
Demikian kata seorang mantan uskup yang kini menjabat sebagai Presiden Paraguay. Pria bernama lengkap Fernando Armindo Lugo Méndez mengantongi surat suara sebanyak 41% dari pemilih Paraguay yang memungkinkan dirinya keluar sebagai pemenang dalam pemilihan Presiden Paraguay yang berlangsung pada hari Minggu (20/4). Keluarnya Lugo sebagai pemenang dalam pemilu di Paraguay memupuskan harapan Partai Colorado yang selama 61 tahun (sejak 1947) bertengger di kursi kepresidenan. Terpilihnya Lugo sebagai Presiden memiliki alasan yang sangat kuat sebab Partai Colorado yang sudah memerintah sangat lama tidak membawa perubahan yang sangat signifikan, bahkan rakyat menjadi semakin menderita karena lilitan ekonomi yang sangat akut. Angka penduduk miskin mencapai 43%, dari 6,5 juta penduduk negara tersebut (hampir 4 dari 10 penduduk Paraguay miskin), pengangguran mencapai 13%, dan 300.000 petani tanpa lahan. Jumlah warga buta huruf pun sangat memprihatikan. Karena kondisi seperti itulah sebagian besar dari 2,8 juta pemilih menaruh harapan akan adanya perubahan yang dihembuskan Lugo di negara dengan julukan Corazon de America (jantung Amerika).
Dalam tulisan ini penulis ingin menampilkan secara garis besar tentang sepak terjang Lugo dan situasi politik-ekonomi Paraguay yang menggerakkan dirinya untuk duduk di kursi kepresidenan serta pesan yang bisa kita petik dalam persiapan menghadapi pesta akbar lima tahunan (Pemilu) dalam menentukan pemimpin yang berkualitas baik bibit, bebet maupun bobotnya. Tulisan ini juga tidak menutup kemungkinan diperuntukan bagi para pelayan Sabda agar lebih berpihak kepada mereka yang miskin dan tertindas yang menjadi fokus perhatian setiap Buku Suci.
Dalam merancang tulisan ini penulis mengumpulkan informasi dari surat kabar terutama Kompas, majalah Mingguan Hidup dan hasil diskusi yang diadakan oleh PP PMKRI beberapa Minggu lalu (7/9) di daerah Cikini. Pada kesempatan tersebut hadir Robert Bala dan Budiman Sudjatmiko dimana kedua orang tersebut pernah bertemu dengan Lugo dan terlibat dalam pembicaraan bersama mereka. Tulisan ini juga tidak terlepas dari pemikiran pribadi penulis yang menemukan human interest setelah mengetahui sosok seorang Lugo dari berbagai informasi di atas.
Selayang Pandang tentang
Fernando Lugo
Fernando Lugo lahir pada 30 Mei 1951 di San Pedro del Parana, Encarnacion, sebuah kota yang berjarak 370 km dari Asuncion. Lugo berasal dari keluarga yang tidak terlalu religius. Ayahnya seorang politikus dan jarang ke Gereja. Pamannya, Epifanio Menes Fleitas, adalah seorang pembelot dari partai Colorado. Lugo juga memiliki background keluarga petani.
Lugo menamatkan pendidikannya pada umur 17 tahun di sebuah sekolah milik Yesuit. Kemudian ia bekerja di sebuah sekolah di pedalaman (Encarnacion). Pada umur 19 tahun Lugo memutuskan untuk masuk seminari, hal ini bertentangan dengan kehendak ayahnya yang menginginkan dirinya menjadi seorang pengecara. Setelah menamatkan pendidikan di seminari, Lugo melamar ke Serikat Sabda Allah (SVD: Sociedad del Verbo Divino atau Societas Verbi Divini). Pada 15 Agustus 1977 ia ditahbiskan menjadi imam Katolik dan ditugaskan ke Ekuador selama lima tahun, di tempat tersebut ia belajar banyak mengenai Teologi Pembebasan. Bahkan akhirnya ia menjadi pengagum dan peminat Teologi Pembebasan yang antara lain telah mampu membuat dirinya memahami realitas dan ketimpangan sosial. Teologi Pembebasan juga memberi inspirasi bagi tindakan politiknya, menurut beliau ajaran sosial dan nilai-nilai luhur seperti yang diajarkan berbagai agama, perlu diwujudnyatakan bagi masyarakat lapis bawah yang umumnya terlantar atau ditelantarkan.
Pada tahun 1987 ia kembali ke Paraguay. Pada tahun tersebut ia mulai aktif membela kaum tertindas, keterlibatannya mendapat sorotan dari pemerintah hingga akhirnya ia diusir oleh (rezim) militer yang diktator. Pada tahun itu pula ia dikirim untuk belajar di Roma hingga memperoleh gelar licenciat dalam ilmu sosial.
Tanggal 17 April 1994 ditahbiskan sebagai seorang uskup dan ditugaskan di wilayah San Pedro, salah satu wilayah miskin di Paraguay. Selama 10 tahun ia menjabat sebagai uskup, ia mengalami sendiri betapa keuskupannya yang berada di sebuah ibu kota provinsi, hingga kini belum beraspal.
Paraguay dan Perjalanan Politik Lugo
Paraguay adalah sebuah negara kecil dengan area 406.762 km persegi diapit oleh negara-negara besar, seperti Brasil dan Argentina. Paraguay sebenarnya negara yang sangat kaya dengan dua perusahaan Hindricos, yang menggunakan kekuatan air untuk mengaliri listrik Brasil dan Argentina.
Anehnya, sepertiga wilayah negara yang hanya berpenduduk 6,5 juta orang itu belum dialiri listrik. Listrik masih merupakan barang mewah sementara pemerintahnya berjaya dalam korupsi dengan menjual turbin-turbin pembangkit listrik. Bukan itu saja. 60% warganya tergolong miskin. Malah 32% berada dalam kemiskinan absolut. Menurut PBB di antara 10 orang Paraguay hanya satu orang yang memiliki asuransi kesehatan. Sekitar 25% warganya memilih pergi ke dukun untuk mengobati diri bila sakit karena tidak sanggup membeli obat-obatan.
Kekayaan Paraguay tidak hanya itu saja. Ia memiliki bentangan tanah yang sangat luas, muali dari selatan yang berbatasan dengan Argentina hingga ke bagian Chaco (baca: Cako) Bolivia. Sejauh mata memandang, hanya ada bentangan tanah yang luas. Ironisnya, tanah-tanah luas itu sudah bertuan. Tidak sedikit orang Eropa yang sudah memiliki sertifikat atas tanah tersebut. Pemerintah Paraguay sudah menjual tanahnya. Jadi, lebih dari 80% tanah dikuasai oleh segelintir orang kaya. Sementara rakyat Paraguay terpaksa hidup sebagai penyewa di tanah air sendiri.
Keadaan seperti itulah yang membuka mata Lugo dan bersama para petani memperjuangkan kembali tanah-tanah mereka. Dari sudut kegembalaannya sebagai uskup, ia telah berteriak bersama umat. Ia hadir di tengah umat, memperjuangkan kembalinya tanah-tanah yang dikuasai tuan-tuan tanah (latinfundos) kepada para petani. Lugo mulai menggalang kekuatan untuk melakukan reformasi agraria. Kemiskinan bisa dicabut dari petani apabila mereka memiliki lahan sendiri.
Namun usaha tersebut tak semudah membalikkan telapak tangan. Teriakan, seruan, anjuran bak menghadapi tembok beton, mekanisme korupsi sudah mentradisi sehingga sulit diubah kecuali bila dapat masuk ke dalam sistem (pemerintah) dan mengubah situasi di dalam. Atas desakan rakyat yang meminta kesediaannya menjadi Presiden dan terlebih karena realita penderitaan rakyat Paraguay, maka pada tanggal 18 Desember 2006 Lugo mengirim surat pengunduran diri dari jabatan uskup dan imam untuk dapat mencalonkan diri menjadi Presiden. Hal ini ia lakukan karena menurut hukum Gereja dan negara seorang tertahbis dilarang untuk terlibat dalam politik praktis dan menjadi seorang presiden. Keputusan Lugo menuai banyak reaksi dalam tubuh Gereja. Di satu sisi ada yang mendukung namun di sisi lain tak sedikit yang menentang keputusannya, namun demikian dadu telah dilempar dan kini sudah kita ketahui bersama bahwa Lugo telah menjabat sebagai Presiden Paraguay.
Antara Lugo dan Perilaku Wakil Rakyat Kita,
Antara Paraguay dan Indonesia
Lilitan praktek korupsi yang membelenggu Paraguay selama lebih dari enam dekade membawa penderitaan kronis bagi sebagian besar rakyat Paraguay . Padahal seperti yang telah kita ketahui dari informasi di atas, Paraguay memiliki tanah pertanian dan ladang yang sangat luas yang memungkinkan para petani untuk bercocok tanam dan memetik pendapatan dari menjual hasil pertanian dan ladangnya. Syukur bila komoditi tersebut dapat diekspor ke negara lain. Selain itu, Paraguay juga memiliki 2 perusahaan Hindricos (PLTA-nya Paraguay) yang dapat menyumbangkan devisa bagi negara untuk kemajuan dan kemakmuran rakyat. Namun ironisnya rakyat Paraguay seperti tikus yang mati kelaparan di dalam lumbung beras. Rakyat Paraguay hanya bisa menatap kekayaan alamnya dijarah oleh sekelompok kecil orang baik itu pemerintah, para tuan tanah, maupun perusahaan-perusahaan asing. Situasi Paraguay tak jauh berbeda dengan ‘iklim’ di Indonesia, tengok saja kekayaan alam dan harta karun yang terkandung di negara ini. Kita punya industri baja terkenal, tambang emas yang besar, kekayaan laut yang bernilai ekspor tinggi namun sayangnya semua itu tak memberi perubahan kasat mata bagi masyarakat setempat. Lantas kemana perginya semua kekayaan itu?
Kemiskinan, busung lapar, gagal panen karena bibit yang diberikan pemerintah “super letoy”, pengangguran yang membawa efek domino pada meningkatnya kriminalitas, harga BBM yang meroket, korupsi yang kian mengerikan bukan saja karena besarnya jumlah nominal yang membuat rakyat hanya bisa mengelus dada,, tetapi praktek ini dilakoni oleh para wakil rakyat dan penegak keadilan yang nota bene mengemban misi penting demi dan untuk kesejahteraan rakyat menjadi litani penderitaan yang menghiasi hidup harian rakyat.
Litani penderitaan ini kemudian menjadi ladang subur yang dapat dimanfaatkan bagi para calon legislatif dan presiden untuk menebar simpati dan merebut suara dalam pemilu 2009 nanti. Mereka tampil di depan publik, menampilkan gerak dan raut wajah hasil polesan jasa pembangun citra diri yang nilainya berkisar puluhan juta hingga milyaran rupiah untuk sekali tampil dalam pariwara, mereka mengkomersilkan, dan mempertontonkan penderitaan serta perjuangan rakyat mempertahankan hidup. Para caleg dan capres mendadak menjadi mesias meminjam istilah Sukardi Rinakit, yang seolah-olah kedatangannya sangat dinantikan oleh mereka yang miskin, lemah dan tertindas untuk membebaskan rakyat dari himpitan persoalan yang kian menindih, menciptakan keadilan serta membawa perubahan di dunia (Indonesia). Pemandangan tersebut hanya bisa kita alami ketika menjelang pemilu. Selain dari itu seperti yang telah kita ketahui bersama para caleg, capres dan cawapres terpilih sibuk mengadakan syukuran, jalan-jalan ke perbagai daerah dan luar negeri dengan embel-embel kepentingan dinas, mengumpulkan kembali dana yang telah keluar untuk membiayai kampanye dan menyusun strategi untuk membalas jasa kepada partai serta koalisinya dan trik-trik menghadapi pemilu berikutnya sehingga waktu lima tahun tidak cukup untuk membawa perubahan dan perbaikan kehidupan rakyat.
Membaca geliat para wakil rakyat kita di atas sangat jauh berbeda dengan kesan seorang Lugo sebelum dan ketika menjadi presiden. Sebelum menjadi presiden ia turut mengamati, mengalami dan menyerukan kegetiran hidup rakyat Paraguay dengan turun ke jalan menentang pemerintah yang korup. Pemahamannya tentang ajaran Injil, ajaran sosial gereja dan teologi pembebasan yang menekankan pemihakkan kepada orang miskin dan tertindas, cinta kasih dan solidaritas global tidak terkungkung pada tataran teoritis tetapi ia men-dunia-kan (baca: mengkonkritkan) maksud injil, ajaran sosial gereja dan konsep teologi pembebasan dilahirkan agar tidak terkesan omdo (omong doang) seperti yang sering terlontar dari mulut para kaum muda sekarang. Ketika Lugo menjabat sebagai presiden ia tidak perlu menunggu sampai lima tahun untuk membawa perubahan bagi Paraguay tetapi sesaat setelah ia dilantik, ia langsung menghembuskan sebuah perubahan salah satunya menolak menerima gaji presiden. Pola asketis menjadi inner beauty dari seorang Lugo. Pola asketis penting menjadi pola hidup seorang pemimpin atau mereka yang memegang peranan penting di negara ini dimana praktek korupsi sudah berurat akar agar tidak sampai terjerembab (untuk tidak dibilang lagi sial atau apes) kemudian mendekam dalam hotel pro deo namun lebih dari itu untuk memutuskan lingkaran setan (vicious circle) korupsi yang menyengsarakan rakyat. Mungkin kita akan terkejut menyaksikan seorang Lugo beberapa saat sebelum dilantik menjadi presiden, di meja makannya hanya tersaji labu ditaburi mayones sungguh suatu kesan yang jauh berbeda dari pemandangan ketika para calon wakil rakyat kita akan dilantik, tumpeng dan ayam goreng menjadi menu standar dalam acara syukuran tersebut.
Andaikan Lugo orang Indonesia dan menjadi pemimpin negara ini hampir dapat dipastikan ia dapat meniup angin reformasi terhadap carut marut sistem pemerintahan di negara ini yang sarat diwarnai praktek korupsi. Namun sayangnya Lugo memang bukan orang Indonesia apalagi seorang pemimpin di negara yang dulu terkenal sebagai jamrud katulistiwa akan tetapi para petinggi di negara ini dapat mengadopsi pola hidup dan tekad seorang Lugo.
Perubahan tidak akan terjadi apabila para pejabat negara kita malas belajar dan menyelesaikan tanggung jawab mereka sebagai penyambung lidah rakyat sehingga tak heran bila banyak dari mereka terkena cekal.