
Di sekitar kelurahan Rajawati, kelurahan Cililitan dan kelurahan kampung Melayu, Jakarta Timur, air mulai menggenangi ribuan rumah di kawasan permukiman padat. Di sekitar jembatan Kalibata. Permukaan air terus naik dan gunungan sampah tersumbat di kolong jembatan”. (Metropolitan, KOMPAS [Jakarta], 19 Maret 2008, hlm. 15.)
“Kawasan-kawasan yang terletak di sekitar perbatasan antara Jakarta dan Tanggerang serta Jakarta dan Bekasi terabaikan pembangunannya. Badan jalan dibiarkan rusak, sistem pembuangan sampah tidak jelas, dan jaringan pipa air bersih tidak ada”. (Metropolitan, KOMPAS [Jakarta], 07 April 2008, hlm.28.)
“Hingga pertengahan April, jumlah penderita demam berdarah dengue atau DBD di Jakarta Timur mencapai 2.664 orang. Dengan demikian rata-rata jumlah warga Jakarta Timur yang terinfeksi DBD mencapai 200 orang setiap minggunya”. (Metropolitan, KOMPAS [Jakarta], 15 April 2008, hlm.25.)
Demikianlah beberapa faktum yang melukiskan “potrem buram wajah” lingkungan Jakarta serta dampak yang harus didulang sebagai akibat kebiasaan nyampah (baca:membuang sampah tidak pada tempatnya) yang dilakoni oleh masyarakat Jakarta secara khusus. Cakupan masyarakat di sini tidak hanya terbatas pada warga atau penduduk Jakarta setempat namun memiliki batasan yang luas seperti masyarakat pemerintah dan masyarakat pasar (perusahaan, perkantoran dan pabrik). Sadar atau tidak selama ini kita memiliki penilaian yang tidak adil berkenaan dengan pihak yang bertanggungjawab atas masalah sampah. Kita melemparkan tanggung jawab serta kesalahan kepada pemerintah dan warga namun kita menutup mata terhadap para pemilik perusahaan, perkantoran dan pabrik (masyarakat pasar) yang turut memberi ‘andil’ dalam menghasilkan sampah bagi Jakarta. Hal ini diakui oleh Sri Bebassari, Ketua Umum Asosiasi Persampahan Indonesia (Indonesia Solid Waste Association/InSWA), menurut beliau selama ini masyarakat lapis terbawah selalu mendapat stigma sebagai tukang buang sampah sembarangan, dinilai malas mengelolah sampah. Sampah dituding sebagai penyebab banjir dan penyakit. Sedangkan perusahaan sebagai penghasil sampah sebagai penyumbat drainase atau sungai tidak pernah disalahkan. (Humaniora-Fenomena, KOMPAS [Jakarta], 28 Maret 2008, hlm.14.) Sadar akan hal tersebut, sudah sepantasnyalah penanganan sampah perlu ditanggulangi secara komprehensif dan integratif dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat.
Penulis merasa tertarik untuk mencoba menggumuli masalah lingkungan hidup dengan berpijak pada masalah sampah di lingkungan Jakarta yang mana akhir-akhir ini menjadi salah satu topik yang hangat dibicarakan baik melalui pemberitaan media (cetak dan elektronik), seminar, festival lingkungan hidup, maupun melalui aksi teatrikal untuk menyerukan keprihatinan terhadap keadaan bumi (lingkungan) yang sudah mulai ‘kronis’ akibat budaya nyampah.
Jakarta: Gudang Sampah
Dalam Peraturan Perundangan di daerah khusus ibu kota Jakarta yang mengatur tentang ketertiban umum yang termaktub dalam Peraturan Daerah nomor 3 tahun 1972 dalam pasal 1 (F) menyebutkan bahwa kotoran atau sampah adalah semua jenis kotoran atau sampah yang berasal dari rumah tempat tinggal, bangunan umum pabrik, industri, termasuk puing-puing sisa bahan bangunan dan besi-besi tua (bekas) kendaraan motor dan lainnya yang sejenis. (Perda D.K.I. No.3/1972, Kumpulan Peraturan di Bidang Lingkungan Hidup (Jakarta: Eko Jaya, 1998), dikutip oleh R.F. Saragih, ,,Sampah Sebagai Sumber Daya Alam”, WIDYA, thn.8 no.66 (Maret, 1991), hlm.32.) Berangkat dari pengertian tersebut maka barang-barang yang masuk dalam kategori sampah yang disumbangkan oleh masyarakat Jakarta sangat besar jumlahnya. Bahkan jumlah sampah hampir sebanding dengan jumlah penduduk kota Jakarta. Pada titik ini muncul pertanyaan akan dikemanakan sampah-sampah kota Jakarta itu? Bagaimana cara penanggulangan sampah yang jumlahnya sangat fantastis?
Jakarta sebagai salah satu kota metropolitan dan kini berkembang wacana megapolitan (Yon Lesek, dkk (eds.), Gereja Warteg-Refleksi 200 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Agung Jakarta (Jakarta:Obor, 2007), hlm. 230.) marak akan berbagai pembangunan di segala sektor kehidupan, pembangunan jalan bagi bus way, pabrik-pabrik dan mall-mall berdiri megah dan tersebar bagaikan cendawan di musim hujan, bahkan dalam satu lokasi yang jaraknya tidak berjauhan bisa berdiri 2 sampai 3 mall. Dengan demikian melihat pembangunan di Jakarta yang teramat pesat sudah bisa dipastikan bahwa tanah kosong di Jakarta nyaris tidak ada lagi. Keadaan lahan Jakarta yang sudah sangat memprihatinkan ini harus rela berbagi dengan jumlah populasi Jakarta yang sangat besar, berdasarkan data statistik dari Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kotamadya Propinsi DKI Jakarta jumlah penduduk Jakarta pada Januari 2008 sebesar 7.564.506 (bdk. “Jumlah Penduduk DKI Jakarta”, dalam http://www.kependudukancapil.go.id/index.php?stats:open&o=1, Januari 2008. Diakses tanggal 29 April 2008.). Dari 7.756.506 penduduk Jakarta setiap orang rata-rata menghasilkan 0,8 kg sampah per hari (Dieng Karnedi, ,,Sampah Bukan Sepah”, HIDUP, 61 (Maret, 2007), hlm.10.), bila jumlah sampah ini dikalkulasikan dengan jumlah penduduk Jakarta saat ini maka hasil sampah yang disumbangkan oleh masyarakat Jakarta per hari sebesar 6.205.204,8 kg sampah, jumlah ini belum termasuk sampah yang dihasilkan oleh sampah perkantoran, pabrik dan mall. Jadi bisa kita ketahui bersama dari hasil perhitungan di atas bahwa jumlah sampah hampir mengimbangi jumlah penduduk Jakarta saat ini. Oleh sebab itu tidak berlebihan bila dikatakan bahwa Jakarta sebagai gudang sampah.
Kembali pada pertanyaan di atas, akan dikemanakan sampah-sampah kota Jakarta itu? Bagaimana cara menanggulangai sampah Jakarta yang jumlahnya sangat fantastis? Masalah sampah saat ini menjadi keprihatinan kita bersama, upaya yang bisa kita lakukan jangan sampai hanya sebatas kepedulian (simpati) terhadap realita ini namun hendaknya kita semua dapat terlibat (empati) dalam menanggulangi serta mendayagunakan sampah menjadi barang yang memiliki nilai artistik, menambah penghasilan hidup serta mencegah terjadinya bencana alam serta penyakit akibat budaya nyampah dan pada akhirnya kita memiliki kesan yang sama bahwa di balik sampah sesungguhnya ada berkah Allah yang tak terkira bagi manusia, hal ini perlu terus dikomunikasikan kepada orang lain. Salah satu jalan yang paling efisien dan efektif adalah melalui jalur pendidikan.
Membuka Selubung Berkah Allah dalam Sampah melalui Pendidikan
Hidup ini jauh dari perkara-perkara besar dan luar biasa. Yang diberikan oleh hidup adalah hal-hal yang kecil dan sederhana. Tapi jika hal-hal yang amat kecil dan sepele itu kita hayati dalam cinta, kita diam-diam telah membuat sesuatu yang luar biasa (G.P. Sindhunata, ,,Suara Redaksi”, UTUSAN, no.04 tahunn 58 (April, 2008), hlm.1.) Demikian halnya dengan sampah. Sampah merupakan hal yang selalu kita jumpai setiap hari, bahkan sampah merupakan bagian dari hidup kita sebab hampir setiap hari kita menghasilkan sampah. Namun kita tidak dapat berpaling bahwa kita terjebak dalam penilaian serta perlakuan yang tidak adil terhadap sampah. Sampah seringkali dikonotasikan sebagai hal yang kotor, jorok, menjijikan dan tidak menjajikan apa pun sementara manusia yang nota bene penghasil sampah memiliki nilai yang lebih tinggi di sinilah letak ketidakadilan dalam berpikir dan betindak, dan hal ini berujung pada sikap tidak menghormati, menghargai dan mencintai lingkungan. Langkah pertama yang perlu digalakan adalah mengubah konsep atau paradigma manusia terhadap sampah. Sampah bukanlah sesuatu yang tak memiliki arti tetapi sampah merupakan medium dimana Allah melimpahkan berkah-Nya pada manusia. Karena sampalah, Notosucipto seorang pria yang kini berumur 74 tahun bisa sampai memiliki 6 rumah, armada taksi dan truk yang ia gunakan untuk mengangkut barang-barang. Lain lagi ceritanya dengan Sun Huixi, seorang murid sebuah siswa sekolah menengah pertama di kota Harbin, negeri China mendapat penghargaan pada peringatan hari AIDS sedunia, pada tanggal 1 Desember tahun lalu karena dianggap mengkampanyekan aksi melawan HIV/AIDS, Sun Huixi juga turut memberikan bantuan kepada panti yatim piatu Pita Merah sebesar Rp. 25 juta, uang sebesar itu ia peroleh bukan dari orang tuanya tetapi dari jerih payahnya mengumpulkan botol plastik dari tempat-tempat sampah. Berkat sampah pula yang membuat Adriene Trinovia Sulistyo (Adrienne) dan Vici Riyani Tedja (Vici) siswi grade XII IPA SMU Santa Laurensia, Alam Sutra, Tanggerang berhasil menggondol medali perak pada Olimpiade Proyek Lingkungan Internasional Eropa-Asia Ke-2 (Inepo Euroasia) di Baku, Azerbaijan pada 1-6 April 2008. Adrienne dan Vici memanfaatkan sisa kulit jeruk untuk mengubah styrofoam yang tak bisa diurai oleh mikroorganisme, menjadi material yang ramah lingkungan (Ilmu dan Teknologi, KORAN TEMPO [Jakarta], 28 April 2008, hlm.A12.).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar