisi. Dan secara serentak lahirlah kader-kader koruptor yang bakal mewarisi budaya tersebut. Bila hal tersebut terjadi pupuslah harapan memutuskan cengkraman gurita korupsi di negeri ini.
Dalam tulisan ini, penulis ingin menjawab persoalan dari mana tumbuhnya akar korupsi? Serta bagaimana upaya melepaskan lilitan korupsi itu? Goresan ini berangkat dari perspektif penulis sebagai seorang mahasiswa dan ditujukan bagi rekan-rekan mahasiswa yang masih setia memegang teguh idealisme mereka menciptakan pemerintahan dan kehidupan yang bebas dari korupsi.

Perjuangan Melawan Korupsi
Peran serta mahasiswa dalam membangun pemerintahan yang baik (good government) tak bisa disepelekan. Terbukti sedikitnya tiga kali mahasiswa rela meninggalkan sarangnya (kampus) sebagai seorang intelektual dan turun ke jalan sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat dan bersama rakyat meneriakan dan menumbangkan pemerintahan yang korup.
Pertama, pergerakan mahasiswa tahun 1970-1974. Aksi para cendekiawan muda rentang tahun tersebut mencapai klimaks dengan kecaman atas keadaan sosial. Keprihatinan yang muncul di kalangan mereka mengenai korupsi yang menciptakan jurang yang dalam antara golongan kaya dan miskin akibat pembangunan bercorak kapitalis. Mereka juga mengkoreksi pengaruh Jepang yang kuat dalam perekonomian di Indonesia serta memprotes para pejabat tinggi pemerintahan yang dianggap menerima suap dari kalangan pemerintah Jepang. (bdk. A. Atapunang: 20).
Kedua, tahun 1998. Mahasiswa bersama rakyat bahu membahu melengserkan Soeharto bersama kroni-kroninya yang lekat dengan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Gerakan massa juga lahir menentang sistem pemerintahan yang represif dengan didukung kekuatan militer yang kental dengan bau militeristik. Namun lahir pertanyaan, apakah semenjak jatuhnya Soeharto setelah 32 tahun berkuasa, dan bergulirnya bola reformasi yang menuntut pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, Indonesia sudah bebas dari malapraktek pemerintahan? Belum! Buktinya, beberapa bulan lalu kita masih menjumpai aksi mahasiswa yang berdemonstrasi menuntut agar masalah korupsi segera dituntaskan.
Ketiga, 28 Januari 2010. Bertepatan dengan 100 hari pemerintahan SBY-Boediono, ribuan orang dan di antaranya para mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi menggelar aksi demo dengan tujuan bersama membersihkan Indonesia dari praktik korupsi dan mengganti sistem pemerintahan yang tidak berpihak kepada rakyat dan pro modal asing. Selain itu, penuntasan hukum skandal Bank Century menjadi bagian agenda aksi massa di atas.

Antara Idealisme, Moralitas, dan Urusan Perut
Rentetan peristiwa di atas membuktikan bahwa mahasiswa memiliki kekuatan untuk menjebol tembok kekuasaan yang menindas rakyat sehingga mereka diberi gelar pencipta sejarah. Dalam kata-kata Sindhunata, mahasiswa adalah “subjek dan kekuatan sejarah”. Mahasiswa menjadi inisator perubahan dan pembaruan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan ide segar dan tanpa kenal kata menyerah, mahasiswa selalu tampil di garis terdepan menyuarakan perubahan. Arif Budiman mengibaratkan mahasiswa seperti seorang resi menurut konsepsi budaya politik sosial Jawa. Resi, menurut Arif adalah seorang tokoh spiritual yang tidak memiliki kepentingan duniawi. Mereka melancarkan kritikan serius dan agresif, meramalkan kebobrokan serta memberi peringatan bahwa kerajaan akan runtuh (Aswab Mahasin: 148). Benarkah ada kesesuaian antara pernyataan Arif Budiman dengan realitas saat ini? Bila kita ingin jujur, ada mahasiswa (resi) yang pada akhirnya terlibat dalam politik formal. Timbul pro kontra dalam masalah tersebut. Namun, yang terpenting di sini adalah mereka harus bisa menjaga idealisme dan moralitas. Agar tidak mengingkari perjuangan mereka sendiri dan demi tegaknya pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi. Bila pada saatnya terbukti perjuangan dan seruan mereka tidak lebih dari sekedar omong kosong dan opurtunis demi menarik simpati rakyat dan memuluskan ambisi mereka meraih kekayaan dan kekuasaan, maka tepatlah apa yang diisyaratkan Edward Shills dalam tulisannya berjudul Cendikiawan dalam Perkembangan Politik. Shills menandaskan,”Perubahan dari kaum cendikiawan ketika berkuasa membuka tabir mentalitas oposisi yang dualis. Kebencian terhadap kekuasaan tidak lebih dari pesona yang ditimbulkannya. Cendikiawan yang tadinya membenci, bila berkuasa segera berdamai dengan kekuasaan. Mereka menempelkan pada dirinya tanda-tanda kebesaran dari kekuasaan dan merasa bahwa mereka identik dengan negara. Sedangkan waktu perjuangan untuk kemerdekaan merasa bahwa mereka mewakili bangsa, tetapi sekarang ketika mereka berkuasa, mereka menganggap dirinya identik dengan negara dan semua orang yang tidak setuju dengan mereka dianggap musuh negara.” Sehingga tak heran muncul ungkapan, ketika dulu masih mahasiswa pertahankan idealisme, tapi ketika bekerja pertahankan perut. Jadi jangan heran bila korupsi masih terus bercokol di bumi ini, bila harga sebuah idealisme dan suara hati bisa dibeli dengan materi dan jabatan demi mempertahankan perut untuk selalu terus terisi.

Dosa-Dosa Korupsi
Praktek korupsi di Indonesia sudah kian menggurita. Artinya, praktek tersebut diaktori mulai dari para petinggi pemerintahan hingga pegawai rendahan. Bukan hanya itu saja, korupsi kini sudah seperti dewa baru, disembah dan memiliki banyak pengikutnya. Mungkin karena korupsi menjanjikan cara hidup instan untuk mendulang kekayaan, ketimbang harus bekerja membanting tulang selama beberapa puluh tahun yang hasilnya pun belum bisa dipastikan. Namun, mereka yang melakukan tindakan tersebut menegasikan hakekat yang melekat pada dirinya sebagai seorang manusia yang dibekali tidak hanya naluri (insting) semata tetapi juga budi dan suara hati. Bila manusia hanya ingin memuaskan nalurinya, sementara itu mengabaikan peranan budi (nalar) dan suara hatinya maka manusia tersebut kehilangan keutamaannya dan tidak patut dianggap sebagai seorang manusia, tetapi lebih tepatnya seekor binatang. Budi serta suara hatilah yang membuat manusia tahu membedakan mana yang baik dan jahat, tindakan apa yang bisa mereka lakukan serta tindakan mana yang harus mereka jauhi. Keutamaan-keutamaan itulah yang tidak dimiliki makhluk ciptaan lain.
Korupsi apa pun bentuk dan caranya, siapa pun pelakunya harus dikatakan salah secara definitif. Fritz Fios, dalam tulisannya berjudul Korupsi: Bukti Penjajahan Naluri Atas Nurani, menandaskan bahwa korupsi dikatakan salah karena melanggar dan melawan tigas buah institusi penting. Pertama, melawan institusi internal (nurani murni). Pada dasarnya nurani murni atau suara hati itu tidak salah. Suara hati merupakan kompas moral, malahan dianggap sebagai suara suci dari Tuhan. Suara hati senantiasa mengarahkan manusia untuk berbuat baik dan bertindak benar. Berhadapan dengan tawaran uang, manusia cepat tergoda untuk mengikuti naluri (insting). Konsekuensi logis, pilihan tindakan manusia keliru dan salah. Pada titik ini tindakan manusia menjadi asimetris dalam posisi yang melawan suara hati (nurani).
Kedua, melawan institusi sosial. Institusi sosial di sini lebih dimengerti sebagai ‘sesama’ atau ‘orang lain’. Dengan melakukan korupsi manusia memeras dan menipu. Perbuatan ini jelas mendatangkan kerugian bagi orang lain. Di sini manusia berlaku tidak adil terhadap sesamanya. Maka tindakan korupsi merupakan pengkhianatan dan pembunuhan atas hak milik sesamanya.
Ketiga, melawan institusi normatif (undang-undang). Korupsi terkategori sebagai tindakan pidana menurut undang-undang. Karenanya korupsi melanggar tatanan normatif yang berlaku. Institusi normatif bertujuan menjamin dan melindungi hak-hak individu maupun kelompok. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bahkan telah mencantumkan beberapa pasal tentang tindak pidana korupsi. Hal ini dinyatakan secara lebih jelas, misalnya dalam KUHP pasal 419, pasal 420, dan pasal 425 yang memvonis hukuman bagi oknum yang melakukan korupsi serta lamanya hukuman yang harus dijalani (Al. Atapunang: 53-54).
Beberapa Solusi Alternatif
Kita harus mengakui bahwa kasus korupsi di Indonesia sangat sulit untuk dihapuskan. Buktinya arus demonstrasi menuntut agar kasus ini segera dihapuskan hingga saat ini masih terdengar santer. Hadirnya lembaga independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sempat membersitkan harapan bahwa korupsi akan segera raib dalam budaya bangsa ini. Hal tersebut terbukti dari banyaknya para pejabat pemerintahan serta para penegak hukum yang di-bui-kan karena kedapatan tangan melakukan tindakan tersebut. Namun asa tersebut kini mulai mengendor ketika ada dugaan usaha pengkerdilan KPK dengan ditangkapnya dua pimpinan KPK, Bibit dan Chandra, meskipun pada akhirnya kedua pimpinan itu dibebaskan. Bukan hanya itu, bila dulu KPK leluasa menyadap telepon selular (hp) target mereka tapi kini aksi tersebut harus sepengetahuan menkoinfo. Dan terakhir, banyak masyarakat kini mengeluh dengan kinerja KPK yang terkesan lamban dalam menuntaskan kasus skandal Bank Century. KPK kini diklaim sudah hampir kehilangan taringnya.
Menghilangnya korupsi dari tengah masyarakat adalah suatu hal yang mustahil. Hal serupa juga diamini T.B. Silalahi. Ia mengatakan, “untuk menghilangkan korupsi tidak mungkin, kecuali mengurangi atau meminimalisirnya” (Pos Kupang: 11). Tetapi ada titik terang yang masih bisa ditempuh untuk mengurangi atau meminimalisir perilaku korupsi yakni pertama, optimisme dan komitmen setiap pribadi untuk menjaga agar idealisme perjuangan, budi (nalar), dan suara hati tetap bersih. Setiap pribadi secara khusus mahasiswa dituntut harus selalu sadar dan menjaga ideologi perjuangan mereka dalam memberanguskan praktek korupsi di negara ini. Tidak terlalu penting bila nanti akhirnya mereka bertengger di kursi pemerintahan atau tidak. Yang terpenting harus memegang teguh visi perjuangan mereka selama ini. Bersamaan dengan itu, mahasiswa juga dituntut harus kritis dan cerdik menghadapi berbagai strategi yang bisa menarik mereka melakukan praktek serupa. Di sini suara hati memegang peranan penting. Perilaku korupsi bisa diatasi bila setiap individu menempatkan suara hati dalam bertindak dan membuat pilihan. Sebab suara hati menentukan pilihannya pada nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Korupsi tidak sampai terjadi bila setiap manusia menghormati suara hati mereka masing-masing.
Kedua, pendidikan karakter. Universitas bertanggung jawab untuk menumbuh kembangkan soft skill mahasiswanya. Selama ini bila kita ingin jujur soft skill kurang mendapat tempat dalam pendidikan di universitas. Nilai-nilai kehidupan seperti kejujuran, ketekunan, menghormati, dan peduli sesama justru sering kali harus mengalah dari ilmu ekonomi, akuntasi, hukum, dan sebagainya. Akibatnya, keberhasilan mahasiwa diukur dari berapa besar nilai atau index pretasi (ip) yang mereka peroleh, tetapi kita lupa menanyakan atau malas mencari tahu bagaimana prosesnya hingga mereka bisa mendapat nilai atau index prestasi seperti itu. Selain itu, apakah ilmu yang sudah mereka dapatkan bisa mereka aplikasikan dan bertujuan membangun kebaikan bersama? Penting diingat, pendidikan pertama-tama tidak bertujuan untuk membuat orang cerdas, tetapi yang utama semakin memanusiakan manusia. Kecerdasan memang dibutuhkan. Tetapi bukanlah yang utama. Apalah artinya kepintaran bila hal itu digunakan untuk menipu orang lain. Karena itu, kecerdasan harus diimbangi dengan suara hati yang jernih dan bersih agar hidup menjadi suatu berkah bagi sesama.
Ketiga, mengoptimalkan undang-undang, peranan penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim), serta KPK. Salah satu kegagalan kita memberantas korupsi di negara ini adalah berlakunya undang-undang atau hukum ‘karet’. Benar seperti yang sudah dikemukan di atas bahwa, masalah korupsi dan putusan untuk para pelakunya sebenarnya sudah ada di dalam undang-undang kita. Permasalahannya, undang-undang tersebut kurang bisa diafirmasikan secara tegas oleh para penegak hukum di negara ini. Ibarat sebuah karet, dengan kebesaran uang undang-undang bisa dengan mudah ditarik sesuka hati demi meloloskan koruptor kelas kakap. Sementara, untuk rakyat kecil seperti nenek Mina, yang hanya mengambil kakao jatuh dari pohon milik tetangganya, harus pasrah menjalani proses hukum dan merasakan dinginnya lantai penjara. Berbeda dengan kasus skandal Bank Century, yang telah merugikan negara hingga 6,7 triliun, kabarnya kini seperti benang kusut dan tak tahu kapan berakhir dengan membawa kesimpulan. Lamanya penanganan masalah tersebut ada dugaan bahwa skandal tersebut melibatkan para petinggi negara ini. Singkat kata, undang-undang atau hukum di negara kita masih terkesan tebang pilih. Optimalisasi KPK juga perlu diperhatikan. Salah satunya membuang peraturan yang mengharuskan proses penyadapan terlebih dahulu mendapat persetujuan menkoinfo. Bila KPK merupakan salah satu lembaga independen maka biarkanlah lembaga tersebut bekerja secara independen.
Hingga saat ini rakyat Indonesia masih menanti sebuah impian bisa hidup di negara yang bebas dan bersih dari virus-virus korupsi. Jangan biarkan harapan tersebut memudar dan menaburkan benih-benih apatisme serta kebencian kepada para penyelenggara ini bila tidak ingin gelombang demonstrasi yang lebih besar dari peristiwa 98 terjadi di bangsa ini.

*Tulisan ini pernah diikutsertakan dalam lomba essai di Politeknik Negeri Jakarta, Universitas Indonesia, awal Maret 2010.

Bibliografi

Atapunang, Al (Peny.). KKN dan Perjuangan Mahasiswa. Maumere: STFK Ladalero, 2000.

Mahasin, Aswab dan Ismed Natsir (Eds.). Cendikiawan dan Politik. Jakarta: LP3S, 1983.

Pos Kupang, 18 Juni 1997

Regus, Max. Sketsa Nurani Anak Bangsa. Jakarta: Obor, 2004.