\

Senin, 13 Juli 2009

KRISTOLOGI FEMINIS

Ludwig Feurbach , dalam sebuah tesisnya mengungkapkan bahwa Teologi adalah antropologi . Artinya, teologi semata-mata proyeksi kualitas manusia kepada Yang Ilahi. Kualitas-kualitas yang melekat pada Yang Ilahi merupakan atau bersumber dari kualitas manusia sendiri. Jadi bila manusia mengatakan Yang Ilahi baik hal tersebut muncul karena kualitas kebaikan ada pada manusia, atau bila manusia mengatakan bahwa Yang Ilahi itu penyayang karena memang rasa sayang juga terdapat atau dimiliki manusia.
Kita harus mengakui bahwa Teologi selama ini didominasi oleh laki-laki. Medan wacana Teologi dikuasai laki-laki dan terbatas bagi perempuan. Apabila ruang wacana teologi dikuasai laki-laki, maka sesuai dengan argumen Ludwig Feurbach maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pertama, penafsiran terhadap Yang Ilahi disarati kepentingan laki-laki dan kedua, kualitas yang diproyeksikan kepada Yang Ilahi adalah kualitas laki-laki, hal tersebut kemudian memberikan ekses, pertama pencitraan Yang Ilahi sebagai sosok maskulin dan yang kedua pembacaan Kitab Suci melegitimasi posisi subordinat kaum perempuan.
Hal seperti itu memancing reaksi keras dari para teolog feminis yang ingin mengoreksi gambaran Yang Ilahi dengan sifat-sifat patriarkal dan sebagai pria. Selain itu para teolog feminis ingin membaca dan menafsirkan Kitab Suci dalam terang pengalaman perempuan. Dengan demikian mereka ingin mengimbangi dan mengatasi Teologi yang selam ini hampir secara eksklusif diciptakan oleh pria dan dalam perspektif serta latar belakang pengalaman pria.

Teologi (Pembebasan) Feminis
Teologi memiliki sikap kritis berhadapan dengan aneka bentuk tindakan manusia yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia . Sebagai salah satu contoh, lahirnya Teologi Pembebasan di Amerika Latin dipicu oleh situasi kemiskinan yang dialami masyarakat setempat. Situasi seperti ini paradoks dengan khotbah tentang hidup Kerajaan Allah yang mana kehadiran Yesus ke tengah dunia merupakan revelasi Allah menegakkan keadilan dan kesejahteraan seluruh dunia dengan mengangkat orang-orang yang paling hina. Oleh sebab itu, kehadiran Teologi Pembebasan ingin membangkitkan kesadaran manusia kepada gambaran Yang Ilahi dalam karya menghapuskan penindasan.
Ciri-ciri yang menandai Teologi Pembebasan secara keseluruhan juga hampir sama menandai Teologi (Pembebasan) Feminis. Teologi ini muncul dari pengakuan akan penderitaan suatu kelompok khusus yang tertindas, yakni kaum perempuan. Situasi tersebut menggerakan sejumlah teolog feminis untuk bangkit dan meneriakkan sebuah situasi yang bertentangan dengan kehendak Allah. Tujuan berteologi ini tidak hanya memahami makna tradisi iman, tetapi juga mengubah tradisi (dominasi patriarkat). Tujuan lanjut dari teologi ini bukan melakukan diskriminasi sebaliknya, yaitu perempuan mendominasi laki-laki, seandainya hal tersebut terjadi, maka masalahnya akan sama saja akan tetapi Teologi ini menuntut setiap orang dengan hak-haknya sendiri ikut berpartisipasi menurut bakatnya, tanpa stereotip-stereotip tertentu, dan saling memberi dan menerima satu sama lain. Visi yang membimbing Teologi Feminis ialah visi suatu masyarakat manusia yang baru yang berdasarkan pada nilai-nilai saling menghargai dan timbal balik (laki-laki dan perempuan). Metode yang diterapkan oleh Teologi (pembebasan) Feminis adalah menganalisis situasi, menyelidiki tradisi untuk mencari apa yang ikut ambil bagian dalam menciptakan penindasan, dan menyelidiki lagi untuk mencari apa yang membebaskan serta menghasilkan penghargaan yang baru mengenai makna Yesus Kristus bagi kaum perempuan.
Reaksi kaum feminis atas situasi penindasan dan ketidakadilan dalam struktur masyarakat melahirkan 2 (dua) jenis aliran Teologi Feminis yaitu Teologi Feminis Revolusioner dan Teologi Feminis Reformis. Teologi Feminis Revolusioner diciptakan oleh kaum perempuan yang setelah menyelidiki tradisi Kristiani mengambil kesimpulan bahwa tradisi itu didominasi oleh kaum laki-laki dan menyatakan bahwa tradisi itu tidak dapat memberikan harapan perbaikan. Kaum perempuan dalam aliran Teologi ini biasanya memeberikan suara dengan hentakkan kaki dan meninggalkan Gereja. Mereka membentuk kelompok-kelompok untuk berdoa dan beribadat bersama-sama. Kelompok ini menganggap persaudarian adalah nilai yang besar dan mereka menyebut Allah dengan panggilan Dewi . Hal tersebut menandasakan bahwa Teologi Feminis Revolusioner tidak tertarik kepada Teologi Katolik dan refleksi tentang Yesus Kristus. Sedangkan aliran Teologi Feminis Reformis , sekalipun sependapat dengan aliran Teologi Feminis Revolusioner bahwa tradisi Kristiani telah didominasi kaum laki-laki, mereka masih melihat alasan untuk tetap berharap bahwa tradisi Kristiani dapat diubah, sebab tradisi itu juga mengandung unsur-unsur pembebasan yang kuat. Namun perbedaan antara Teologi Feminis Revolusioner dengan Teologi Feminis Reformis nampak dalam reaksi yang mereka lakukan. Teologi Feminis Reformis tetap tinggal di dalam Gereja dan berusaha mengadakan perubahan. Para teolog aliran ini mengunakan model pembebasan dalam arti mereka mengusahakan pelucutan patriarki dan keadilan yang sama terutama bagi orang-orang yang terampas dan tertindas.

Menggali Akar Permasalahan
Pada bagian terdahulu telah disebutkan mengenai metode yang diterapkan dalam Teologi (Pembebasan) Feminis yakni menganalisis situasi, menyelidiki tradisi untuk mencari apa yang ikut ambil bagian dalam menciptakan penindasan, dan menyelidiki kembali tradisi untuk mencari apa yang membebaskan kaum perempuan dalam cengkraman dominasi partriarkal. Ketiga langkah di atas akan diterapkan dalam menggali akar permasalah yang tumbuh di permukaan.
Langkah pertama dalam metode Teologi (Pembebasan) Feminis adalah menganalisis situasi. Pendekatan ini penting agar kita dapat mengetahui sebab musabab lahirnya negasi terhadap kaum perempuan dan peranannya dalam tradisi Kristiani. Berdasarkan analisis terhadap situasi yang menimpa kaum perempuan adalah karena faktor seksisme.
Seksisme seperti halnya rasisme bermuara pada penggolongan manusia, penentuan peranan-peranan tertentu dan mengingkari hak-hak orang-orang tertentu atas dasar ciri-ciri fisik. Rasisme memandang orang-orang tertentu lebih rendah martabatnya atas dasar warna kulit atau warisan budaya dan dengan gigih berusaha keras membatasi orang-orang kulit berwarna dalam ‘keranjang’ yang sudah ditakdirkan, demikian halnya atas dasar jenis kelamin, seksisme memandang kaum perempuan pada hakikatnya lebih rendah harga dirinya sebagai manusia daripada kaum laki-laki dan berusaha dengan sekuat tenaga untuk membatasi kaum perempuan dalam ‘kandang’ mereka sendiri. Dalam kedua paham tersebut, ciri-ciri fisik dipandang sebagai yang menentukan hakikat manusia, sehingga martabat luhur pribadi manusia dilanggar.
Seksisme menampakkan dirinya dalam 2 (dua) cara. Pertama, pola struktural sehingga kaum perempuan berada dalam genggaman laki-laki. Pola ini menjadikan laki-laki sebagai pusat, pemimpin, dan penguasa sementara perempuan dimarjinalkan. Pola tersebut kemudian dikenal dengan istilah patriarki . Pola penampakan seksisme yang kedua adalah mengangkat kemanusiaan laki-laki dan menjadikannya sebagai norma untuk semua orang. Pola ini dikenal dengan istilah androsentrisme. Cara berpikir androsentrik mengklaim bahwa kemanusiaan itu berpusat pada laki-laki dewasa. Perempuan dipandang sebagai manusia bukan menurut kedudukannya sebagai manusia kelas dua, kedudukannya berasal dari dan bergantung pada laki-laki. Pola pikir androsentrik dan patriarkal telah merasuki kehidupan masyarakat dan Gereja. Hampir semua teolog laki-laki yang berpengaruh dalam tradisi telah berpikir menurut pola tersebut, sebutlah Tertulianus, Augustinus, dan Paulus. Salah satu surat Paulus kepada Timotius berbunyi demikian “Aku tidak mengijinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengijinkannya memerintah laki-laki; Hendaknya ia berdiam diri. Karena Adam yang pertama dijadikan, kemudian barulah Hawa. Lagipula bukan
Adam yang tergoda, melainkan perempuan itulah yang tergoda dan jatuh ke dalam dosa” (bdk. 1 Tim. 2:11-14). Seksisme dengan struktur patriakalnya dan pemikiran androsentriknya telah membuat perempuan mengalami penderitaan yang sistematis.
Dalam tradisi klasik, Augustinus dan masyarakat umumnya berpendapat bahwa kesombongan adalah dosa asal yang menyebabkan manusia jatuh dalam dosa. Para teolog feminis berpendapat bahwa itu (mungkin) ada benarnya untuk laki-laki, namun untuk perempuan lebih besar kemungkinannya dosa asal timbul sebagai bentuk hilangnya pusat, buyarnya kepribadian, kurangnya kesadaran diri sehingga orang hanyut atau tidak tentu arah. Di sisi lain, seksisme juga merendahkan laki-laki, laki-laki biasa mengembangkan kemanusiaannya secara sempit (menjadi kuat, rasional, menguasai). Laki-laki juga tidak boleh mengembangkan kemanusiaannya dalam semua dimensinya, kita semua terkungkung dalam stereotip-stereotip.
Teologi Feminis telah mengembangkan sebuah kriteria atau prinsip kritis untuk menilai sistem seksisme. Menurut rumusan Rosemary Radford Ruether, prinsip itu adalah nilai kemanusiaan sepenuhnya kaum perempuan yang merunjuk kepada Gaudium et Spes, 29 tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini. Apa pun yang memampukan nilai ini tumbuh dan berkembang bersifat menebus dan berasal dari Allah; apa pun yang mengerdilakan nilai ini bersifat tidak menebus dan bertentangan dengan kehendak Allah. Dengan mengingat hal ini maka seksisme sendiri dinilai berdosa.

Kritik atas Kristologi
Langkah kedua dalam berteologi (pembebasan) feminis adalah analisis atas tradisi. Kristologi merupakan salah satu ajaran Gereja yang paling banyak mengundang kontroversial. Hal ini disebabkan karena Kristologi banyak digunakan sebagai ‘buldozer’ untuk menindas kaum perempuan. Titik penyulut dalam Kristologi adalah cara penafsiran kelaki-lakian Yesus. Kekhususan historis-Nya (laki-laki) juga dilabelkan pada diri Allah, karena Yesus laki-laki maka Allah juga laki-laki. Sehingga gambaran Allah yang dicitrakan seperti seorang perempuan tidak mendapat tempatnya. Namun dalam Kitab Kejadian, sebenarnya tertulis jelas bahwa Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan adalah sama-sama citra Allah, maka tidak ada diskriminasi di sini. Masih bertalian dengan ayat Kitab tersebut Teologi Feminis berpikir bahwa bila laki-laki dan perempuan diciptakan menurut citra Allah maka Allah dapat digambarkan sebagai laki-laki ataupun sebagai perempuan.

Kristologi Pembebasan Feminis
Metode terakhir dalam berteologi (pembebasan) feminis adalah menyelidiki tradisi untuk menemukan unsur-unsur Kristologi yang membebaskan kaum perempuan. Penyelidikan atas tradisi itu akhirnya sampai pada kesimpulan, pertama, pengajaran Yesus memaklumkan keadilan dan damai sejahtera untuk semua orang, termasuk kaum perempuan. Para teolog pembebasan melihat bahwa dalam pengajaran Yesus justru orang yang tersisih dan tersingkir dalam struktur-struktur yang sudah mapanlah yang ditempatkan pertama sebagai pemerintahan Allah, bukan untuk menciptakan diskriminasi melainkan mendobrak pola lama diskriminasi dan menciptakan pola relasi baru. Kedua, Yesus memanggil Allah sebagai Abba juga membebaskan, sebab menurut pemahaman Yesus, Abba adalah kebalikan dari patriarki yang mendominasi. Sebaliknya, Abba yang penuh belas kasih, mesra, dan erat ini membebaskan setiap orang dari pola-pola dominasi. Ketiga, perilaku Yesus yang khas, yaitu memihak kaum marjinal, meliputi kaum perempuan sebagai pihak yang tertindas dari kaum yang tertindas dalam setiap kelompok. Teladan Yesus sendiri telah membuat seorang teolog feminis berkomentar bahwa masalahnya bukan bahwa Yesus itu laki-laki, melainkan bahwa lebih banyak laki-laki tidak seperti Yesus. Keempat, kisah-kisah tentang perempuan dalam Injil ditafsirkan dari sudut pandang feminis, menjadi jelas bahwa meskipun hal ini telah disisihkan dalam tradisi androsentrik, Yesus memanggil perempuan-perempuan untuk menjadi murid-murid-Nya. Kelima, selain berkeliling bersama dengan Yesus di Galilea, perempuan-perempuan yang menjadi murid-murid-Nya juga mengikuti-Nya sampai ke Yerusalem. Keenam, dalam dasawarsa pertama Gereja, ada bukti yang kuat bahwa perempuan-perempuan menunaikan pelayanan yang gigih sebagai rekan dari para laki-laki.
Kristologi Pembebasan Feminis telah menemukan Yesus sebagai Sang Pembebas, bukan dalam arti umum yang berkenaan dengan orang-orang miskin tetapi khususnya berkenaan dengan kaum perempuan. Ia membawa keselamatan melalui hidup dan Roh-Nya, mengembalikan kaum perempuan kepada martabat pribadi yang sepenuhnya dalam Kerajaan atau Pemerintahan Allah., serta mengilhami mereka untuk membebaskan diri dari struktur-struktur dominasi dan subordinasi.

DAFTAR PUSTAKA

Banawiratma, JB dan Sindhunata, Di Bawah Bayang-Bayang Kekuasaan Lelaki, BASIS no 07-08 Tahun ke-45, Yogyakarta, Kanisius, Oktober 1996.

Budi Hardiman, F., Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Chang, William, Berteologi Pembebasan, Jakarta, Obor, Juni 2005.

Gahral Adian, Doni, Tealogi, Spiritualitas, dan Keberpihakan pada Perempuan, dalam Jurnal Perempuan seri 20, Jakarta, Yayasan Jurnal Perempuan, 2001.




Senin, 16 Maret 2009

LUGO DAN PARA WAKIL RAKYAT KITA


Katedral saya bukan lagi sebuah Gereja Keuskupan. Kini seluruh Negara adalah Katedral saya”. (Fernando Lugo)
Demikian kata seorang mantan uskup yang kini menjabat sebagai Presiden Paraguay. Pria bernama lengkap Fernando Armindo Lugo Méndez mengantongi surat suara sebanyak 41% dari pemilih Paraguay yang memungkinkan dirinya keluar sebagai pemenang dalam pemilihan Presiden Paraguay yang berlangsung pada hari Minggu (20/4). Keluarnya Lugo sebagai pemenang dalam pemilu di Paraguay memupuskan harapan Partai Colorado yang selama 61 tahun (sejak 1947) bertengger di kursi kepresidenan. Terpilihnya Lugo sebagai Presiden memiliki alasan yang sangat kuat sebab Partai Colorado yang sudah memerintah sangat lama tidak membawa perubahan yang sangat signifikan, bahkan rakyat menjadi semakin menderita karena lilitan ekonomi yang sangat akut. Angka penduduk miskin mencapai 43%, dari 6,5 juta penduduk negara tersebut (hampir 4 dari 10 penduduk Paraguay miskin), pengangguran mencapai 13%, dan 300.000 petani tanpa lahan. Jumlah warga buta huruf pun sangat memprihatikan. Karena kondisi seperti itulah sebagian besar dari 2,8 juta pemilih menaruh harapan akan adanya perubahan yang dihembuskan Lugo di negara dengan julukan Corazon de America (jantung Amerika).

Dalam tulisan ini penulis ingin menampilkan secara garis besar tentang sepak terjang Lugo dan situasi politik-ekonomi Paraguay yang menggerakkan dirinya untuk duduk di kursi kepresidenan serta pesan yang bisa kita petik dalam persiapan menghadapi pesta akbar lima tahunan (Pemilu) dalam menentukan pemimpin yang berkualitas baik bibit, bebet maupun bobotnya. Tulisan ini juga tidak menutup kemungkinan diperuntukan bagi para pelayan Sabda agar lebih berpihak kepada mereka yang miskin dan tertindas yang menjadi fokus perhatian setiap Buku Suci.

Dalam merancang tulisan ini penulis mengumpulkan informasi dari surat kabar terutama Kompas, majalah Mingguan Hidup dan hasil diskusi yang diadakan oleh PP PMKRI beberapa Minggu lalu (7/9) di daerah Cikini. Pada kesempatan tersebut hadir Robert Bala dan Budiman Sudjatmiko dimana kedua orang tersebut pernah bertemu dengan Lugo dan terlibat dalam pembicaraan bersama mereka. Tulisan ini juga tidak terlepas dari pemikiran pribadi penulis yang menemukan human interest setelah mengetahui sosok seorang Lugo dari berbagai informasi di atas.


Selayang Pandang tentang

Fernando Lugo

Fernando Lugo lahir pada 30 Mei 1951 di San Pedro del Parana, Encarnacion, sebuah kota yang berjarak 370 km dari Asuncion. Lugo berasal dari keluarga yang tidak terlalu religius. Ayahnya seorang politikus dan jarang ke Gereja. Pamannya, Epifanio Menes Fleitas, adalah seorang pembelot dari partai Colorado. Lugo juga memiliki background keluarga petani.

Lugo menamatkan pendidikannya pada umur 17 tahun di sebuah sekolah milik Yesuit. Kemudian ia bekerja di sebuah sekolah di pedalaman (Encarnacion). Pada umur 19 tahun Lugo memutuskan untuk masuk seminari, hal ini bertentangan dengan kehendak ayahnya yang menginginkan dirinya menjadi seorang pengecara. Setelah menamatkan pendidikan di seminari, Lugo melamar ke Serikat Sabda Allah (SVD: Sociedad del Verbo Divino atau Societas Verbi Divini). Pada 15 Agustus 1977 ia ditahbiskan menjadi imam Katolik dan ditugaskan ke Ekuador selama lima tahun, di tempat tersebut ia belajar banyak mengenai Teologi Pembebasan. Bahkan akhirnya ia menjadi pengagum dan peminat Teologi Pembebasan yang antara lain telah mampu membuat dirinya memahami realitas dan ketimpangan sosial. Teologi Pembebasan juga memberi inspirasi bagi tindakan politiknya, menurut beliau ajaran sosial dan nilai-nilai luhur seperti yang diajarkan berbagai agama, perlu diwujudnyatakan bagi masyarakat lapis bawah yang umumnya terlantar atau ditelantarkan.

Pada tahun 1987 ia kembali ke Paraguay. Pada tahun tersebut ia mulai aktif membela kaum tertindas, keterlibatannya mendapat sorotan dari pemerintah hingga akhirnya ia diusir oleh (rezim) militer yang diktator. Pada tahun itu pula ia dikirim untuk belajar di Roma hingga memperoleh gelar licenciat dalam ilmu sosial.

Tanggal 17 April 1994 ditahbiskan sebagai seorang uskup dan ditugaskan di wilayah San Pedro, salah satu wilayah miskin di Paraguay. Selama 10 tahun ia menjabat sebagai uskup, ia mengalami sendiri betapa keuskupannya yang berada di sebuah ibu kota provinsi, hingga kini belum beraspal.


Paraguay dan Perjalanan Politik Lugo

Paraguay adalah sebuah negara kecil dengan area 406.762 km persegi diapit oleh negara-negara besar, seperti Brasil dan Argentina. Paraguay sebenarnya negara yang sangat kaya dengan dua perusahaan Hindricos, yang menggunakan kekuatan air untuk mengaliri listrik Brasil dan Argentina.

Anehnya, sepertiga wilayah negara yang hanya berpenduduk 6,5 juta orang itu belum dialiri listrik. Listrik masih merupakan barang mewah sementara pemerintahnya berjaya dalam korupsi dengan menjual turbin-turbin pembangkit listrik. Bukan itu saja. 60% warganya tergolong miskin. Malah 32% berada dalam kemiskinan absolut. Menurut PBB di antara 10 orang Paraguay hanya satu orang yang memiliki asuransi kesehatan. Sekitar 25% warganya memilih pergi ke dukun untuk mengobati diri bila sakit karena tidak sanggup membeli obat-obatan.

Kekayaan Paraguay tidak hanya itu saja. Ia memiliki bentangan tanah yang sangat luas, muali dari selatan yang berbatasan dengan Argentina hingga ke bagian Chaco (baca: Cako) Bolivia. Sejauh mata memandang, hanya ada bentangan tanah yang luas. Ironisnya, tanah-tanah luas itu sudah bertuan. Tidak sedikit orang Eropa yang sudah memiliki sertifikat atas tanah tersebut. Pemerintah Paraguay sudah menjual tanahnya. Jadi, lebih dari 80% tanah dikuasai oleh segelintir orang kaya. Sementara rakyat Paraguay terpaksa hidup sebagai penyewa di tanah air sendiri.

Keadaan seperti itulah yang membuka mata Lugo dan bersama para petani memperjuangkan kembali tanah-tanah mereka. Dari sudut kegembalaannya sebagai uskup, ia telah berteriak bersama umat. Ia hadir di tengah umat, memperjuangkan kembalinya tanah-tanah yang dikuasai tuan-tuan tanah (latinfundos) kepada para petani. Lugo mulai menggalang kekuatan untuk melakukan reformasi agraria. Kemiskinan bisa dicabut dari petani apabila mereka memiliki lahan sendiri.

Namun usaha tersebut tak semudah membalikkan telapak tangan. Teriakan, seruan, anjuran bak menghadapi tembok beton, mekanisme korupsi sudah mentradisi sehingga sulit diubah kecuali bila dapat masuk ke dalam sistem (pemerintah) dan mengubah situasi di dalam. Atas desakan rakyat yang meminta kesediaannya menjadi Presiden dan terlebih karena realita penderitaan rakyat Paraguay, maka pada tanggal 18 Desember 2006 Lugo mengirim surat pengunduran diri dari jabatan uskup dan imam untuk dapat mencalonkan diri menjadi Presiden. Hal ini ia lakukan karena menurut hukum Gereja dan negara seorang tertahbis dilarang untuk terlibat dalam politik praktis dan menjadi seorang presiden. Keputusan Lugo menuai banyak reaksi dalam tubuh Gereja. Di satu sisi ada yang mendukung namun di sisi lain tak sedikit yang menentang keputusannya, namun demikian dadu telah dilempar dan kini sudah kita ketahui bersama bahwa Lugo telah menjabat sebagai Presiden Paraguay.


Antara Lugo dan Perilaku Wakil Rakyat Kita,

Antara Paraguay dan Indonesia

Lilitan praktek korupsi yang membelenggu Paraguay selama lebih dari enam dekade membawa penderitaan kronis bagi sebagian besar rakyat Paraguay . Padahal seperti yang telah kita ketahui dari informasi di atas, Paraguay memiliki tanah pertanian dan ladang yang sangat luas yang memungkinkan para petani untuk bercocok tanam dan memetik pendapatan dari menjual hasil pertanian dan ladangnya. Syukur bila komoditi tersebut dapat diekspor ke negara lain. Selain itu, Paraguay juga memiliki 2 perusahaan Hindricos (PLTA-nya Paraguay) yang dapat menyumbangkan devisa bagi negara untuk kemajuan dan kemakmuran rakyat. Namun ironisnya rakyat Paraguay seperti tikus yang mati kelaparan di dalam lumbung beras. Rakyat Paraguay hanya bisa menatap kekayaan alamnya dijarah oleh sekelompok kecil orang baik itu pemerintah, para tuan tanah, maupun perusahaan-perusahaan asing. Situasi Paraguay tak jauh berbeda dengan ‘iklim’ di Indonesia, tengok saja kekayaan alam dan harta karun yang terkandung di negara ini. Kita punya industri baja terkenal, tambang emas yang besar, kekayaan laut yang bernilai ekspor tinggi namun sayangnya semua itu tak memberi perubahan kasat mata bagi masyarakat setempat. Lantas kemana perginya semua kekayaan itu?

Kemiskinan, busung lapar, gagal panen karena bibit yang diberikan pemerintah “super letoy”, pengangguran yang membawa efek domino pada meningkatnya kriminalitas, harga BBM yang meroket, korupsi yang kian mengerikan bukan saja karena besarnya jumlah nominal yang membuat rakyat hanya bisa mengelus dada,, tetapi praktek ini dilakoni oleh para wakil rakyat dan penegak keadilan yang nota bene mengemban misi penting demi dan untuk kesejahteraan rakyat menjadi litani penderitaan yang menghiasi hidup harian rakyat.

Litani penderitaan ini kemudian menjadi ladang subur yang dapat dimanfaatkan bagi para calon legislatif dan presiden untuk menebar simpati dan merebut suara dalam pemilu 2009 nanti. Mereka tampil di depan publik, menampilkan gerak dan raut wajah hasil polesan jasa pembangun citra diri yang nilainya berkisar puluhan juta hingga milyaran rupiah untuk sekali tampil dalam pariwara, mereka mengkomersilkan, dan mempertontonkan penderitaan serta perjuangan rakyat mempertahankan hidup. Para caleg dan capres mendadak menjadi mesias meminjam istilah Sukardi Rinakit, yang seolah-olah kedatangannya sangat dinantikan oleh mereka yang miskin, lemah dan tertindas untuk membebaskan rakyat dari himpitan persoalan yang kian menindih, menciptakan keadilan serta membawa perubahan di dunia (Indonesia). Pemandangan tersebut hanya bisa kita alami ketika menjelang pemilu. Selain dari itu seperti yang telah kita ketahui bersama para caleg, capres dan cawapres terpilih sibuk mengadakan syukuran, jalan-jalan ke perbagai daerah dan luar negeri dengan embel-embel kepentingan dinas, mengumpulkan kembali dana yang telah keluar untuk membiayai kampanye dan menyusun strategi untuk membalas jasa kepada partai serta koalisinya dan trik-trik menghadapi pemilu berikutnya sehingga waktu lima tahun tidak cukup untuk membawa perubahan dan perbaikan kehidupan rakyat.

Membaca geliat para wakil rakyat kita di atas sangat jauh berbeda dengan kesan seorang Lugo sebelum dan ketika menjadi presiden. Sebelum menjadi presiden ia turut mengamati, mengalami dan menyerukan kegetiran hidup rakyat Paraguay dengan turun ke jalan menentang pemerintah yang korup. Pemahamannya tentang ajaran Injil, ajaran sosial gereja dan teologi pembebasan yang menekankan pemihakkan kepada orang miskin dan tertindas, cinta kasih dan solidaritas global tidak terkungkung pada tataran teoritis tetapi ia men-dunia-kan (baca: mengkonkritkan) maksud injil, ajaran sosial gereja dan konsep teologi pembebasan dilahirkan agar tidak terkesan omdo (omong doang) seperti yang sering terlontar dari mulut para kaum muda sekarang. Ketika Lugo menjabat sebagai presiden ia tidak perlu menunggu sampai lima tahun untuk membawa perubahan bagi Paraguay tetapi sesaat setelah ia dilantik, ia langsung menghembuskan sebuah perubahan salah satunya menolak menerima gaji presiden. Pola asketis menjadi inner beauty dari seorang Lugo. Pola asketis penting menjadi pola hidup seorang pemimpin atau mereka yang memegang peranan penting di negara ini dimana praktek korupsi sudah berurat akar agar tidak sampai terjerembab (untuk tidak dibilang lagi sial atau apes) kemudian mendekam dalam hotel pro deo namun lebih dari itu untuk memutuskan lingkaran setan (vicious circle) korupsi yang menyengsarakan rakyat. Mungkin kita akan terkejut menyaksikan seorang Lugo beberapa saat sebelum dilantik menjadi presiden, di meja makannya hanya tersaji labu ditaburi mayones sungguh suatu kesan yang jauh berbeda dari pemandangan ketika para calon wakil rakyat kita akan dilantik, tumpeng dan ayam goreng menjadi menu standar dalam acara syukuran tersebut.

Andaikan Lugo orang Indonesia dan menjadi pemimpin negara ini hampir dapat dipastikan ia dapat meniup angin reformasi terhadap carut marut sistem pemerintahan di negara ini yang sarat diwarnai praktek korupsi. Namun sayangnya Lugo memang bukan orang Indonesia apalagi seorang pemimpin di negara yang dulu terkenal sebagai jamrud katulistiwa akan tetapi para petinggi di negara ini dapat mengadopsi pola hidup dan tekad seorang Lugo.

Perubahan tidak akan terjadi apabila para pejabat negara kita malas belajar dan menyelesaikan tanggung jawab mereka sebagai penyambung lidah rakyat sehingga tak heran bila banyak dari mereka terkena cekal.



HENDAKNYA KITA BEREFLEKSI


Kereta bukanlah kereta, sebelum ia dijalankan. Nyanyian bukanlah nyanyian, sebelum ia dinyanyikan. Genta bukanlah genta, sebelum ia dibunyikan. Dan cinta bukanlah cinta, sebelum ia dilaksanakan”

(Gede Prama-Kereta, Genta dan Cinta)


Iklim pada siang hari itu terasa sangat panas seakan-akan membakar kulit, kulit tubuhku yang hitam dibuat menjadi kian legam dan mengkilat karena butiran keringat yang mulai membanjiri sekujur lenganku, seorang temanku pun tak tahan menghadapi iklim yang tak bersahabat seperti ini, kami akhirnya memilih untuk bernaung di sebuah warung yang menjadi langganan kami sekedar untuk pause, membebaskan tubuh dari kegerahan dan membuang dahaga. “mba, pop icenya satu” teriak temanku memesan minumannya, rupanya ia tak bisa menahan lebih lama lagi kekeringan yang terus mencekik kerongkongannya. Bung..lo minum apa? Tanya temanku kepada saya, “waduh...gak usah repot-repot, mau nraktrir ne?” jawabku dengan canda, “Yee, BS (bayar sendiri-sendiri) dong, gw hanya bantu mesenin supaya sekalian pesan” jawab temanku cepat, biasa apa pun makanannya Teh Botol Sosro minumanya, sergahku sambil mencontohi iklan di tv. Tak berapa lama kemudian pesanan kami sudah berada di hadapan kami, kami pun segera menyerumput minuman kami masing-masing, sambil menikmati minuman, saya mengungkapakan niat saya untuk membuat tulisan tentang pengalaman visualisasi beberapa minggu yang lalu, temanku merasa heran kenapa peristiwanya sudah berlalu cukup lama tetapi tulisannya baru hendak keluar, out of date, katanya. Aku hanya bisa terdiam, berpikir tentang pendapat yang disampaikan oleh temanku, apakah aku harus mengurungkan niatku untuk membuat tulisan seputar pengalaman saat visualisasi, atau maju sambil memohon maaf terlebih dahulu dan memohon pengertian dari pembaca untuk bisa memaklumi tulisan saya yang baru nongol kesiangan pasca-visualisasi beberapa pekan silam. Dilemma, mungkin kata yang tepat untuk melukiskan perasaan dan pikiranku saat itu. Entahlah, disaat dahi ini sudah kian berkerut, dan semangat dalam diri kian redup, masih ada saja seberkas cahaya kebijaksanaan yang memberi ilham kepada saya, lebih baik memulai walau terlambat dari pada tidak memulai sama sekali, mungkin (beribu maaf saya sampaikan bila pendapat saya ini salah) hanya sedikit orang saja yang menuangkan pengalamannya (tentang visualisasi) dalam bentuk tulisan, kebanyakan orang hanya meluapkan perasaan secara verbal, Verba volant scriptura manent-kata-kata terbang tetapi tulisan akan tetap tinggal, mungkin mereka yang menuangkan pengalaman visulisasi secara verbal tanpa dibarengi dengan tulisan, dalam kurung waktu sepuluh tahun atau bahkan dua puluh tahun kenangan akan indahnya pengalaman visualisasi akan pudar karena disesaki oleh pelbagai pikiran lain, sedangkan saya yang menuangkan perasaan dalam bentuk tulisan akan tetap terbayang sampai jiwa ini meninggalkan tubuhnya. Karena ilham dadakan itulah akhirnya saya berniat dan membuat tulisan ini.


Visualisasi: Ketika dihadapkan pada pilihan

Setiap manusia pasti pernah dihadapkan pada pilihan, dan setiap pilihan memiliki konsekuensi, mengorbankan yang satu dan menjalani pilihan yang lain. Dan hal itu tidaklah gampang, seandainya anda dihadapkan pada dua pilihan yang sama penting, disaat yang bersamaan dan keduanya menuntut kehadiran anda karena kehadiran anda sangat penting dan dibutuhkan, ibarat memakan buah simalakama, anda pasti merasa bingung memakan buah itu atau tidak memakannya, namun kedua pilihan tersebut mempunyai konsekuensinya masing-masing. Memilih keduanya memiliki konsekuensi memilih yang satu ada konsekuensinya dan tak memilih pun tetap memiliki konsekuensi.

Saya merasa bingung dan merasa serba salah harus menentukan pilihan yang mana, ketika beberapa hari menjelang pementasan dan tinggal dua hari merampungkan pementasan saya mendapat tawaran pekerjaan, saya berpikir untuk membuang dadu, menentukan pilihan mana yang harus saya ambil, menyetujui tawaran pekerjaan dan absen saat gladi bersih, atau sebaliknya melanjutkan terus persiapan visualisasi dan melepaskan rejeki yang berada di depan mata. Berat bagiku untuk membuang pilihan, tapi seperti kata pepatah the show must go on, maka setelah melalui sebuah ‘proses’ saya memilih untuk mengikuti persiapan visualisasi. Memang ada perasaan yang sulit untuk dibahasakan saat saya membuang kesempatan melewatkan rejeki tetapi saya yakin bahwa suatu hari nanti pasti ada kesempatan untuk kedua kalinya, karena saya yakin bahwa Allah itu Maha Pengasih, apalagi pilihan yang saya tekuni demi kebesaran nama-Nya dan demi perkembangan iman umat-Nya, dan benar harapan saya kemudian menjadi kenyataan, dua minggu setelah visualisasi saya mendapat panggilan untuk bekerja dan rejeki yang saya dapat dari pekerjaan tersebut saya gunakan untuk kebutuhan saya mendaftar di salah satu universitas di Jakarta.

Sahabat-sahabatku, setiap pilihan dan akhirnya sampai pada saat anda memilih salah satunya selalu mengandung resiko dan keberuntungan. Keputusan apa pun yang kita ambil, itulah yang terbaik bagi kita; jangan disesali jika akhirnya kurang berhasil. Yang penting, berdoalah dulu kepada Tuhan, agar kita dibimbing-Nya dalam menentukan keputusan terbaik bagi kita.


Visualisasi: Ruang untuk berefleksi

Pada tanggal 5 April 2007, saya mendapat sebuah pesan singkat (SMS) dari salah seorang teman saya yang sedang menyelesaikan gelar sarjananya pada salah satu universitas swasta di kota gudeg, Yogyakarta. Pesannya berbunyi “ Setiap perbuatan baik yang kita lakukan dengan tulus kepada sesama adalah tabungan untuk diri kita sendiri...itulah cara bagaimana kita mengumpulkan poin...merayakan hidup dan menikmati hasil kesehatan jiwa dan raga...apa kataku tentang Yudas yang menjual Yesus hari ini? Perjamuan terakhir sebagai simbol saling mengasihi seumur hidup” hati terdalamku tersentuh selesai aku membaca pesan singkat yang dikirim oleh teman, pesan tersebut seakan mendapat pemenuhannya ketika pementasan visulisasi berlangsung, adegan demi adegan yang ditampilkan menghantar saya untuk masuk secara lebih mendalam ke alam refleksi, tentang penghianatan, ketakutan menghadapi kesulitan, kebohongan, pengorbanan, cinta yang tulus, dan lain sebagainya. Sejujurnya, pengalaman visualisasi sebenarnya mengangkat perilaku-perilaku manusia zaman sekarang, bila tak berlebihan saya mengatakan bahwa sebenarnya banyak dari kita turut menyalibkan Yesus, untuk yang kedua kalinya lewat tutur kata dan perbuatan kita setiap hari. Kalau kita mau terbuka, terkadang kita pun sama seperti Yudas, penghianat. Kita menghianati teman, guru, pasangan, orang tua dan Tuhan dengan membeberkan janji palsu. Kita juga terkadang seperti Petrus, penakut dan pembual yang mengaku setia namun menjadi ciut ketika bahaya menghadangnya. Atau kita juga pernah bersikap seperti Pilatus, selalu mencuci tangan, tak mau tahu dan tak ingin terlibat dalam maslah padahal sikap kitalah yang menjadi sumber masalah, mengambil keputusan tidak bijaksana dan diganti dengan prinsip ABS (Asal Bapa Senang) demi mempertahankan dan menaikan pamor kita dihadapan orang-orang, namun berapa orang yang dapat bersikap seperti Yesus, mencintai semua orang hingga mengorbankan diri-Nya untuk menanggung semua salah dan dosa yang telah kita lakukan. Yesus mengajarkan dan memberi teladan tentang arti sebuah cinta, cinta bukanlah cinta sebelum ia dilaksanakan. Saya akhirnya kembali teringat akan sepatah kalimat yang berbunyi siapa yang berani mencintai ia harus berani berkorban, apakah anda sudah siap untuk mencintai...??

Jika kita tanggap visualisasi bukanlah show atau lakon pada sebuah locus, visualisai lebih sebagai sebuah medium yang membawa anda dan saya ke dalam suatu ruang refleksi tentang sepak terjang kita di bumi ini dan bagaimana kita menata hidup menjadi kian indah baik bagi Tuhan, orang lain dan diri sendiri. Hal inilah yang saya temukan dalam visualisasi kali ini, ia (visualisasi) membawaku masuk ke dalam permenungan dan memberi ajaran moral bagi saya untuk mempercantik tutur kata dan perbuatan saya. Terima kasih...

ASTAGA KRISIS CINTA

Kita sedang mengalami krisis saat ini. Baik itu krisis Ekonomi, krisis politik maupun krisis cinta. Mungkin tanpa kita sadari eksistensi cinta menjadi ‘kebutuhan’ yang sangat langka kita jumpai sekarang dengan melihat situasi hidup kita saat ini. Silahkan kita tengok fenomena yang ada di luar sana, perang menjadi sebuah solusi yang efektif untuk menangani konflik, tawuran menjadi muara penyelesain masalah bagi para akademisi (bdk. Tawuran antar mahasiswa di Makassar dan di Jakarta), beberapa hari lalu dalam pemberitaan media elektronik seorang bapa di Bekasi tega mengendera anak kandungnya yang masih berada di bawah umur, masih banyak kasus lain yang membuktikan bahwa cinta kian tergerus dalam diri manusia. Dengan demikian teori filosofis Gabriel Marcel yang mengatakan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk yang mencinta tidak berlaku lagi saat ini, bahwasanya ketika cinta dipertemukan dengan naluri menguasai, keserakahan dan kepentingan pribadi, manusia rela menyantap sesamanya, manusia telah berubah wujud menjadi pemangsa yang mengerikan dan mengancam kehidupan orang lain. Hal ini pun diamini oleh Thomas Hobbes, seorang filsuf perintis aliran empiris modern, Hobbes mengatakan bahwa manusia pada dasarnya ingin menguasai yang lain dan akhirnya terciptalah perang antar sesama, karena yang lain pun ingin mempertahankan dan merebut kekuasaan lain, kekuasaan di luar diri atau kelompoknya, situasi seperti ini dinamakan Hobbes sebagai bellum omnes contra omnia, atau perang semua melawan semua. Dalam perang tesebut, manusia adalah serigala bagi sesamanya, homo homini lupus, yang saling memangsa dan menjadikan sesamanya korban.

Defisit nilai suatu cinta juga nampak dari sikap kita memperlakukan alam. Eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran tanpa dibarengi rasa tanggung jawab, kebiasaan nyampah, budaya konsumeristik yang memberi dampak negatif bagi keseimbangan alam serta kemajuan teknologi yang tak ramah linkungan menjadi indikator pupusnya rasa cinta dan penghargaan kita pada alam sehingga jangan heran bila alam pun pada akhirnya menjadi ‘buas dan mengamuk’ hingga manusia dibuat tak berdaya olehnya.

life is pain, life is fear,

and man is unhappy

now all is pain and fear.

Now man lives because he loves pain and fear

(Dostoevsky, Demons)

Ketakutan,kengerian,ratap tangis dan sembilu yang menyayat hati telah menyelimuti kehidupan kita dewasa ini. Tanda-tanda kehancuran kosmos (mikro maupun makro) telah hampir sampai pada tapal batas, inilah buah yang kita petik dari ketiadaan cinta di dalam diri kita. Dengan demikian benar apa yang dikatakan Ibu Teresa dari Calcuta bahwa “Kehancuran di dunia pertama-tama tidak disebabkan karena peperangan tetapi karena ketiaadaan cinta”.

SAMPAH:BERKAH ALLAH YANG TERSELUBUNG


Di sekitar kelurahan Rajawati, kelurahan Cililitan dan kelurahan kampung Melayu, Jakarta Timur, air mulai menggenangi ribuan rumah di kawasan permukiman padat. Di sekitar jembatan Kalibata. Permukaan air terus naik dan gunungan sampah tersumbat di kolong jembatan”. (Metropolitan, KOMPAS [Jakarta], 19 Maret 2008, hlm. 15.)


Kawasan-kawasan yang terletak di sekitar perbatasan antara Jakarta dan Tanggerang serta Jakarta dan Bekasi terabaikan pembangunannya. Badan jalan dibiarkan rusak, sistem pembuangan sampah tidak jelas, dan jaringan pipa air bersih tidak ada”. (Metropolitan, KOMPAS [Jakarta], 07 April 2008, hlm.28.)

“Hingga pertengahan April, jumlah penderita demam berdarah dengue atau DBD di Jakarta Timur mencapai 2.664 orang. Dengan demikian rata-rata jumlah warga Jakarta Timur yang terinfeksi DBD mencapai 200 orang setiap minggunya”. (Metropolitan, KOMPAS [Jakarta], 15 April 2008, hlm.25.)


Demikianlah beberapa faktum yang melukiskan “potrem buram wajah” lingkungan Jakarta serta dampak yang harus didulang sebagai akibat kebiasaan nyampah (baca:membuang sampah tidak pada tempatnya) yang dilakoni oleh masyarakat Jakarta secara khusus. Cakupan masyarakat di sini tidak hanya terbatas pada warga atau penduduk Jakarta setempat namun memiliki batasan yang luas seperti masyarakat pemerintah dan masyarakat pasar (perusahaan, perkantoran dan pabrik). Sadar atau tidak selama ini kita memiliki penilaian yang tidak adil berkenaan dengan pihak yang bertanggungjawab atas masalah sampah. Kita melemparkan tanggung jawab serta kesalahan kepada pemerintah dan warga namun kita menutup mata terhadap para pemilik perusahaan, perkantoran dan pabrik (masyarakat pasar) yang turut memberi ‘andil’ dalam menghasilkan sampah bagi Jakarta. Hal ini diakui oleh Sri Bebassari, Ketua Umum Asosiasi Persampahan Indonesia (Indonesia Solid Waste Association/InSWA), menurut beliau selama ini masyarakat lapis terbawah selalu mendapat stigma sebagai tukang buang sampah sembarangan, dinilai malas mengelolah sampah. Sampah dituding sebagai penyebab banjir dan penyakit. Sedangkan perusahaan sebagai penghasil sampah sebagai penyumbat drainase atau sungai tidak pernah disalahkan. (Humaniora-Fenomena, KOMPAS [Jakarta], 28 Maret 2008, hlm.14.) Sadar akan hal tersebut, sudah sepantasnyalah penanganan sampah perlu ditanggulangi secara komprehensif dan integratif dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat.

Penulis merasa tertarik untuk mencoba menggumuli masalah lingkungan hidup dengan berpijak pada masalah sampah di lingkungan Jakarta yang mana akhir-akhir ini menjadi salah satu topik yang hangat dibicarakan baik melalui pemberitaan media (cetak dan elektronik), seminar, festival lingkungan hidup, maupun melalui aksi teatrikal untuk menyerukan keprihatinan terhadap keadaan bumi (lingkungan) yang sudah mulai ‘kronis’ akibat budaya nyampah.


Jakarta: Gudang Sampah

Dalam Peraturan Perundangan di daerah khusus ibu kota Jakarta yang mengatur tentang ketertiban umum yang termaktub dalam Peraturan Daerah nomor 3 tahun 1972 dalam pasal 1 (F) menyebutkan bahwa kotoran atau sampah adalah semua jenis kotoran atau sampah yang berasal dari rumah tempat tinggal, bangunan umum pabrik, industri, termasuk puing-puing sisa bahan bangunan dan besi-besi tua (bekas) kendaraan motor dan lainnya yang sejenis. (Perda D.K.I. No.3/1972, Kumpulan Peraturan di Bidang Lingkungan Hidup (Jakarta: Eko Jaya, 1998), dikutip oleh R.F. Saragih, ,,Sampah Sebagai Sumber Daya Alam”, WIDYA, thn.8 no.66 (Maret, 1991), hlm.32.) Berangkat dari pengertian tersebut maka barang-barang yang masuk dalam kategori sampah yang disumbangkan oleh masyarakat Jakarta sangat besar jumlahnya. Bahkan jumlah sampah hampir sebanding dengan jumlah penduduk kota Jakarta. Pada titik ini muncul pertanyaan akan dikemanakan sampah-sampah kota Jakarta itu? Bagaimana cara penanggulangan sampah yang jumlahnya sangat fantastis?

Jakarta sebagai salah satu kota metropolitan dan kini berkembang wacana megapolitan (Yon Lesek, dkk (eds.), Gereja Warteg-Refleksi 200 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Agung Jakarta (Jakarta:Obor, 2007), hlm. 230.) marak akan berbagai pembangunan di segala sektor kehidupan, pembangunan jalan bagi bus way, pabrik-pabrik dan mall-mall berdiri megah dan tersebar bagaikan cendawan di musim hujan, bahkan dalam satu lokasi yang jaraknya tidak berjauhan bisa berdiri 2 sampai 3 mall. Dengan demikian melihat pembangunan di Jakarta yang teramat pesat sudah bisa dipastikan bahwa tanah kosong di Jakarta nyaris tidak ada lagi. Keadaan lahan Jakarta yang sudah sangat memprihatinkan ini harus rela berbagi dengan jumlah populasi Jakarta yang sangat besar, berdasarkan data statistik dari Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kotamadya Propinsi DKI Jakarta jumlah penduduk Jakarta pada Januari 2008 sebesar 7.564.506 (bdk. “Jumlah Penduduk DKI Jakarta”, dalam http://www.kependudukancapil.go.id/index.php?stats:open&o=1, Januari 2008. Diakses tanggal 29 April 2008.). Dari 7.756.506 penduduk Jakarta setiap orang rata-rata menghasilkan 0,8 kg sampah per hari (Dieng Karnedi, ,,Sampah Bukan Sepah”, HIDUP, 61 (Maret, 2007), hlm.10.), bila jumlah sampah ini dikalkulasikan dengan jumlah penduduk Jakarta saat ini maka hasil sampah yang disumbangkan oleh masyarakat Jakarta per hari sebesar 6.205.204,8 kg sampah, jumlah ini belum termasuk sampah yang dihasilkan oleh sampah perkantoran, pabrik dan mall. Jadi bisa kita ketahui bersama dari hasil perhitungan di atas bahwa jumlah sampah hampir mengimbangi jumlah penduduk Jakarta saat ini. Oleh sebab itu tidak berlebihan bila dikatakan bahwa Jakarta sebagai gudang sampah.

Kembali pada pertanyaan di atas, akan dikemanakan sampah-sampah kota Jakarta itu? Bagaimana cara menanggulangai sampah Jakarta yang jumlahnya sangat fantastis? Masalah sampah saat ini menjadi keprihatinan kita bersama, upaya yang bisa kita lakukan jangan sampai hanya sebatas kepedulian (simpati) terhadap realita ini namun hendaknya kita semua dapat terlibat (empati) dalam menanggulangi serta mendayagunakan sampah menjadi barang yang memiliki nilai artistik, menambah penghasilan hidup serta mencegah terjadinya bencana alam serta penyakit akibat budaya nyampah dan pada akhirnya kita memiliki kesan yang sama bahwa di balik sampah sesungguhnya ada berkah Allah yang tak terkira bagi manusia, hal ini perlu terus dikomunikasikan kepada orang lain. Salah satu jalan yang paling efisien dan efektif adalah melalui jalur pendidikan.


Membuka Selubung Berkah Allah dalam Sampah melalui Pendidikan

Hidup ini jauh dari perkara-perkara besar dan luar biasa. Yang diberikan oleh hidup adalah hal-hal yang kecil dan sederhana. Tapi jika hal-hal yang amat kecil dan sepele itu kita hayati dalam cinta, kita diam-diam telah membuat sesuatu yang luar biasa (G.P. Sindhunata, ,,Suara Redaksi”, UTUSAN, no.04 tahunn 58 (April, 2008), hlm.1.) Demikian halnya dengan sampah. Sampah merupakan hal yang selalu kita jumpai setiap hari, bahkan sampah merupakan bagian dari hidup kita sebab hampir setiap hari kita menghasilkan sampah. Namun kita tidak dapat berpaling bahwa kita terjebak dalam penilaian serta perlakuan yang tidak adil terhadap sampah. Sampah seringkali dikonotasikan sebagai hal yang kotor, jorok, menjijikan dan tidak menjajikan apa pun sementara manusia yang nota bene penghasil sampah memiliki nilai yang lebih tinggi di sinilah letak ketidakadilan dalam berpikir dan betindak, dan hal ini berujung pada sikap tidak menghormati, menghargai dan mencintai lingkungan. Langkah pertama yang perlu digalakan adalah mengubah konsep atau paradigma manusia terhadap sampah. Sampah bukanlah sesuatu yang tak memiliki arti tetapi sampah merupakan medium dimana Allah melimpahkan berkah-Nya pada manusia. Karena sampalah, Notosucipto seorang pria yang kini berumur 74 tahun bisa sampai memiliki 6 rumah, armada taksi dan truk yang ia gunakan untuk mengangkut barang-barang. Lain lagi ceritanya dengan Sun Huixi, seorang murid sebuah siswa sekolah menengah pertama di kota Harbin, negeri China mendapat penghargaan pada peringatan hari AIDS sedunia, pada tanggal 1 Desember tahun lalu karena dianggap mengkampanyekan aksi melawan HIV/AIDS, Sun Huixi juga turut memberikan bantuan kepada panti yatim piatu Pita Merah sebesar Rp. 25 juta, uang sebesar itu ia peroleh bukan dari orang tuanya tetapi dari jerih payahnya mengumpulkan botol plastik dari tempat-tempat sampah. Berkat sampah pula yang membuat Adriene Trinovia Sulistyo (Adrienne) dan Vici Riyani Tedja (Vici) siswi grade XII IPA SMU Santa Laurensia, Alam Sutra, Tanggerang berhasil menggondol medali perak pada Olimpiade Proyek Lingkungan Internasional Eropa-Asia Ke-2 (Inepo Euroasia) di Baku, Azerbaijan pada 1-6 April 2008. Adrienne dan Vici memanfaatkan sisa kulit jeruk untuk mengubah styrofoam yang tak bisa diurai oleh mikroorganisme, menjadi material yang ramah lingkungan (Ilmu dan Teknologi, KORAN TEMPO [Jakarta], 28 April 2008, hlm.A12.).




Senin, 13 Juli 2009

KRISTOLOGI FEMINIS

Ludwig Feurbach , dalam sebuah tesisnya mengungkapkan bahwa Teologi adalah antropologi . Artinya, teologi semata-mata proyeksi kualitas manusia kepada Yang Ilahi. Kualitas-kualitas yang melekat pada Yang Ilahi merupakan atau bersumber dari kualitas manusia sendiri. Jadi bila manusia mengatakan Yang Ilahi baik hal tersebut muncul karena kualitas kebaikan ada pada manusia, atau bila manusia mengatakan bahwa Yang Ilahi itu penyayang karena memang rasa sayang juga terdapat atau dimiliki manusia.
Kita harus mengakui bahwa Teologi selama ini didominasi oleh laki-laki. Medan wacana Teologi dikuasai laki-laki dan terbatas bagi perempuan. Apabila ruang wacana teologi dikuasai laki-laki, maka sesuai dengan argumen Ludwig Feurbach maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pertama, penafsiran terhadap Yang Ilahi disarati kepentingan laki-laki dan kedua, kualitas yang diproyeksikan kepada Yang Ilahi adalah kualitas laki-laki, hal tersebut kemudian memberikan ekses, pertama pencitraan Yang Ilahi sebagai sosok maskulin dan yang kedua pembacaan Kitab Suci melegitimasi posisi subordinat kaum perempuan.
Hal seperti itu memancing reaksi keras dari para teolog feminis yang ingin mengoreksi gambaran Yang Ilahi dengan sifat-sifat patriarkal dan sebagai pria. Selain itu para teolog feminis ingin membaca dan menafsirkan Kitab Suci dalam terang pengalaman perempuan. Dengan demikian mereka ingin mengimbangi dan mengatasi Teologi yang selam ini hampir secara eksklusif diciptakan oleh pria dan dalam perspektif serta latar belakang pengalaman pria.

Teologi (Pembebasan) Feminis
Teologi memiliki sikap kritis berhadapan dengan aneka bentuk tindakan manusia yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia . Sebagai salah satu contoh, lahirnya Teologi Pembebasan di Amerika Latin dipicu oleh situasi kemiskinan yang dialami masyarakat setempat. Situasi seperti ini paradoks dengan khotbah tentang hidup Kerajaan Allah yang mana kehadiran Yesus ke tengah dunia merupakan revelasi Allah menegakkan keadilan dan kesejahteraan seluruh dunia dengan mengangkat orang-orang yang paling hina. Oleh sebab itu, kehadiran Teologi Pembebasan ingin membangkitkan kesadaran manusia kepada gambaran Yang Ilahi dalam karya menghapuskan penindasan.
Ciri-ciri yang menandai Teologi Pembebasan secara keseluruhan juga hampir sama menandai Teologi (Pembebasan) Feminis. Teologi ini muncul dari pengakuan akan penderitaan suatu kelompok khusus yang tertindas, yakni kaum perempuan. Situasi tersebut menggerakan sejumlah teolog feminis untuk bangkit dan meneriakkan sebuah situasi yang bertentangan dengan kehendak Allah. Tujuan berteologi ini tidak hanya memahami makna tradisi iman, tetapi juga mengubah tradisi (dominasi patriarkat). Tujuan lanjut dari teologi ini bukan melakukan diskriminasi sebaliknya, yaitu perempuan mendominasi laki-laki, seandainya hal tersebut terjadi, maka masalahnya akan sama saja akan tetapi Teologi ini menuntut setiap orang dengan hak-haknya sendiri ikut berpartisipasi menurut bakatnya, tanpa stereotip-stereotip tertentu, dan saling memberi dan menerima satu sama lain. Visi yang membimbing Teologi Feminis ialah visi suatu masyarakat manusia yang baru yang berdasarkan pada nilai-nilai saling menghargai dan timbal balik (laki-laki dan perempuan). Metode yang diterapkan oleh Teologi (pembebasan) Feminis adalah menganalisis situasi, menyelidiki tradisi untuk mencari apa yang ikut ambil bagian dalam menciptakan penindasan, dan menyelidiki lagi untuk mencari apa yang membebaskan serta menghasilkan penghargaan yang baru mengenai makna Yesus Kristus bagi kaum perempuan.
Reaksi kaum feminis atas situasi penindasan dan ketidakadilan dalam struktur masyarakat melahirkan 2 (dua) jenis aliran Teologi Feminis yaitu Teologi Feminis Revolusioner dan Teologi Feminis Reformis. Teologi Feminis Revolusioner diciptakan oleh kaum perempuan yang setelah menyelidiki tradisi Kristiani mengambil kesimpulan bahwa tradisi itu didominasi oleh kaum laki-laki dan menyatakan bahwa tradisi itu tidak dapat memberikan harapan perbaikan. Kaum perempuan dalam aliran Teologi ini biasanya memeberikan suara dengan hentakkan kaki dan meninggalkan Gereja. Mereka membentuk kelompok-kelompok untuk berdoa dan beribadat bersama-sama. Kelompok ini menganggap persaudarian adalah nilai yang besar dan mereka menyebut Allah dengan panggilan Dewi . Hal tersebut menandasakan bahwa Teologi Feminis Revolusioner tidak tertarik kepada Teologi Katolik dan refleksi tentang Yesus Kristus. Sedangkan aliran Teologi Feminis Reformis , sekalipun sependapat dengan aliran Teologi Feminis Revolusioner bahwa tradisi Kristiani telah didominasi kaum laki-laki, mereka masih melihat alasan untuk tetap berharap bahwa tradisi Kristiani dapat diubah, sebab tradisi itu juga mengandung unsur-unsur pembebasan yang kuat. Namun perbedaan antara Teologi Feminis Revolusioner dengan Teologi Feminis Reformis nampak dalam reaksi yang mereka lakukan. Teologi Feminis Reformis tetap tinggal di dalam Gereja dan berusaha mengadakan perubahan. Para teolog aliran ini mengunakan model pembebasan dalam arti mereka mengusahakan pelucutan patriarki dan keadilan yang sama terutama bagi orang-orang yang terampas dan tertindas.

Menggali Akar Permasalahan
Pada bagian terdahulu telah disebutkan mengenai metode yang diterapkan dalam Teologi (Pembebasan) Feminis yakni menganalisis situasi, menyelidiki tradisi untuk mencari apa yang ikut ambil bagian dalam menciptakan penindasan, dan menyelidiki kembali tradisi untuk mencari apa yang membebaskan kaum perempuan dalam cengkraman dominasi partriarkal. Ketiga langkah di atas akan diterapkan dalam menggali akar permasalah yang tumbuh di permukaan.
Langkah pertama dalam metode Teologi (Pembebasan) Feminis adalah menganalisis situasi. Pendekatan ini penting agar kita dapat mengetahui sebab musabab lahirnya negasi terhadap kaum perempuan dan peranannya dalam tradisi Kristiani. Berdasarkan analisis terhadap situasi yang menimpa kaum perempuan adalah karena faktor seksisme.
Seksisme seperti halnya rasisme bermuara pada penggolongan manusia, penentuan peranan-peranan tertentu dan mengingkari hak-hak orang-orang tertentu atas dasar ciri-ciri fisik. Rasisme memandang orang-orang tertentu lebih rendah martabatnya atas dasar warna kulit atau warisan budaya dan dengan gigih berusaha keras membatasi orang-orang kulit berwarna dalam ‘keranjang’ yang sudah ditakdirkan, demikian halnya atas dasar jenis kelamin, seksisme memandang kaum perempuan pada hakikatnya lebih rendah harga dirinya sebagai manusia daripada kaum laki-laki dan berusaha dengan sekuat tenaga untuk membatasi kaum perempuan dalam ‘kandang’ mereka sendiri. Dalam kedua paham tersebut, ciri-ciri fisik dipandang sebagai yang menentukan hakikat manusia, sehingga martabat luhur pribadi manusia dilanggar.
Seksisme menampakkan dirinya dalam 2 (dua) cara. Pertama, pola struktural sehingga kaum perempuan berada dalam genggaman laki-laki. Pola ini menjadikan laki-laki sebagai pusat, pemimpin, dan penguasa sementara perempuan dimarjinalkan. Pola tersebut kemudian dikenal dengan istilah patriarki . Pola penampakan seksisme yang kedua adalah mengangkat kemanusiaan laki-laki dan menjadikannya sebagai norma untuk semua orang. Pola ini dikenal dengan istilah androsentrisme. Cara berpikir androsentrik mengklaim bahwa kemanusiaan itu berpusat pada laki-laki dewasa. Perempuan dipandang sebagai manusia bukan menurut kedudukannya sebagai manusia kelas dua, kedudukannya berasal dari dan bergantung pada laki-laki. Pola pikir androsentrik dan patriarkal telah merasuki kehidupan masyarakat dan Gereja. Hampir semua teolog laki-laki yang berpengaruh dalam tradisi telah berpikir menurut pola tersebut, sebutlah Tertulianus, Augustinus, dan Paulus. Salah satu surat Paulus kepada Timotius berbunyi demikian “Aku tidak mengijinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengijinkannya memerintah laki-laki; Hendaknya ia berdiam diri. Karena Adam yang pertama dijadikan, kemudian barulah Hawa. Lagipula bukan
Adam yang tergoda, melainkan perempuan itulah yang tergoda dan jatuh ke dalam dosa” (bdk. 1 Tim. 2:11-14). Seksisme dengan struktur patriakalnya dan pemikiran androsentriknya telah membuat perempuan mengalami penderitaan yang sistematis.
Dalam tradisi klasik, Augustinus dan masyarakat umumnya berpendapat bahwa kesombongan adalah dosa asal yang menyebabkan manusia jatuh dalam dosa. Para teolog feminis berpendapat bahwa itu (mungkin) ada benarnya untuk laki-laki, namun untuk perempuan lebih besar kemungkinannya dosa asal timbul sebagai bentuk hilangnya pusat, buyarnya kepribadian, kurangnya kesadaran diri sehingga orang hanyut atau tidak tentu arah. Di sisi lain, seksisme juga merendahkan laki-laki, laki-laki biasa mengembangkan kemanusiaannya secara sempit (menjadi kuat, rasional, menguasai). Laki-laki juga tidak boleh mengembangkan kemanusiaannya dalam semua dimensinya, kita semua terkungkung dalam stereotip-stereotip.
Teologi Feminis telah mengembangkan sebuah kriteria atau prinsip kritis untuk menilai sistem seksisme. Menurut rumusan Rosemary Radford Ruether, prinsip itu adalah nilai kemanusiaan sepenuhnya kaum perempuan yang merunjuk kepada Gaudium et Spes, 29 tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini. Apa pun yang memampukan nilai ini tumbuh dan berkembang bersifat menebus dan berasal dari Allah; apa pun yang mengerdilakan nilai ini bersifat tidak menebus dan bertentangan dengan kehendak Allah. Dengan mengingat hal ini maka seksisme sendiri dinilai berdosa.

Kritik atas Kristologi
Langkah kedua dalam berteologi (pembebasan) feminis adalah analisis atas tradisi. Kristologi merupakan salah satu ajaran Gereja yang paling banyak mengundang kontroversial. Hal ini disebabkan karena Kristologi banyak digunakan sebagai ‘buldozer’ untuk menindas kaum perempuan. Titik penyulut dalam Kristologi adalah cara penafsiran kelaki-lakian Yesus. Kekhususan historis-Nya (laki-laki) juga dilabelkan pada diri Allah, karena Yesus laki-laki maka Allah juga laki-laki. Sehingga gambaran Allah yang dicitrakan seperti seorang perempuan tidak mendapat tempatnya. Namun dalam Kitab Kejadian, sebenarnya tertulis jelas bahwa Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan adalah sama-sama citra Allah, maka tidak ada diskriminasi di sini. Masih bertalian dengan ayat Kitab tersebut Teologi Feminis berpikir bahwa bila laki-laki dan perempuan diciptakan menurut citra Allah maka Allah dapat digambarkan sebagai laki-laki ataupun sebagai perempuan.

Kristologi Pembebasan Feminis
Metode terakhir dalam berteologi (pembebasan) feminis adalah menyelidiki tradisi untuk menemukan unsur-unsur Kristologi yang membebaskan kaum perempuan. Penyelidikan atas tradisi itu akhirnya sampai pada kesimpulan, pertama, pengajaran Yesus memaklumkan keadilan dan damai sejahtera untuk semua orang, termasuk kaum perempuan. Para teolog pembebasan melihat bahwa dalam pengajaran Yesus justru orang yang tersisih dan tersingkir dalam struktur-struktur yang sudah mapanlah yang ditempatkan pertama sebagai pemerintahan Allah, bukan untuk menciptakan diskriminasi melainkan mendobrak pola lama diskriminasi dan menciptakan pola relasi baru. Kedua, Yesus memanggil Allah sebagai Abba juga membebaskan, sebab menurut pemahaman Yesus, Abba adalah kebalikan dari patriarki yang mendominasi. Sebaliknya, Abba yang penuh belas kasih, mesra, dan erat ini membebaskan setiap orang dari pola-pola dominasi. Ketiga, perilaku Yesus yang khas, yaitu memihak kaum marjinal, meliputi kaum perempuan sebagai pihak yang tertindas dari kaum yang tertindas dalam setiap kelompok. Teladan Yesus sendiri telah membuat seorang teolog feminis berkomentar bahwa masalahnya bukan bahwa Yesus itu laki-laki, melainkan bahwa lebih banyak laki-laki tidak seperti Yesus. Keempat, kisah-kisah tentang perempuan dalam Injil ditafsirkan dari sudut pandang feminis, menjadi jelas bahwa meskipun hal ini telah disisihkan dalam tradisi androsentrik, Yesus memanggil perempuan-perempuan untuk menjadi murid-murid-Nya. Kelima, selain berkeliling bersama dengan Yesus di Galilea, perempuan-perempuan yang menjadi murid-murid-Nya juga mengikuti-Nya sampai ke Yerusalem. Keenam, dalam dasawarsa pertama Gereja, ada bukti yang kuat bahwa perempuan-perempuan menunaikan pelayanan yang gigih sebagai rekan dari para laki-laki.
Kristologi Pembebasan Feminis telah menemukan Yesus sebagai Sang Pembebas, bukan dalam arti umum yang berkenaan dengan orang-orang miskin tetapi khususnya berkenaan dengan kaum perempuan. Ia membawa keselamatan melalui hidup dan Roh-Nya, mengembalikan kaum perempuan kepada martabat pribadi yang sepenuhnya dalam Kerajaan atau Pemerintahan Allah., serta mengilhami mereka untuk membebaskan diri dari struktur-struktur dominasi dan subordinasi.

DAFTAR PUSTAKA

Banawiratma, JB dan Sindhunata, Di Bawah Bayang-Bayang Kekuasaan Lelaki, BASIS no 07-08 Tahun ke-45, Yogyakarta, Kanisius, Oktober 1996.

Budi Hardiman, F., Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Chang, William, Berteologi Pembebasan, Jakarta, Obor, Juni 2005.

Gahral Adian, Doni, Tealogi, Spiritualitas, dan Keberpihakan pada Perempuan, dalam Jurnal Perempuan seri 20, Jakarta, Yayasan Jurnal Perempuan, 2001.




Senin, 16 Maret 2009

LUGO DAN PARA WAKIL RAKYAT KITA


Katedral saya bukan lagi sebuah Gereja Keuskupan. Kini seluruh Negara adalah Katedral saya”. (Fernando Lugo)
Demikian kata seorang mantan uskup yang kini menjabat sebagai Presiden Paraguay. Pria bernama lengkap Fernando Armindo Lugo Méndez mengantongi surat suara sebanyak 41% dari pemilih Paraguay yang memungkinkan dirinya keluar sebagai pemenang dalam pemilihan Presiden Paraguay yang berlangsung pada hari Minggu (20/4). Keluarnya Lugo sebagai pemenang dalam pemilu di Paraguay memupuskan harapan Partai Colorado yang selama 61 tahun (sejak 1947) bertengger di kursi kepresidenan. Terpilihnya Lugo sebagai Presiden memiliki alasan yang sangat kuat sebab Partai Colorado yang sudah memerintah sangat lama tidak membawa perubahan yang sangat signifikan, bahkan rakyat menjadi semakin menderita karena lilitan ekonomi yang sangat akut. Angka penduduk miskin mencapai 43%, dari 6,5 juta penduduk negara tersebut (hampir 4 dari 10 penduduk Paraguay miskin), pengangguran mencapai 13%, dan 300.000 petani tanpa lahan. Jumlah warga buta huruf pun sangat memprihatikan. Karena kondisi seperti itulah sebagian besar dari 2,8 juta pemilih menaruh harapan akan adanya perubahan yang dihembuskan Lugo di negara dengan julukan Corazon de America (jantung Amerika).

Dalam tulisan ini penulis ingin menampilkan secara garis besar tentang sepak terjang Lugo dan situasi politik-ekonomi Paraguay yang menggerakkan dirinya untuk duduk di kursi kepresidenan serta pesan yang bisa kita petik dalam persiapan menghadapi pesta akbar lima tahunan (Pemilu) dalam menentukan pemimpin yang berkualitas baik bibit, bebet maupun bobotnya. Tulisan ini juga tidak menutup kemungkinan diperuntukan bagi para pelayan Sabda agar lebih berpihak kepada mereka yang miskin dan tertindas yang menjadi fokus perhatian setiap Buku Suci.

Dalam merancang tulisan ini penulis mengumpulkan informasi dari surat kabar terutama Kompas, majalah Mingguan Hidup dan hasil diskusi yang diadakan oleh PP PMKRI beberapa Minggu lalu (7/9) di daerah Cikini. Pada kesempatan tersebut hadir Robert Bala dan Budiman Sudjatmiko dimana kedua orang tersebut pernah bertemu dengan Lugo dan terlibat dalam pembicaraan bersama mereka. Tulisan ini juga tidak terlepas dari pemikiran pribadi penulis yang menemukan human interest setelah mengetahui sosok seorang Lugo dari berbagai informasi di atas.


Selayang Pandang tentang

Fernando Lugo

Fernando Lugo lahir pada 30 Mei 1951 di San Pedro del Parana, Encarnacion, sebuah kota yang berjarak 370 km dari Asuncion. Lugo berasal dari keluarga yang tidak terlalu religius. Ayahnya seorang politikus dan jarang ke Gereja. Pamannya, Epifanio Menes Fleitas, adalah seorang pembelot dari partai Colorado. Lugo juga memiliki background keluarga petani.

Lugo menamatkan pendidikannya pada umur 17 tahun di sebuah sekolah milik Yesuit. Kemudian ia bekerja di sebuah sekolah di pedalaman (Encarnacion). Pada umur 19 tahun Lugo memutuskan untuk masuk seminari, hal ini bertentangan dengan kehendak ayahnya yang menginginkan dirinya menjadi seorang pengecara. Setelah menamatkan pendidikan di seminari, Lugo melamar ke Serikat Sabda Allah (SVD: Sociedad del Verbo Divino atau Societas Verbi Divini). Pada 15 Agustus 1977 ia ditahbiskan menjadi imam Katolik dan ditugaskan ke Ekuador selama lima tahun, di tempat tersebut ia belajar banyak mengenai Teologi Pembebasan. Bahkan akhirnya ia menjadi pengagum dan peminat Teologi Pembebasan yang antara lain telah mampu membuat dirinya memahami realitas dan ketimpangan sosial. Teologi Pembebasan juga memberi inspirasi bagi tindakan politiknya, menurut beliau ajaran sosial dan nilai-nilai luhur seperti yang diajarkan berbagai agama, perlu diwujudnyatakan bagi masyarakat lapis bawah yang umumnya terlantar atau ditelantarkan.

Pada tahun 1987 ia kembali ke Paraguay. Pada tahun tersebut ia mulai aktif membela kaum tertindas, keterlibatannya mendapat sorotan dari pemerintah hingga akhirnya ia diusir oleh (rezim) militer yang diktator. Pada tahun itu pula ia dikirim untuk belajar di Roma hingga memperoleh gelar licenciat dalam ilmu sosial.

Tanggal 17 April 1994 ditahbiskan sebagai seorang uskup dan ditugaskan di wilayah San Pedro, salah satu wilayah miskin di Paraguay. Selama 10 tahun ia menjabat sebagai uskup, ia mengalami sendiri betapa keuskupannya yang berada di sebuah ibu kota provinsi, hingga kini belum beraspal.


Paraguay dan Perjalanan Politik Lugo

Paraguay adalah sebuah negara kecil dengan area 406.762 km persegi diapit oleh negara-negara besar, seperti Brasil dan Argentina. Paraguay sebenarnya negara yang sangat kaya dengan dua perusahaan Hindricos, yang menggunakan kekuatan air untuk mengaliri listrik Brasil dan Argentina.

Anehnya, sepertiga wilayah negara yang hanya berpenduduk 6,5 juta orang itu belum dialiri listrik. Listrik masih merupakan barang mewah sementara pemerintahnya berjaya dalam korupsi dengan menjual turbin-turbin pembangkit listrik. Bukan itu saja. 60% warganya tergolong miskin. Malah 32% berada dalam kemiskinan absolut. Menurut PBB di antara 10 orang Paraguay hanya satu orang yang memiliki asuransi kesehatan. Sekitar 25% warganya memilih pergi ke dukun untuk mengobati diri bila sakit karena tidak sanggup membeli obat-obatan.

Kekayaan Paraguay tidak hanya itu saja. Ia memiliki bentangan tanah yang sangat luas, muali dari selatan yang berbatasan dengan Argentina hingga ke bagian Chaco (baca: Cako) Bolivia. Sejauh mata memandang, hanya ada bentangan tanah yang luas. Ironisnya, tanah-tanah luas itu sudah bertuan. Tidak sedikit orang Eropa yang sudah memiliki sertifikat atas tanah tersebut. Pemerintah Paraguay sudah menjual tanahnya. Jadi, lebih dari 80% tanah dikuasai oleh segelintir orang kaya. Sementara rakyat Paraguay terpaksa hidup sebagai penyewa di tanah air sendiri.

Keadaan seperti itulah yang membuka mata Lugo dan bersama para petani memperjuangkan kembali tanah-tanah mereka. Dari sudut kegembalaannya sebagai uskup, ia telah berteriak bersama umat. Ia hadir di tengah umat, memperjuangkan kembalinya tanah-tanah yang dikuasai tuan-tuan tanah (latinfundos) kepada para petani. Lugo mulai menggalang kekuatan untuk melakukan reformasi agraria. Kemiskinan bisa dicabut dari petani apabila mereka memiliki lahan sendiri.

Namun usaha tersebut tak semudah membalikkan telapak tangan. Teriakan, seruan, anjuran bak menghadapi tembok beton, mekanisme korupsi sudah mentradisi sehingga sulit diubah kecuali bila dapat masuk ke dalam sistem (pemerintah) dan mengubah situasi di dalam. Atas desakan rakyat yang meminta kesediaannya menjadi Presiden dan terlebih karena realita penderitaan rakyat Paraguay, maka pada tanggal 18 Desember 2006 Lugo mengirim surat pengunduran diri dari jabatan uskup dan imam untuk dapat mencalonkan diri menjadi Presiden. Hal ini ia lakukan karena menurut hukum Gereja dan negara seorang tertahbis dilarang untuk terlibat dalam politik praktis dan menjadi seorang presiden. Keputusan Lugo menuai banyak reaksi dalam tubuh Gereja. Di satu sisi ada yang mendukung namun di sisi lain tak sedikit yang menentang keputusannya, namun demikian dadu telah dilempar dan kini sudah kita ketahui bersama bahwa Lugo telah menjabat sebagai Presiden Paraguay.


Antara Lugo dan Perilaku Wakil Rakyat Kita,

Antara Paraguay dan Indonesia

Lilitan praktek korupsi yang membelenggu Paraguay selama lebih dari enam dekade membawa penderitaan kronis bagi sebagian besar rakyat Paraguay . Padahal seperti yang telah kita ketahui dari informasi di atas, Paraguay memiliki tanah pertanian dan ladang yang sangat luas yang memungkinkan para petani untuk bercocok tanam dan memetik pendapatan dari menjual hasil pertanian dan ladangnya. Syukur bila komoditi tersebut dapat diekspor ke negara lain. Selain itu, Paraguay juga memiliki 2 perusahaan Hindricos (PLTA-nya Paraguay) yang dapat menyumbangkan devisa bagi negara untuk kemajuan dan kemakmuran rakyat. Namun ironisnya rakyat Paraguay seperti tikus yang mati kelaparan di dalam lumbung beras. Rakyat Paraguay hanya bisa menatap kekayaan alamnya dijarah oleh sekelompok kecil orang baik itu pemerintah, para tuan tanah, maupun perusahaan-perusahaan asing. Situasi Paraguay tak jauh berbeda dengan ‘iklim’ di Indonesia, tengok saja kekayaan alam dan harta karun yang terkandung di negara ini. Kita punya industri baja terkenal, tambang emas yang besar, kekayaan laut yang bernilai ekspor tinggi namun sayangnya semua itu tak memberi perubahan kasat mata bagi masyarakat setempat. Lantas kemana perginya semua kekayaan itu?

Kemiskinan, busung lapar, gagal panen karena bibit yang diberikan pemerintah “super letoy”, pengangguran yang membawa efek domino pada meningkatnya kriminalitas, harga BBM yang meroket, korupsi yang kian mengerikan bukan saja karena besarnya jumlah nominal yang membuat rakyat hanya bisa mengelus dada,, tetapi praktek ini dilakoni oleh para wakil rakyat dan penegak keadilan yang nota bene mengemban misi penting demi dan untuk kesejahteraan rakyat menjadi litani penderitaan yang menghiasi hidup harian rakyat.

Litani penderitaan ini kemudian menjadi ladang subur yang dapat dimanfaatkan bagi para calon legislatif dan presiden untuk menebar simpati dan merebut suara dalam pemilu 2009 nanti. Mereka tampil di depan publik, menampilkan gerak dan raut wajah hasil polesan jasa pembangun citra diri yang nilainya berkisar puluhan juta hingga milyaran rupiah untuk sekali tampil dalam pariwara, mereka mengkomersilkan, dan mempertontonkan penderitaan serta perjuangan rakyat mempertahankan hidup. Para caleg dan capres mendadak menjadi mesias meminjam istilah Sukardi Rinakit, yang seolah-olah kedatangannya sangat dinantikan oleh mereka yang miskin, lemah dan tertindas untuk membebaskan rakyat dari himpitan persoalan yang kian menindih, menciptakan keadilan serta membawa perubahan di dunia (Indonesia). Pemandangan tersebut hanya bisa kita alami ketika menjelang pemilu. Selain dari itu seperti yang telah kita ketahui bersama para caleg, capres dan cawapres terpilih sibuk mengadakan syukuran, jalan-jalan ke perbagai daerah dan luar negeri dengan embel-embel kepentingan dinas, mengumpulkan kembali dana yang telah keluar untuk membiayai kampanye dan menyusun strategi untuk membalas jasa kepada partai serta koalisinya dan trik-trik menghadapi pemilu berikutnya sehingga waktu lima tahun tidak cukup untuk membawa perubahan dan perbaikan kehidupan rakyat.

Membaca geliat para wakil rakyat kita di atas sangat jauh berbeda dengan kesan seorang Lugo sebelum dan ketika menjadi presiden. Sebelum menjadi presiden ia turut mengamati, mengalami dan menyerukan kegetiran hidup rakyat Paraguay dengan turun ke jalan menentang pemerintah yang korup. Pemahamannya tentang ajaran Injil, ajaran sosial gereja dan teologi pembebasan yang menekankan pemihakkan kepada orang miskin dan tertindas, cinta kasih dan solidaritas global tidak terkungkung pada tataran teoritis tetapi ia men-dunia-kan (baca: mengkonkritkan) maksud injil, ajaran sosial gereja dan konsep teologi pembebasan dilahirkan agar tidak terkesan omdo (omong doang) seperti yang sering terlontar dari mulut para kaum muda sekarang. Ketika Lugo menjabat sebagai presiden ia tidak perlu menunggu sampai lima tahun untuk membawa perubahan bagi Paraguay tetapi sesaat setelah ia dilantik, ia langsung menghembuskan sebuah perubahan salah satunya menolak menerima gaji presiden. Pola asketis menjadi inner beauty dari seorang Lugo. Pola asketis penting menjadi pola hidup seorang pemimpin atau mereka yang memegang peranan penting di negara ini dimana praktek korupsi sudah berurat akar agar tidak sampai terjerembab (untuk tidak dibilang lagi sial atau apes) kemudian mendekam dalam hotel pro deo namun lebih dari itu untuk memutuskan lingkaran setan (vicious circle) korupsi yang menyengsarakan rakyat. Mungkin kita akan terkejut menyaksikan seorang Lugo beberapa saat sebelum dilantik menjadi presiden, di meja makannya hanya tersaji labu ditaburi mayones sungguh suatu kesan yang jauh berbeda dari pemandangan ketika para calon wakil rakyat kita akan dilantik, tumpeng dan ayam goreng menjadi menu standar dalam acara syukuran tersebut.

Andaikan Lugo orang Indonesia dan menjadi pemimpin negara ini hampir dapat dipastikan ia dapat meniup angin reformasi terhadap carut marut sistem pemerintahan di negara ini yang sarat diwarnai praktek korupsi. Namun sayangnya Lugo memang bukan orang Indonesia apalagi seorang pemimpin di negara yang dulu terkenal sebagai jamrud katulistiwa akan tetapi para petinggi di negara ini dapat mengadopsi pola hidup dan tekad seorang Lugo.

Perubahan tidak akan terjadi apabila para pejabat negara kita malas belajar dan menyelesaikan tanggung jawab mereka sebagai penyambung lidah rakyat sehingga tak heran bila banyak dari mereka terkena cekal.



HENDAKNYA KITA BEREFLEKSI


Kereta bukanlah kereta, sebelum ia dijalankan. Nyanyian bukanlah nyanyian, sebelum ia dinyanyikan. Genta bukanlah genta, sebelum ia dibunyikan. Dan cinta bukanlah cinta, sebelum ia dilaksanakan”

(Gede Prama-Kereta, Genta dan Cinta)


Iklim pada siang hari itu terasa sangat panas seakan-akan membakar kulit, kulit tubuhku yang hitam dibuat menjadi kian legam dan mengkilat karena butiran keringat yang mulai membanjiri sekujur lenganku, seorang temanku pun tak tahan menghadapi iklim yang tak bersahabat seperti ini, kami akhirnya memilih untuk bernaung di sebuah warung yang menjadi langganan kami sekedar untuk pause, membebaskan tubuh dari kegerahan dan membuang dahaga. “mba, pop icenya satu” teriak temanku memesan minumannya, rupanya ia tak bisa menahan lebih lama lagi kekeringan yang terus mencekik kerongkongannya. Bung..lo minum apa? Tanya temanku kepada saya, “waduh...gak usah repot-repot, mau nraktrir ne?” jawabku dengan canda, “Yee, BS (bayar sendiri-sendiri) dong, gw hanya bantu mesenin supaya sekalian pesan” jawab temanku cepat, biasa apa pun makanannya Teh Botol Sosro minumanya, sergahku sambil mencontohi iklan di tv. Tak berapa lama kemudian pesanan kami sudah berada di hadapan kami, kami pun segera menyerumput minuman kami masing-masing, sambil menikmati minuman, saya mengungkapakan niat saya untuk membuat tulisan tentang pengalaman visualisasi beberapa minggu yang lalu, temanku merasa heran kenapa peristiwanya sudah berlalu cukup lama tetapi tulisannya baru hendak keluar, out of date, katanya. Aku hanya bisa terdiam, berpikir tentang pendapat yang disampaikan oleh temanku, apakah aku harus mengurungkan niatku untuk membuat tulisan seputar pengalaman saat visualisasi, atau maju sambil memohon maaf terlebih dahulu dan memohon pengertian dari pembaca untuk bisa memaklumi tulisan saya yang baru nongol kesiangan pasca-visualisasi beberapa pekan silam. Dilemma, mungkin kata yang tepat untuk melukiskan perasaan dan pikiranku saat itu. Entahlah, disaat dahi ini sudah kian berkerut, dan semangat dalam diri kian redup, masih ada saja seberkas cahaya kebijaksanaan yang memberi ilham kepada saya, lebih baik memulai walau terlambat dari pada tidak memulai sama sekali, mungkin (beribu maaf saya sampaikan bila pendapat saya ini salah) hanya sedikit orang saja yang menuangkan pengalamannya (tentang visualisasi) dalam bentuk tulisan, kebanyakan orang hanya meluapkan perasaan secara verbal, Verba volant scriptura manent-kata-kata terbang tetapi tulisan akan tetap tinggal, mungkin mereka yang menuangkan pengalaman visulisasi secara verbal tanpa dibarengi dengan tulisan, dalam kurung waktu sepuluh tahun atau bahkan dua puluh tahun kenangan akan indahnya pengalaman visualisasi akan pudar karena disesaki oleh pelbagai pikiran lain, sedangkan saya yang menuangkan perasaan dalam bentuk tulisan akan tetap terbayang sampai jiwa ini meninggalkan tubuhnya. Karena ilham dadakan itulah akhirnya saya berniat dan membuat tulisan ini.


Visualisasi: Ketika dihadapkan pada pilihan

Setiap manusia pasti pernah dihadapkan pada pilihan, dan setiap pilihan memiliki konsekuensi, mengorbankan yang satu dan menjalani pilihan yang lain. Dan hal itu tidaklah gampang, seandainya anda dihadapkan pada dua pilihan yang sama penting, disaat yang bersamaan dan keduanya menuntut kehadiran anda karena kehadiran anda sangat penting dan dibutuhkan, ibarat memakan buah simalakama, anda pasti merasa bingung memakan buah itu atau tidak memakannya, namun kedua pilihan tersebut mempunyai konsekuensinya masing-masing. Memilih keduanya memiliki konsekuensi memilih yang satu ada konsekuensinya dan tak memilih pun tetap memiliki konsekuensi.

Saya merasa bingung dan merasa serba salah harus menentukan pilihan yang mana, ketika beberapa hari menjelang pementasan dan tinggal dua hari merampungkan pementasan saya mendapat tawaran pekerjaan, saya berpikir untuk membuang dadu, menentukan pilihan mana yang harus saya ambil, menyetujui tawaran pekerjaan dan absen saat gladi bersih, atau sebaliknya melanjutkan terus persiapan visualisasi dan melepaskan rejeki yang berada di depan mata. Berat bagiku untuk membuang pilihan, tapi seperti kata pepatah the show must go on, maka setelah melalui sebuah ‘proses’ saya memilih untuk mengikuti persiapan visualisasi. Memang ada perasaan yang sulit untuk dibahasakan saat saya membuang kesempatan melewatkan rejeki tetapi saya yakin bahwa suatu hari nanti pasti ada kesempatan untuk kedua kalinya, karena saya yakin bahwa Allah itu Maha Pengasih, apalagi pilihan yang saya tekuni demi kebesaran nama-Nya dan demi perkembangan iman umat-Nya, dan benar harapan saya kemudian menjadi kenyataan, dua minggu setelah visualisasi saya mendapat panggilan untuk bekerja dan rejeki yang saya dapat dari pekerjaan tersebut saya gunakan untuk kebutuhan saya mendaftar di salah satu universitas di Jakarta.

Sahabat-sahabatku, setiap pilihan dan akhirnya sampai pada saat anda memilih salah satunya selalu mengandung resiko dan keberuntungan. Keputusan apa pun yang kita ambil, itulah yang terbaik bagi kita; jangan disesali jika akhirnya kurang berhasil. Yang penting, berdoalah dulu kepada Tuhan, agar kita dibimbing-Nya dalam menentukan keputusan terbaik bagi kita.


Visualisasi: Ruang untuk berefleksi

Pada tanggal 5 April 2007, saya mendapat sebuah pesan singkat (SMS) dari salah seorang teman saya yang sedang menyelesaikan gelar sarjananya pada salah satu universitas swasta di kota gudeg, Yogyakarta. Pesannya berbunyi “ Setiap perbuatan baik yang kita lakukan dengan tulus kepada sesama adalah tabungan untuk diri kita sendiri...itulah cara bagaimana kita mengumpulkan poin...merayakan hidup dan menikmati hasil kesehatan jiwa dan raga...apa kataku tentang Yudas yang menjual Yesus hari ini? Perjamuan terakhir sebagai simbol saling mengasihi seumur hidup” hati terdalamku tersentuh selesai aku membaca pesan singkat yang dikirim oleh teman, pesan tersebut seakan mendapat pemenuhannya ketika pementasan visulisasi berlangsung, adegan demi adegan yang ditampilkan menghantar saya untuk masuk secara lebih mendalam ke alam refleksi, tentang penghianatan, ketakutan menghadapi kesulitan, kebohongan, pengorbanan, cinta yang tulus, dan lain sebagainya. Sejujurnya, pengalaman visualisasi sebenarnya mengangkat perilaku-perilaku manusia zaman sekarang, bila tak berlebihan saya mengatakan bahwa sebenarnya banyak dari kita turut menyalibkan Yesus, untuk yang kedua kalinya lewat tutur kata dan perbuatan kita setiap hari. Kalau kita mau terbuka, terkadang kita pun sama seperti Yudas, penghianat. Kita menghianati teman, guru, pasangan, orang tua dan Tuhan dengan membeberkan janji palsu. Kita juga terkadang seperti Petrus, penakut dan pembual yang mengaku setia namun menjadi ciut ketika bahaya menghadangnya. Atau kita juga pernah bersikap seperti Pilatus, selalu mencuci tangan, tak mau tahu dan tak ingin terlibat dalam maslah padahal sikap kitalah yang menjadi sumber masalah, mengambil keputusan tidak bijaksana dan diganti dengan prinsip ABS (Asal Bapa Senang) demi mempertahankan dan menaikan pamor kita dihadapan orang-orang, namun berapa orang yang dapat bersikap seperti Yesus, mencintai semua orang hingga mengorbankan diri-Nya untuk menanggung semua salah dan dosa yang telah kita lakukan. Yesus mengajarkan dan memberi teladan tentang arti sebuah cinta, cinta bukanlah cinta sebelum ia dilaksanakan. Saya akhirnya kembali teringat akan sepatah kalimat yang berbunyi siapa yang berani mencintai ia harus berani berkorban, apakah anda sudah siap untuk mencintai...??

Jika kita tanggap visualisasi bukanlah show atau lakon pada sebuah locus, visualisai lebih sebagai sebuah medium yang membawa anda dan saya ke dalam suatu ruang refleksi tentang sepak terjang kita di bumi ini dan bagaimana kita menata hidup menjadi kian indah baik bagi Tuhan, orang lain dan diri sendiri. Hal inilah yang saya temukan dalam visualisasi kali ini, ia (visualisasi) membawaku masuk ke dalam permenungan dan memberi ajaran moral bagi saya untuk mempercantik tutur kata dan perbuatan saya. Terima kasih...

ASTAGA KRISIS CINTA

Kita sedang mengalami krisis saat ini. Baik itu krisis Ekonomi, krisis politik maupun krisis cinta. Mungkin tanpa kita sadari eksistensi cinta menjadi ‘kebutuhan’ yang sangat langka kita jumpai sekarang dengan melihat situasi hidup kita saat ini. Silahkan kita tengok fenomena yang ada di luar sana, perang menjadi sebuah solusi yang efektif untuk menangani konflik, tawuran menjadi muara penyelesain masalah bagi para akademisi (bdk. Tawuran antar mahasiswa di Makassar dan di Jakarta), beberapa hari lalu dalam pemberitaan media elektronik seorang bapa di Bekasi tega mengendera anak kandungnya yang masih berada di bawah umur, masih banyak kasus lain yang membuktikan bahwa cinta kian tergerus dalam diri manusia. Dengan demikian teori filosofis Gabriel Marcel yang mengatakan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk yang mencinta tidak berlaku lagi saat ini, bahwasanya ketika cinta dipertemukan dengan naluri menguasai, keserakahan dan kepentingan pribadi, manusia rela menyantap sesamanya, manusia telah berubah wujud menjadi pemangsa yang mengerikan dan mengancam kehidupan orang lain. Hal ini pun diamini oleh Thomas Hobbes, seorang filsuf perintis aliran empiris modern, Hobbes mengatakan bahwa manusia pada dasarnya ingin menguasai yang lain dan akhirnya terciptalah perang antar sesama, karena yang lain pun ingin mempertahankan dan merebut kekuasaan lain, kekuasaan di luar diri atau kelompoknya, situasi seperti ini dinamakan Hobbes sebagai bellum omnes contra omnia, atau perang semua melawan semua. Dalam perang tesebut, manusia adalah serigala bagi sesamanya, homo homini lupus, yang saling memangsa dan menjadikan sesamanya korban.

Defisit nilai suatu cinta juga nampak dari sikap kita memperlakukan alam. Eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran tanpa dibarengi rasa tanggung jawab, kebiasaan nyampah, budaya konsumeristik yang memberi dampak negatif bagi keseimbangan alam serta kemajuan teknologi yang tak ramah linkungan menjadi indikator pupusnya rasa cinta dan penghargaan kita pada alam sehingga jangan heran bila alam pun pada akhirnya menjadi ‘buas dan mengamuk’ hingga manusia dibuat tak berdaya olehnya.

life is pain, life is fear,

and man is unhappy

now all is pain and fear.

Now man lives because he loves pain and fear

(Dostoevsky, Demons)

Ketakutan,kengerian,ratap tangis dan sembilu yang menyayat hati telah menyelimuti kehidupan kita dewasa ini. Tanda-tanda kehancuran kosmos (mikro maupun makro) telah hampir sampai pada tapal batas, inilah buah yang kita petik dari ketiadaan cinta di dalam diri kita. Dengan demikian benar apa yang dikatakan Ibu Teresa dari Calcuta bahwa “Kehancuran di dunia pertama-tama tidak disebabkan karena peperangan tetapi karena ketiaadaan cinta”.

SAMPAH:BERKAH ALLAH YANG TERSELUBUNG


Di sekitar kelurahan Rajawati, kelurahan Cililitan dan kelurahan kampung Melayu, Jakarta Timur, air mulai menggenangi ribuan rumah di kawasan permukiman padat. Di sekitar jembatan Kalibata. Permukaan air terus naik dan gunungan sampah tersumbat di kolong jembatan”. (Metropolitan, KOMPAS [Jakarta], 19 Maret 2008, hlm. 15.)


Kawasan-kawasan yang terletak di sekitar perbatasan antara Jakarta dan Tanggerang serta Jakarta dan Bekasi terabaikan pembangunannya. Badan jalan dibiarkan rusak, sistem pembuangan sampah tidak jelas, dan jaringan pipa air bersih tidak ada”. (Metropolitan, KOMPAS [Jakarta], 07 April 2008, hlm.28.)

“Hingga pertengahan April, jumlah penderita demam berdarah dengue atau DBD di Jakarta Timur mencapai 2.664 orang. Dengan demikian rata-rata jumlah warga Jakarta Timur yang terinfeksi DBD mencapai 200 orang setiap minggunya”. (Metropolitan, KOMPAS [Jakarta], 15 April 2008, hlm.25.)


Demikianlah beberapa faktum yang melukiskan “potrem buram wajah” lingkungan Jakarta serta dampak yang harus didulang sebagai akibat kebiasaan nyampah (baca:membuang sampah tidak pada tempatnya) yang dilakoni oleh masyarakat Jakarta secara khusus. Cakupan masyarakat di sini tidak hanya terbatas pada warga atau penduduk Jakarta setempat namun memiliki batasan yang luas seperti masyarakat pemerintah dan masyarakat pasar (perusahaan, perkantoran dan pabrik). Sadar atau tidak selama ini kita memiliki penilaian yang tidak adil berkenaan dengan pihak yang bertanggungjawab atas masalah sampah. Kita melemparkan tanggung jawab serta kesalahan kepada pemerintah dan warga namun kita menutup mata terhadap para pemilik perusahaan, perkantoran dan pabrik (masyarakat pasar) yang turut memberi ‘andil’ dalam menghasilkan sampah bagi Jakarta. Hal ini diakui oleh Sri Bebassari, Ketua Umum Asosiasi Persampahan Indonesia (Indonesia Solid Waste Association/InSWA), menurut beliau selama ini masyarakat lapis terbawah selalu mendapat stigma sebagai tukang buang sampah sembarangan, dinilai malas mengelolah sampah. Sampah dituding sebagai penyebab banjir dan penyakit. Sedangkan perusahaan sebagai penghasil sampah sebagai penyumbat drainase atau sungai tidak pernah disalahkan. (Humaniora-Fenomena, KOMPAS [Jakarta], 28 Maret 2008, hlm.14.) Sadar akan hal tersebut, sudah sepantasnyalah penanganan sampah perlu ditanggulangi secara komprehensif dan integratif dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat.

Penulis merasa tertarik untuk mencoba menggumuli masalah lingkungan hidup dengan berpijak pada masalah sampah di lingkungan Jakarta yang mana akhir-akhir ini menjadi salah satu topik yang hangat dibicarakan baik melalui pemberitaan media (cetak dan elektronik), seminar, festival lingkungan hidup, maupun melalui aksi teatrikal untuk menyerukan keprihatinan terhadap keadaan bumi (lingkungan) yang sudah mulai ‘kronis’ akibat budaya nyampah.


Jakarta: Gudang Sampah

Dalam Peraturan Perundangan di daerah khusus ibu kota Jakarta yang mengatur tentang ketertiban umum yang termaktub dalam Peraturan Daerah nomor 3 tahun 1972 dalam pasal 1 (F) menyebutkan bahwa kotoran atau sampah adalah semua jenis kotoran atau sampah yang berasal dari rumah tempat tinggal, bangunan umum pabrik, industri, termasuk puing-puing sisa bahan bangunan dan besi-besi tua (bekas) kendaraan motor dan lainnya yang sejenis. (Perda D.K.I. No.3/1972, Kumpulan Peraturan di Bidang Lingkungan Hidup (Jakarta: Eko Jaya, 1998), dikutip oleh R.F. Saragih, ,,Sampah Sebagai Sumber Daya Alam”, WIDYA, thn.8 no.66 (Maret, 1991), hlm.32.) Berangkat dari pengertian tersebut maka barang-barang yang masuk dalam kategori sampah yang disumbangkan oleh masyarakat Jakarta sangat besar jumlahnya. Bahkan jumlah sampah hampir sebanding dengan jumlah penduduk kota Jakarta. Pada titik ini muncul pertanyaan akan dikemanakan sampah-sampah kota Jakarta itu? Bagaimana cara penanggulangan sampah yang jumlahnya sangat fantastis?

Jakarta sebagai salah satu kota metropolitan dan kini berkembang wacana megapolitan (Yon Lesek, dkk (eds.), Gereja Warteg-Refleksi 200 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Agung Jakarta (Jakarta:Obor, 2007), hlm. 230.) marak akan berbagai pembangunan di segala sektor kehidupan, pembangunan jalan bagi bus way, pabrik-pabrik dan mall-mall berdiri megah dan tersebar bagaikan cendawan di musim hujan, bahkan dalam satu lokasi yang jaraknya tidak berjauhan bisa berdiri 2 sampai 3 mall. Dengan demikian melihat pembangunan di Jakarta yang teramat pesat sudah bisa dipastikan bahwa tanah kosong di Jakarta nyaris tidak ada lagi. Keadaan lahan Jakarta yang sudah sangat memprihatinkan ini harus rela berbagi dengan jumlah populasi Jakarta yang sangat besar, berdasarkan data statistik dari Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kotamadya Propinsi DKI Jakarta jumlah penduduk Jakarta pada Januari 2008 sebesar 7.564.506 (bdk. “Jumlah Penduduk DKI Jakarta”, dalam http://www.kependudukancapil.go.id/index.php?stats:open&o=1, Januari 2008. Diakses tanggal 29 April 2008.). Dari 7.756.506 penduduk Jakarta setiap orang rata-rata menghasilkan 0,8 kg sampah per hari (Dieng Karnedi, ,,Sampah Bukan Sepah”, HIDUP, 61 (Maret, 2007), hlm.10.), bila jumlah sampah ini dikalkulasikan dengan jumlah penduduk Jakarta saat ini maka hasil sampah yang disumbangkan oleh masyarakat Jakarta per hari sebesar 6.205.204,8 kg sampah, jumlah ini belum termasuk sampah yang dihasilkan oleh sampah perkantoran, pabrik dan mall. Jadi bisa kita ketahui bersama dari hasil perhitungan di atas bahwa jumlah sampah hampir mengimbangi jumlah penduduk Jakarta saat ini. Oleh sebab itu tidak berlebihan bila dikatakan bahwa Jakarta sebagai gudang sampah.

Kembali pada pertanyaan di atas, akan dikemanakan sampah-sampah kota Jakarta itu? Bagaimana cara menanggulangai sampah Jakarta yang jumlahnya sangat fantastis? Masalah sampah saat ini menjadi keprihatinan kita bersama, upaya yang bisa kita lakukan jangan sampai hanya sebatas kepedulian (simpati) terhadap realita ini namun hendaknya kita semua dapat terlibat (empati) dalam menanggulangi serta mendayagunakan sampah menjadi barang yang memiliki nilai artistik, menambah penghasilan hidup serta mencegah terjadinya bencana alam serta penyakit akibat budaya nyampah dan pada akhirnya kita memiliki kesan yang sama bahwa di balik sampah sesungguhnya ada berkah Allah yang tak terkira bagi manusia, hal ini perlu terus dikomunikasikan kepada orang lain. Salah satu jalan yang paling efisien dan efektif adalah melalui jalur pendidikan.


Membuka Selubung Berkah Allah dalam Sampah melalui Pendidikan

Hidup ini jauh dari perkara-perkara besar dan luar biasa. Yang diberikan oleh hidup adalah hal-hal yang kecil dan sederhana. Tapi jika hal-hal yang amat kecil dan sepele itu kita hayati dalam cinta, kita diam-diam telah membuat sesuatu yang luar biasa (G.P. Sindhunata, ,,Suara Redaksi”, UTUSAN, no.04 tahunn 58 (April, 2008), hlm.1.) Demikian halnya dengan sampah. Sampah merupakan hal yang selalu kita jumpai setiap hari, bahkan sampah merupakan bagian dari hidup kita sebab hampir setiap hari kita menghasilkan sampah. Namun kita tidak dapat berpaling bahwa kita terjebak dalam penilaian serta perlakuan yang tidak adil terhadap sampah. Sampah seringkali dikonotasikan sebagai hal yang kotor, jorok, menjijikan dan tidak menjajikan apa pun sementara manusia yang nota bene penghasil sampah memiliki nilai yang lebih tinggi di sinilah letak ketidakadilan dalam berpikir dan betindak, dan hal ini berujung pada sikap tidak menghormati, menghargai dan mencintai lingkungan. Langkah pertama yang perlu digalakan adalah mengubah konsep atau paradigma manusia terhadap sampah. Sampah bukanlah sesuatu yang tak memiliki arti tetapi sampah merupakan medium dimana Allah melimpahkan berkah-Nya pada manusia. Karena sampalah, Notosucipto seorang pria yang kini berumur 74 tahun bisa sampai memiliki 6 rumah, armada taksi dan truk yang ia gunakan untuk mengangkut barang-barang. Lain lagi ceritanya dengan Sun Huixi, seorang murid sebuah siswa sekolah menengah pertama di kota Harbin, negeri China mendapat penghargaan pada peringatan hari AIDS sedunia, pada tanggal 1 Desember tahun lalu karena dianggap mengkampanyekan aksi melawan HIV/AIDS, Sun Huixi juga turut memberikan bantuan kepada panti yatim piatu Pita Merah sebesar Rp. 25 juta, uang sebesar itu ia peroleh bukan dari orang tuanya tetapi dari jerih payahnya mengumpulkan botol plastik dari tempat-tempat sampah. Berkat sampah pula yang membuat Adriene Trinovia Sulistyo (Adrienne) dan Vici Riyani Tedja (Vici) siswi grade XII IPA SMU Santa Laurensia, Alam Sutra, Tanggerang berhasil menggondol medali perak pada Olimpiade Proyek Lingkungan Internasional Eropa-Asia Ke-2 (Inepo Euroasia) di Baku, Azerbaijan pada 1-6 April 2008. Adrienne dan Vici memanfaatkan sisa kulit jeruk untuk mengubah styrofoam yang tak bisa diurai oleh mikroorganisme, menjadi material yang ramah lingkungan (Ilmu dan Teknologi, KORAN TEMPO [Jakarta], 28 April 2008, hlm.A12.).