\

Senin, 16 Maret 2009

ASTAGA KRISIS CINTA

Kita sedang mengalami krisis saat ini. Baik itu krisis Ekonomi, krisis politik maupun krisis cinta. Mungkin tanpa kita sadari eksistensi cinta menjadi ‘kebutuhan’ yang sangat langka kita jumpai sekarang dengan melihat situasi hidup kita saat ini. Silahkan kita tengok fenomena yang ada di luar sana, perang menjadi sebuah solusi yang efektif untuk menangani konflik, tawuran menjadi muara penyelesain masalah bagi para akademisi (bdk. Tawuran antar mahasiswa di Makassar dan di Jakarta), beberapa hari lalu dalam pemberitaan media elektronik seorang bapa di Bekasi tega mengendera anak kandungnya yang masih berada di bawah umur, masih banyak kasus lain yang membuktikan bahwa cinta kian tergerus dalam diri manusia. Dengan demikian teori filosofis Gabriel Marcel yang mengatakan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk yang mencinta tidak berlaku lagi saat ini, bahwasanya ketika cinta dipertemukan dengan naluri menguasai, keserakahan dan kepentingan pribadi, manusia rela menyantap sesamanya, manusia telah berubah wujud menjadi pemangsa yang mengerikan dan mengancam kehidupan orang lain. Hal ini pun diamini oleh Thomas Hobbes, seorang filsuf perintis aliran empiris modern, Hobbes mengatakan bahwa manusia pada dasarnya ingin menguasai yang lain dan akhirnya terciptalah perang antar sesama, karena yang lain pun ingin mempertahankan dan merebut kekuasaan lain, kekuasaan di luar diri atau kelompoknya, situasi seperti ini dinamakan Hobbes sebagai bellum omnes contra omnia, atau perang semua melawan semua. Dalam perang tesebut, manusia adalah serigala bagi sesamanya, homo homini lupus, yang saling memangsa dan menjadikan sesamanya korban.

Defisit nilai suatu cinta juga nampak dari sikap kita memperlakukan alam. Eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran tanpa dibarengi rasa tanggung jawab, kebiasaan nyampah, budaya konsumeristik yang memberi dampak negatif bagi keseimbangan alam serta kemajuan teknologi yang tak ramah linkungan menjadi indikator pupusnya rasa cinta dan penghargaan kita pada alam sehingga jangan heran bila alam pun pada akhirnya menjadi ‘buas dan mengamuk’ hingga manusia dibuat tak berdaya olehnya.

life is pain, life is fear,

and man is unhappy

now all is pain and fear.

Now man lives because he loves pain and fear

(Dostoevsky, Demons)

Ketakutan,kengerian,ratap tangis dan sembilu yang menyayat hati telah menyelimuti kehidupan kita dewasa ini. Tanda-tanda kehancuran kosmos (mikro maupun makro) telah hampir sampai pada tapal batas, inilah buah yang kita petik dari ketiadaan cinta di dalam diri kita. Dengan demikian benar apa yang dikatakan Ibu Teresa dari Calcuta bahwa “Kehancuran di dunia pertama-tama tidak disebabkan karena peperangan tetapi karena ketiaadaan cinta”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Senin, 16 Maret 2009

ASTAGA KRISIS CINTA

Kita sedang mengalami krisis saat ini. Baik itu krisis Ekonomi, krisis politik maupun krisis cinta. Mungkin tanpa kita sadari eksistensi cinta menjadi ‘kebutuhan’ yang sangat langka kita jumpai sekarang dengan melihat situasi hidup kita saat ini. Silahkan kita tengok fenomena yang ada di luar sana, perang menjadi sebuah solusi yang efektif untuk menangani konflik, tawuran menjadi muara penyelesain masalah bagi para akademisi (bdk. Tawuran antar mahasiswa di Makassar dan di Jakarta), beberapa hari lalu dalam pemberitaan media elektronik seorang bapa di Bekasi tega mengendera anak kandungnya yang masih berada di bawah umur, masih banyak kasus lain yang membuktikan bahwa cinta kian tergerus dalam diri manusia. Dengan demikian teori filosofis Gabriel Marcel yang mengatakan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk yang mencinta tidak berlaku lagi saat ini, bahwasanya ketika cinta dipertemukan dengan naluri menguasai, keserakahan dan kepentingan pribadi, manusia rela menyantap sesamanya, manusia telah berubah wujud menjadi pemangsa yang mengerikan dan mengancam kehidupan orang lain. Hal ini pun diamini oleh Thomas Hobbes, seorang filsuf perintis aliran empiris modern, Hobbes mengatakan bahwa manusia pada dasarnya ingin menguasai yang lain dan akhirnya terciptalah perang antar sesama, karena yang lain pun ingin mempertahankan dan merebut kekuasaan lain, kekuasaan di luar diri atau kelompoknya, situasi seperti ini dinamakan Hobbes sebagai bellum omnes contra omnia, atau perang semua melawan semua. Dalam perang tesebut, manusia adalah serigala bagi sesamanya, homo homini lupus, yang saling memangsa dan menjadikan sesamanya korban.

Defisit nilai suatu cinta juga nampak dari sikap kita memperlakukan alam. Eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran tanpa dibarengi rasa tanggung jawab, kebiasaan nyampah, budaya konsumeristik yang memberi dampak negatif bagi keseimbangan alam serta kemajuan teknologi yang tak ramah linkungan menjadi indikator pupusnya rasa cinta dan penghargaan kita pada alam sehingga jangan heran bila alam pun pada akhirnya menjadi ‘buas dan mengamuk’ hingga manusia dibuat tak berdaya olehnya.

life is pain, life is fear,

and man is unhappy

now all is pain and fear.

Now man lives because he loves pain and fear

(Dostoevsky, Demons)

Ketakutan,kengerian,ratap tangis dan sembilu yang menyayat hati telah menyelimuti kehidupan kita dewasa ini. Tanda-tanda kehancuran kosmos (mikro maupun makro) telah hampir sampai pada tapal batas, inilah buah yang kita petik dari ketiadaan cinta di dalam diri kita. Dengan demikian benar apa yang dikatakan Ibu Teresa dari Calcuta bahwa “Kehancuran di dunia pertama-tama tidak disebabkan karena peperangan tetapi karena ketiaadaan cinta”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar