\

Rabu, 28 Juli 2010

Andrea Hirata Bikin Saya "Gila"

images: www.andrea-hirata.com
Gila. Demikian yang bisa saya katakan usai membaca dwilogi terbarunya Andrea Hirata, Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas. Penyakit gila nomor satu, ketika Andrea "Ikal" Hirata bekerja sama dengan Penerbit Bentang meluncurkan 2 novel di atas dalam 1 selimut. Hal ini jarang saya temui, untuk  koleksi novel  saya pribadi tidak ada sama sekali yang bentuknya seperti itu (2 novel dalam 1 kemasan). Hal itulah yang membuat saya jatuh hati pertama kali membeli buku ini. Menarik, lucu, ngemesin, dan tergolong cukup murah untuk 2 novel yang menjadi satu ini. Saya mentaksirnya kalau 2 novel ini tidak disatupadukan harganya berkisar @Rp. 45.000-50.000, sementara untuk 2 karya ini Anda hanya mengeluarkan 76.000. Lebih hemat bukan? Selain penampilan, ada hal lain yang membuat saya memilih dan membeli buku pemuda Belitong itu saat Pesta Buku 2010 di Senayan. Selain dibubuhkan tanda tangan penulisnya sendiri, yang membuat buku ini menjadi lebih spesial, buku ini saya beli dari hasil jerih payah saya selama 6 bulan mengajar. "Lumayan untuk kenangan-kenangan di hari tua nanti," celetukku dalam hati. Lantas, apakah hanya alasan itu saja yang membuat saya membeli buku ini? Tidak. Bukan secara kebetulan saya membeli buku ini, bagi saya tulisan Ikal bagus, meskipun setiap karyanya bagi saya pribadi memiliki tegangan yang berbeda-beda. Karya yang sarat akan budaya, perjuangan/motivasi hidup, nilai-nilai religius, pendidikan, cinta, dan pengetahuan membuat saya tidak ragu-ragu membeli dan membaca buku ini. Ditambah 4 karya sebelumnya sudah mengisi rak koleksi novel pribadi di kamar saya. Jadi, bila melihat tapi tidak membeli karya terbarunya Ikal terasa masih ada yang kurang. Dan rasa itulah yang mengetuk-ngetuk hati saya untuk mendapatkan karya ini. Proficiat buat Andrea "Ikal" Hirata. Boi, karyamu ini sudah kubaca. Bagus kali kau menulisnya, Boi. Andaikan A Ling membacanya kujamin dia pasti terpesona. Untuk karyamu ini, tak usah kau pakai jasa detektif  M.Nur, Jose Rizal, Preman Cebol, dan Ratna Mutu Manikam. Dengan ini kau sudah bisa membuat A Ling berpaling dan jatuh pada pelukanmu. Terima kasih pula untuk Penerbit Bentang yang sudah membantu melahirkan karya fenomenal ini.

Penyakit gila nomor dua yang kurasakan ketika pemuda Belitong itu membuatku tertawa terpingkal-pingkal sendirian ternyata di Belitong itu ada detektif swasta sekaliber Sherlock Holmes atau spy layaknya James Bond. Tapi aku berani taruhan, bila membandingkan M.Nur (detektif Belitong) dengan Sherlock Holmes dan James Bond, aku pasang M.Nur. Tak ada detektif/mata-mata di belahan dunia mana pun yang bisa melatih seekor merpati layaknya pak pos, yang bisa pulang pergi mengirimkan surat dari tuannya kepada klien mereka. Detektif seperti itu hanya dijumpai di Belitong, dalam diri M.Nuh bersama merpatinya yang dinamai Jose Rizal. Kalau ada yang mengatakan "Itu khan hanya tokoh fiktif saja," saya akan menjawabnya, itulah kegilaannya Ikal, ia pandai mencari dan membuat tokoh ceritanya di luar frame pikiran manusia. Dan tokoh yang ia buat itu merangsang pembacanya menjadi kagum dan ingin bertemu dengan tokoh seperti itu, seperti ketika Ikal menampilkan tokoh Lintang, pasti banyak pembaca berharap bisa bertemu Isaac Neewton-mu itu, qui genus humanum ingenio superavit (dia yang jenius tiada tara). Ngomong-ngomong tentang Lintang, di karya terbaru ini, Andrea masih menampilkan tokoh Lintang dan tentu kegeniusannya. Hal itu tampak ketika Lintang secara matematis memecahkan konspirasi pemilihan lawan dalam pertandingan catur 17 Agustus.  

Karya ini juga membuat saya masuk dalam duka mendalam ketika Syalimah harus kehilangan Zamzami, suami yang sangat ia cintai. Zamzami, seorang suami yang sangat penyayang keluarga, tewas tertimbun tanah ketika mendulang timah. Padahal paginya Zamzami baru saja memberi kejutan kepada Syalimah sebuah sepeda yang lama ia rindukan namun tak ia utarakan kepada suaminya, karena pendapatan keluarga hanya cukup untuk membeli makanan dan sekolah anak-anak mereka. Padahal Syalimah sudah memiliki rencana bahwa malamnya ia, Zamzami, dan anak-anak mereka akan pergi ke pasar malam mengunakan sepeda itu. Namun, keinginan itu terkubur bersamaan dengan terkubur suaminya. Sepeninggalan Zamzami, banyak pria yang ingin menjadikan Syalimah sebagai istri, keluarganya pun mendukung dirinya untuk mendapatkan pengganti Zamzami, namun dengan tegas ia mengatakan bahwa selama hidupnya ia hanya mengenal satu cinta, dan cinta itu hanya ia dapatkan dari seorang pria yakni Zamzami, karena itu ia memutuskan untuk menjanda hingga akhir hayatnya. 

Selain tawa dan kesedihan, kisah dalam buku ini juga menonjolkan perjuangan hidup dan kesetaraan gender. Enong (Maryamah), anak dari Zamzami dan Syalimah, di usianya yang tidak muda lagi/lebih tua dari teman-temannya yang mengikuti kursus Bahasa Inggris, tidak canggung mengikuti kursus Bahasa Inggris agar ia bisa menguasai Bahasa Inggris, apalagi bila ia melihat kamus 1 miliar kata pemberian bapanya, ia berjuang melawan sesuatu yang tidak mungkin itu. 
Maryamah, demi membalas kebejatan suaminya, ia mengikuti turnamen catur di kampungnya. Catur, yang saat itu menjadi permainan dan pertandingan yang didominasi dan secara tak langsung dimiliki oleh kaum laki-laki berhasil ia jebol. Ia berhasil berhadapan dengan suaminya, selain itu ia juga berhasil membuka seluruh mata kaum laki-laki masyarakatnya, bahwa kaum perempuan juga berhak memainkan catur dan mengambil bagian dalam kompetisi catur yang dibuat saban 17 Agustus di kampungnya. 

Andrea "Ikal" Hirata, sudah membuat saya gila dengan karyanya ini. Gila yang sudah ia jangkiti kepada saya membuat saya berani untuk terus berjuang dalam hidup ini, bahkan meraih untuk sesuatu yang tidak mungkin sekali pun. Seperti tokoh Maryamah, dalam novel karya terbarunya ini. Sekali lagi, terima kasih Ikal. Terima kasih Bentang.




Jumat, 16 Juli 2010

Penjaga Warnet

       Waktu liburan semester ini, tak saya sia-siakan. Saya memanfaatkan waktu liburan ini dengan bekerja. Meskipun (hanya) sebagai penjaga warnet, saya merasa bahwa ini peluang yang sangat berharga. Saya bisa mendapatkan pengalaman, membayar uang transportasi ke kampus, dan yang terpenting saya bisa memperoleh banyak pengetahuan dari dunia maya. dan lagi aku bisa menghemat uang sakuku untuk membeli koran, karena  di warnet ini aku bisa mengunduh koran dalam versi e-paper gratis! Saya juga hampir tidak pernah absen berinterakis di jejaring sosial                                  
seperti facebook dan yahoo. sekedar memberi comment atau mengirim email.
       Selama sepekan di sini aku juga mendapat teman baru. mereka semua baik dan punya keterampilan, terutama di bidang informasi dan teknologi, dari mereka, aku pun mendapat pengetahuan tambahan. Kamu tahu?bahwa menjaga warnet merupakan impian saya, sebelumnya saya pernah berharap kalau suatu hari nanti saya bisa menjadi penjaga warnet dan akhirnya impian itu terwujud. Yah, semoga saya bisa bertahan terus di sini, karena di sini saya bisa mengatur jam kerja dan kesibukan pribadi saya, seperti kuliah, pertemuan di gereja, dan keluarga. Intinya agar saya terus bertahan di sini adalah kerja baik dan kesetiaan mencintai pekerjaan yang saya geluti ini. 
       Ada tantangan yang saya temui ketika hampir sepekan bekerja di sini. Tadi pagi usai menjaga warnet, saya kembali ke rumah. Ketika saya memarkirkan motor, ada seorang ibu yang bertanya, baru pulang pagi Yan? Entah apakah saya berpikir negatif dari pertanyaan itu atau tidak, tetapi yang saya rasakan bahwa dari pertanyaan ibu itu terbesit ada hal yang tidak baik. Hati saya langsung menyeletuk, "ngak lama lagi ibu itu akan menjadikan peristiwa ini sebagai gosip" dan benar ketika sore saya hendak berangkat ke warnet, di hadapan para ibu, ibu yang tadi pagi bertanya kepada saya langsung bernyanyi,"berangkat sore, pulang pagi lagi" ah persetan kataku dalam hati, aku hanya melemparkan senyum kepada ibu itu, dan tak lupa pamit dengannya. Saya juga tak memberi penjelasan kepadanya, biarkan dia sendiri belajar, jangan cepat menilai orang bila tidak tahu, apalagi tidak menanyakan latar belakang seseorang bertindak.


foto: http://www.google.co.id/imglanding?q=warnet&img

Senin, 26 April 2010

Berguru pada Seorang Jose Mourinho

Begitu susunan semifinalis Liga Champions (LC) diketahui, diantaranya Barcelona akan berhadapan dengan Inter Milan, banyak orang langsung memplot El Barca bakal medepak I Nerazzurri. Hal tersebut sangat beralasan sebab kiprah I Nerazzurri di musim ini tidak bisa dibilang istimewa. Saat menjamu El Barca di Giuseppe Meazza dalam penyisihan Grup F LC, Javier Zanneti cs hanya mampu menahan Charles Puyol cs dengan skor kaca mata (0-0). Dan ketika mereka bertandang ke Camp Nou-markas Barcelona, pasukan biru hitam itu harus pulang dengan kepala tertunduk setelah dilibas El Barca 2-0. Dengan demikian saat leg pertama semifinal LC mempertemukan kembali tim perwakilan Spanyol dan Italia, El Barca digadang-gadang bakal memperberat langkah I Nerazurri. Euforia publik Catalan kian meledak ketika Maxwell memberikan assist kepada Pedro Rodriques dan mengubah kedudukan menjadi 1-0 untuk El Barca. Namun kegembiraan itu hanya bertahan beberapa menit saja ketika Wesley Sneijder melesakan bola ke sudut kanan gawang yang tak mampu dijangkau kiper Victor Valdes. Skor menjadi imbang 1-1 hingga turun minum.
Babak kedua mulai bergulir, El Barca meningkatkan daya serang, namun langkah Lionel Messi cs nyaris tak sampai memasuki kotak penalti. Pergerakan Xavi Hernandes sebagai dirigen pengatur irama serang El Barca tak bisa bekerja secara optimal. Bahkan sang dewa-julukan Messi-yang banyak diharapkan bisa membuat ‘mukjizat’ tidak mampu berkutik. Tendangan keras La Messiah memang sempat membuat jantung melonjak tetapi tendangan itu mampu dimentahkan kiper Julio Caesar yang penampilannya sangat gemilang pagi itu. Keberanian Pique meninggalkan ‘sarangnya’ dan melesak ke wilayah Caesar memang sempat menghantui Kiper asal Brasil itu namun aksinya itu tak berbuah manis. Alih-alih El Barca merubah kedudukan justru Interlah yang kembali mempercundangi mereka dengan dua gol lewat kaki Maicon dan heading Diego Milito. Kemenangan 1-3 atas Barca membuat Internisti-julukan fans Inter Milan berpesta.
Tidak sedikit orang yang kecewa dan sedih ketika menyaksikan fakta Inter berhasil melibas sang juara Champions musim lalu. Tapi itulah sepak bola. Dalam pengantar penerbit Catatan Sepak Bola-nya Sindhunata, penerbit buku Kompas mengungkapkan di dalam sepak bola kita dapat melihat dan merasakan tragedi, komedi, ketabahan untuk menerima kegagalan, tekad dan keberanian untuk meraih kemenangan. Sepak bola memang membawa tawa. Tetapi sepak bola juga yang membawa tangis. Dan hal itu terbukti ketika para fans Barca menangisi dan menyesali kekalahan tim kesayangan mereka.
Terlepas dari kabut duka yang menghantar kepulangan anak-anak Josep “Pepp” Guardiolla menuju Catalan. Kita patut mengacungi dua jempol untuk allenatore (Italia, Pelatih) Jose Mourinho. Mou-demikian sapaannya kian membuktikan dirinya sebagai seorang pelatih berkelas. Pelatih asal Portugal ini punya curriculum vitae menawan. Dia pernah berhasil membawa tim non-unggulan seperti FC Porto menjuarai Liga Champions musim 2003-04 dan membawa Chelsea melangkah hingga semifinal musim 2004-05. Dan pertandingan dini hari itu kembali menunjukkan jati dirinya sebagai pelatih besar. Disaat banyak publik pencinta bola menjagokan El Barca, Mou tetap optimistis anak asuhnya bisa menjadi juara “Kami telah mencapai babak semifinal dengan cara yang pantas. Tim ini juga memiliki keyakinan dan kapasitas yang mampu mendorong kami untuk menjadi juara,” ujar Mou.
Sang entrenador (Spanyol, Pelatih) Barcelona, Pepp Guardiolla pun mengakui Mou sebagai seorang pelatih yang pintar, jenius. Kepintaran dan kejeniusan seorang Mou tampak ketika ia mengatur anak-anaknya membatasi ruang gerak Xavi dan Messi. Terbukti, kedua pemain itu dibuat mati kutu oleh para defender I Nerrazurri. Kecerdasan Mou juga mengalir dalam diri Sneijder. Mou mengakui langsung peran penting Sneijder. Dia (Mou) bahkan menyebut lebih baik kehilangan satu penyerangnya daripada kehilangan Sneijder. Itulah sebabnya mengapa Mou merasa heran dan mengatakan Madrid sebagai tim aneh karena menyia-nyiakan bakat besar Sneijder dan begitu mudah membuangnya. "Kami bergantung kepada Wesley Sneijder. Tak ada keraguan mengenai hal itu. Ia memiliki gaya yang unik untuk skuad kami. Tanpanya, kami akan menjadi tim yang berbeda. Aneh, pemain yang penting bagi kami hanya menghangatkan kursi cadangan di Real Madrid," ulas Mourinho.
Kemenangan Inter Milan atas Barcelona bisa dikatakan sebagai kesuksesan seorang Mourinho sebagai seorang panglima untuk anak-anaknya di medan perang bernama sepak bola. Lantas, pesan apa yang bisa kita pelajari dari seorang allenatore berjuluk The Special One itu?
Pertama, seorang pemimpin adalah seorang pengatur strategi dan rencana yang handal. Namun strategi dan rencana itu bakal gagal bila tidak ada yang mengoperasikannya. Strategi untuk mengunci celah Messi berakselerasi dan menghentikan umpan Xavi tidak akan tercapai tanpa perjuangan para pemain belakang Inter. I Nerazurri mungkin juga tidak bisa bermain cantik hingga mampu mengungguli El Barca andaikata tak ada seorang Sneijder yang membangun dan mengatur serangan.
Menurut buku Sun Tzu: War and Management, yang dikutip Sindhunata menyatakan, setiap perusahaan (organisasi, pen) masa kini mutlak perlu mempunyai manajer (pemimpin) yang mempunyai sifat seperti panglima jempolan di atas. Perusahaan-perusahaan modern (organisasi) bisa saja membuat pelbagai strategi atau rencana yang baik dan tepat. Namun, rencana itu akan sia-sia tanpa pelaksana yang mampu mengoperasikannya (Sindhunata: 2002).
Kedua, seorang panglima harus mengetahui kemampuan (bakat/talenta) setiap pasukannya. Selain itu panglima juga harus bisa memberi motivasi untuk para serdadunya. Usaha tersebut untuk tetap mengobarkan semangat, daya juang, dan bahkan melahirkan dan mengasah kemampuan para serdadunya itu. Hal tersebut bisa kita pelajari dari optimisme yang dibangun Mourinho serta mengangkat martabat Sneijder sebagai pemain buangan Real Madrid dan menempatkannya sebagai pemain kunci merealisasikan salah satu strategi dan rencananya. Dan itu sudah terbukti, El Barca menjadi tumbal kejeniusan seorang Mourinho. Tunggu apa lagi? Mari kita berguru pada seorang panglima Mourinho dalam medan pertempuran bernama sepak bola.

Mahasiswa: Perjuangan Mempertahankan Idealisme, Suara Hati, atau Perut?*

Alkisah, di wilayah Makedonia pernah dipimpin oleh seorang raja bernama Philipus. Ketika Philipus sedang membangun Makedonia, beliau selalu dihantam kritik pedas oleh seorang ahli pidato kawakan waktu itu. Namanya Demosthenes.
Dalam sebuah kesempatan, Demosthenes menulis sebuah pidato (Philipika) yang menyerang Philipus secara langsung. Dalam pidatonya itu ada penggalan yang menarik perhatian Philipus, demikian bunyinya, “Saya nyatakan dia (Philipus) sebagai musuh kita. Sebab segala perbuatannya hingga kini hanyalah menguntungkan dia dan merugikan kita.”
Kalimat Demosthenes yang tegas itu merupakan ajaran patriotis kepada segenap rakyat Athena supaya bisa mengangkat senjata melawan Philipus. Marahkah Philipus? Tidak. Hanya putranya, Alexander Agung (kaisar yang kemudian tersohor namanya), yang saat itu masih “bau kencur” politik menjadi geram. Alexander merasa ayahnya yang disegani di seluruh negeri sudah ditelanjangi oleh Demosthenes.
Philipus yang terkenal licik dan cerdik itu tenang-tenang saja menghadapi putranya yang sedang terbakar api amarah. Hebatnya lagi, Philipus dihadapan Alexander menempatkan Demosthenes sebagai seorang pejuang yang bersusah payah hendak mencapai dan mewujudkan sebuah cita-cita. Philipus menyebut cita-cita itu kedaulatan rakyat atau demokrasi.
Philipus tidak kehabisan akal. Dia lalu mengundang Demosthenes untuk berbicara di hadapannya dan rakyat banyak. Surat undangannya berisi demikian,”Saya mengundang Anda untuk berbicara di hadapan saya di Pella (Metropol Makedonia). Waktunya terserah Tuan. Saya jamin, Tuan bisa kembali ke Athena dengan selamat.”
Demosthenes memenuhi undangan Philipus. Ia berangkat menuju Pella. Namun, apa yang terjadi? Demosthenes yang begitu lugu dan jauh dari tahta kemewahan kerajaan mengalami keterpesonaan dangkal melihat sambutan luar biasa yang sengaja diperagakan Philipus untuk meruntuhkan mental dan daya nalarnya. Di tengah kemewahan dan kemegahan itu, Demosthenes seperti orang yang kehilangan lidahnya. Ia seperti bukan layaknya seorang ahli pidato yang patut disegani (Max Regus: 98-99).

Kisah Demosthenes memberi pelajaran agar seorang cendekiawan (baca: mahasiswa) berhati-hati terhadap strategi penguasa untuk meruntuhkan mental, daya kritis, serta membungkam seruan perubahan dan perbaikan masyarakat. Selain itu, Demosthenes juga bisa menjadi sebuah representasi mahasiswa yang awalnya begitu membenci dan vokal mencongkel borok penguasa seperti perilaku korup akhirnya tunduk menyerah termakan rayuan materi dan posisi. Dan secara serentak lahirlah kader-kader koruptor yang bakal mewarisi budaya tersebut. Bila hal tersebut terjadi pupuslah harapan memutuskan cengkraman gurita korupsi di negeri ini.
Dalam tulisan ini, penulis ingin menjawab persoalan dari mana tumbuhnya akar korupsi? Serta bagaimana upaya melepaskan lilitan korupsi itu? Goresan ini berangkat dari perspektif penulis sebagai seorang mahasiswa dan ditujukan bagi rekan-rekan mahasiswa yang masih setia memegang teguh idealisme mereka menciptakan pemerintahan dan kehidupan yang bebas dari korupsi.

Perjuangan Melawan Korupsi
Peran serta mahasiswa dalam membangun pemerintahan yang baik (good government) tak bisa disepelekan. Terbukti sedikitnya tiga kali mahasiswa rela meninggalkan sarangnya (kampus) sebagai seorang intelektual dan turun ke jalan sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat dan bersama rakyat meneriakan dan menumbangkan pemerintahan yang korup.
Pertama, pergerakan mahasiswa tahun 1970-1974. Aksi para cendekiawan muda rentang tahun tersebut mencapai klimaks dengan kecaman atas keadaan sosial. Keprihatinan yang muncul di kalangan mereka mengenai korupsi yang menciptakan jurang yang dalam antara golongan kaya dan miskin akibat pembangunan bercorak kapitalis. Mereka juga mengkoreksi pengaruh Jepang yang kuat dalam perekonomian di Indonesia serta memprotes para pejabat tinggi pemerintahan yang dianggap menerima suap dari kalangan pemerintah Jepang. (bdk. A. Atapunang: 20).
Kedua, tahun 1998. Mahasiswa bersama rakyat bahu membahu melengserkan Soeharto bersama kroni-kroninya yang lekat dengan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Gerakan massa juga lahir menentang sistem pemerintahan yang represif dengan didukung kekuatan militer yang kental dengan bau militeristik. Namun lahir pertanyaan, apakah semenjak jatuhnya Soeharto setelah 32 tahun berkuasa, dan bergulirnya bola reformasi yang menuntut pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, Indonesia sudah bebas dari malapraktek pemerintahan? Belum! Buktinya, beberapa bulan lalu kita masih menjumpai aksi mahasiswa yang berdemonstrasi menuntut agar masalah korupsi segera dituntaskan.
Ketiga, 28 Januari 2010. Bertepatan dengan 100 hari pemerintahan SBY-Boediono, ribuan orang dan di antaranya para mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi menggelar aksi demo dengan tujuan bersama membersihkan Indonesia dari praktik korupsi dan mengganti sistem pemerintahan yang tidak berpihak kepada rakyat dan pro modal asing. Selain itu, penuntasan hukum skandal Bank Century menjadi bagian agenda aksi massa di atas.

Antara Idealisme, Moralitas, dan Urusan Perut
Rentetan peristiwa di atas membuktikan bahwa mahasiswa memiliki kekuatan untuk menjebol tembok kekuasaan yang menindas rakyat sehingga mereka diberi gelar pencipta sejarah. Dalam kata-kata Sindhunata, mahasiswa adalah “subjek dan kekuatan sejarah”. Mahasiswa menjadi inisator perubahan dan pembaruan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan ide segar dan tanpa kenal kata menyerah, mahasiswa selalu tampil di garis terdepan menyuarakan perubahan. Arif Budiman mengibaratkan mahasiswa seperti seorang resi menurut konsepsi budaya politik sosial Jawa. Resi, menurut Arif adalah seorang tokoh spiritual yang tidak memiliki kepentingan duniawi. Mereka melancarkan kritikan serius dan agresif, meramalkan kebobrokan serta memberi peringatan bahwa kerajaan akan runtuh (Aswab Mahasin: 148). Benarkah ada kesesuaian antara pernyataan Arif Budiman dengan realitas saat ini? Bila kita ingin jujur, ada mahasiswa (resi) yang pada akhirnya terlibat dalam politik formal. Timbul pro kontra dalam masalah tersebut. Namun, yang terpenting di sini adalah mereka harus bisa menjaga idealisme dan moralitas. Agar tidak mengingkari perjuangan mereka sendiri dan demi tegaknya pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi. Bila pada saatnya terbukti perjuangan dan seruan mereka tidak lebih dari sekedar omong kosong dan opurtunis demi menarik simpati rakyat dan memuluskan ambisi mereka meraih kekayaan dan kekuasaan, maka tepatlah apa yang diisyaratkan Edward Shills dalam tulisannya berjudul Cendikiawan dalam Perkembangan Politik. Shills menandaskan,”Perubahan dari kaum cendikiawan ketika berkuasa membuka tabir mentalitas oposisi yang dualis. Kebencian terhadap kekuasaan tidak lebih dari pesona yang ditimbulkannya. Cendikiawan yang tadinya membenci, bila berkuasa segera berdamai dengan kekuasaan. Mereka menempelkan pada dirinya tanda-tanda kebesaran dari kekuasaan dan merasa bahwa mereka identik dengan negara. Sedangkan waktu perjuangan untuk kemerdekaan merasa bahwa mereka mewakili bangsa, tetapi sekarang ketika mereka berkuasa, mereka menganggap dirinya identik dengan negara dan semua orang yang tidak setuju dengan mereka dianggap musuh negara.” Sehingga tak heran muncul ungkapan, ketika dulu masih mahasiswa pertahankan idealisme, tapi ketika bekerja pertahankan perut. Jadi jangan heran bila korupsi masih terus bercokol di bumi ini, bila harga sebuah idealisme dan suara hati bisa dibeli dengan materi dan jabatan demi mempertahankan perut untuk selalu terus terisi.

Dosa-Dosa Korupsi
Praktek korupsi di Indonesia sudah kian menggurita. Artinya, praktek tersebut diaktori mulai dari para petinggi pemerintahan hingga pegawai rendahan. Bukan hanya itu saja, korupsi kini sudah seperti dewa baru, disembah dan memiliki banyak pengikutnya. Mungkin karena korupsi menjanjikan cara hidup instan untuk mendulang kekayaan, ketimbang harus bekerja membanting tulang selama beberapa puluh tahun yang hasilnya pun belum bisa dipastikan. Namun, mereka yang melakukan tindakan tersebut menegasikan hakekat yang melekat pada dirinya sebagai seorang manusia yang dibekali tidak hanya naluri (insting) semata tetapi juga budi dan suara hati. Bila manusia hanya ingin memuaskan nalurinya, sementara itu mengabaikan peranan budi (nalar) dan suara hatinya maka manusia tersebut kehilangan keutamaannya dan tidak patut dianggap sebagai seorang manusia, tetapi lebih tepatnya seekor binatang. Budi serta suara hatilah yang membuat manusia tahu membedakan mana yang baik dan jahat, tindakan apa yang bisa mereka lakukan serta tindakan mana yang harus mereka jauhi. Keutamaan-keutamaan itulah yang tidak dimiliki makhluk ciptaan lain.
Korupsi apa pun bentuk dan caranya, siapa pun pelakunya harus dikatakan salah secara definitif. Fritz Fios, dalam tulisannya berjudul Korupsi: Bukti Penjajahan Naluri Atas Nurani, menandaskan bahwa korupsi dikatakan salah karena melanggar dan melawan tigas buah institusi penting. Pertama, melawan institusi internal (nurani murni). Pada dasarnya nurani murni atau suara hati itu tidak salah. Suara hati merupakan kompas moral, malahan dianggap sebagai suara suci dari Tuhan. Suara hati senantiasa mengarahkan manusia untuk berbuat baik dan bertindak benar. Berhadapan dengan tawaran uang, manusia cepat tergoda untuk mengikuti naluri (insting). Konsekuensi logis, pilihan tindakan manusia keliru dan salah. Pada titik ini tindakan manusia menjadi asimetris dalam posisi yang melawan suara hati (nurani).
Kedua, melawan institusi sosial. Institusi sosial di sini lebih dimengerti sebagai ‘sesama’ atau ‘orang lain’. Dengan melakukan korupsi manusia memeras dan menipu. Perbuatan ini jelas mendatangkan kerugian bagi orang lain. Di sini manusia berlaku tidak adil terhadap sesamanya. Maka tindakan korupsi merupakan pengkhianatan dan pembunuhan atas hak milik sesamanya.
Ketiga, melawan institusi normatif (undang-undang). Korupsi terkategori sebagai tindakan pidana menurut undang-undang. Karenanya korupsi melanggar tatanan normatif yang berlaku. Institusi normatif bertujuan menjamin dan melindungi hak-hak individu maupun kelompok. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bahkan telah mencantumkan beberapa pasal tentang tindak pidana korupsi. Hal ini dinyatakan secara lebih jelas, misalnya dalam KUHP pasal 419, pasal 420, dan pasal 425 yang memvonis hukuman bagi oknum yang melakukan korupsi serta lamanya hukuman yang harus dijalani (Al. Atapunang: 53-54).
Beberapa Solusi Alternatif
Kita harus mengakui bahwa kasus korupsi di Indonesia sangat sulit untuk dihapuskan. Buktinya arus demonstrasi menuntut agar kasus ini segera dihapuskan hingga saat ini masih terdengar santer. Hadirnya lembaga independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sempat membersitkan harapan bahwa korupsi akan segera raib dalam budaya bangsa ini. Hal tersebut terbukti dari banyaknya para pejabat pemerintahan serta para penegak hukum yang di-bui-kan karena kedapatan tangan melakukan tindakan tersebut. Namun asa tersebut kini mulai mengendor ketika ada dugaan usaha pengkerdilan KPK dengan ditangkapnya dua pimpinan KPK, Bibit dan Chandra, meskipun pada akhirnya kedua pimpinan itu dibebaskan. Bukan hanya itu, bila dulu KPK leluasa menyadap telepon selular (hp) target mereka tapi kini aksi tersebut harus sepengetahuan menkoinfo. Dan terakhir, banyak masyarakat kini mengeluh dengan kinerja KPK yang terkesan lamban dalam menuntaskan kasus skandal Bank Century. KPK kini diklaim sudah hampir kehilangan taringnya.
Menghilangnya korupsi dari tengah masyarakat adalah suatu hal yang mustahil. Hal serupa juga diamini T.B. Silalahi. Ia mengatakan, “untuk menghilangkan korupsi tidak mungkin, kecuali mengurangi atau meminimalisirnya” (Pos Kupang: 11). Tetapi ada titik terang yang masih bisa ditempuh untuk mengurangi atau meminimalisir perilaku korupsi yakni pertama, optimisme dan komitmen setiap pribadi untuk menjaga agar idealisme perjuangan, budi (nalar), dan suara hati tetap bersih. Setiap pribadi secara khusus mahasiswa dituntut harus selalu sadar dan menjaga ideologi perjuangan mereka dalam memberanguskan praktek korupsi di negara ini. Tidak terlalu penting bila nanti akhirnya mereka bertengger di kursi pemerintahan atau tidak. Yang terpenting harus memegang teguh visi perjuangan mereka selama ini. Bersamaan dengan itu, mahasiswa juga dituntut harus kritis dan cerdik menghadapi berbagai strategi yang bisa menarik mereka melakukan praktek serupa. Di sini suara hati memegang peranan penting. Perilaku korupsi bisa diatasi bila setiap individu menempatkan suara hati dalam bertindak dan membuat pilihan. Sebab suara hati menentukan pilihannya pada nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Korupsi tidak sampai terjadi bila setiap manusia menghormati suara hati mereka masing-masing.
Kedua, pendidikan karakter. Universitas bertanggung jawab untuk menumbuh kembangkan soft skill mahasiswanya. Selama ini bila kita ingin jujur soft skill kurang mendapat tempat dalam pendidikan di universitas. Nilai-nilai kehidupan seperti kejujuran, ketekunan, menghormati, dan peduli sesama justru sering kali harus mengalah dari ilmu ekonomi, akuntasi, hukum, dan sebagainya. Akibatnya, keberhasilan mahasiwa diukur dari berapa besar nilai atau index pretasi (ip) yang mereka peroleh, tetapi kita lupa menanyakan atau malas mencari tahu bagaimana prosesnya hingga mereka bisa mendapat nilai atau index prestasi seperti itu. Selain itu, apakah ilmu yang sudah mereka dapatkan bisa mereka aplikasikan dan bertujuan membangun kebaikan bersama? Penting diingat, pendidikan pertama-tama tidak bertujuan untuk membuat orang cerdas, tetapi yang utama semakin memanusiakan manusia. Kecerdasan memang dibutuhkan. Tetapi bukanlah yang utama. Apalah artinya kepintaran bila hal itu digunakan untuk menipu orang lain. Karena itu, kecerdasan harus diimbangi dengan suara hati yang jernih dan bersih agar hidup menjadi suatu berkah bagi sesama.
Ketiga, mengoptimalkan undang-undang, peranan penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim), serta KPK. Salah satu kegagalan kita memberantas korupsi di negara ini adalah berlakunya undang-undang atau hukum ‘karet’. Benar seperti yang sudah dikemukan di atas bahwa, masalah korupsi dan putusan untuk para pelakunya sebenarnya sudah ada di dalam undang-undang kita. Permasalahannya, undang-undang tersebut kurang bisa diafirmasikan secara tegas oleh para penegak hukum di negara ini. Ibarat sebuah karet, dengan kebesaran uang undang-undang bisa dengan mudah ditarik sesuka hati demi meloloskan koruptor kelas kakap. Sementara, untuk rakyat kecil seperti nenek Mina, yang hanya mengambil kakao jatuh dari pohon milik tetangganya, harus pasrah menjalani proses hukum dan merasakan dinginnya lantai penjara. Berbeda dengan kasus skandal Bank Century, yang telah merugikan negara hingga 6,7 triliun, kabarnya kini seperti benang kusut dan tak tahu kapan berakhir dengan membawa kesimpulan. Lamanya penanganan masalah tersebut ada dugaan bahwa skandal tersebut melibatkan para petinggi negara ini. Singkat kata, undang-undang atau hukum di negara kita masih terkesan tebang pilih. Optimalisasi KPK juga perlu diperhatikan. Salah satunya membuang peraturan yang mengharuskan proses penyadapan terlebih dahulu mendapat persetujuan menkoinfo. Bila KPK merupakan salah satu lembaga independen maka biarkanlah lembaga tersebut bekerja secara independen.
Hingga saat ini rakyat Indonesia masih menanti sebuah impian bisa hidup di negara yang bebas dan bersih dari virus-virus korupsi. Jangan biarkan harapan tersebut memudar dan menaburkan benih-benih apatisme serta kebencian kepada para penyelenggara ini bila tidak ingin gelombang demonstrasi yang lebih besar dari peristiwa 98 terjadi di bangsa ini.

*Tulisan ini pernah diikutsertakan dalam lomba essai di Politeknik Negeri Jakarta, Universitas Indonesia, awal Maret 2010.

Bibliografi

Atapunang, Al (Peny.). KKN dan Perjuangan Mahasiswa. Maumere: STFK Ladalero, 2000.

Mahasin, Aswab dan Ismed Natsir (Eds.). Cendikiawan dan Politik. Jakarta: LP3S, 1983.

Pos Kupang, 18 Juni 1997

Regus, Max. Sketsa Nurani Anak Bangsa. Jakarta: Obor, 2004.

Senin, 13 Juli 2009

KRISTOLOGI FEMINIS

Ludwig Feurbach , dalam sebuah tesisnya mengungkapkan bahwa Teologi adalah antropologi . Artinya, teologi semata-mata proyeksi kualitas manusia kepada Yang Ilahi. Kualitas-kualitas yang melekat pada Yang Ilahi merupakan atau bersumber dari kualitas manusia sendiri. Jadi bila manusia mengatakan Yang Ilahi baik hal tersebut muncul karena kualitas kebaikan ada pada manusia, atau bila manusia mengatakan bahwa Yang Ilahi itu penyayang karena memang rasa sayang juga terdapat atau dimiliki manusia.
Kita harus mengakui bahwa Teologi selama ini didominasi oleh laki-laki. Medan wacana Teologi dikuasai laki-laki dan terbatas bagi perempuan. Apabila ruang wacana teologi dikuasai laki-laki, maka sesuai dengan argumen Ludwig Feurbach maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pertama, penafsiran terhadap Yang Ilahi disarati kepentingan laki-laki dan kedua, kualitas yang diproyeksikan kepada Yang Ilahi adalah kualitas laki-laki, hal tersebut kemudian memberikan ekses, pertama pencitraan Yang Ilahi sebagai sosok maskulin dan yang kedua pembacaan Kitab Suci melegitimasi posisi subordinat kaum perempuan.
Hal seperti itu memancing reaksi keras dari para teolog feminis yang ingin mengoreksi gambaran Yang Ilahi dengan sifat-sifat patriarkal dan sebagai pria. Selain itu para teolog feminis ingin membaca dan menafsirkan Kitab Suci dalam terang pengalaman perempuan. Dengan demikian mereka ingin mengimbangi dan mengatasi Teologi yang selam ini hampir secara eksklusif diciptakan oleh pria dan dalam perspektif serta latar belakang pengalaman pria.

Teologi (Pembebasan) Feminis
Teologi memiliki sikap kritis berhadapan dengan aneka bentuk tindakan manusia yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia . Sebagai salah satu contoh, lahirnya Teologi Pembebasan di Amerika Latin dipicu oleh situasi kemiskinan yang dialami masyarakat setempat. Situasi seperti ini paradoks dengan khotbah tentang hidup Kerajaan Allah yang mana kehadiran Yesus ke tengah dunia merupakan revelasi Allah menegakkan keadilan dan kesejahteraan seluruh dunia dengan mengangkat orang-orang yang paling hina. Oleh sebab itu, kehadiran Teologi Pembebasan ingin membangkitkan kesadaran manusia kepada gambaran Yang Ilahi dalam karya menghapuskan penindasan.
Ciri-ciri yang menandai Teologi Pembebasan secara keseluruhan juga hampir sama menandai Teologi (Pembebasan) Feminis. Teologi ini muncul dari pengakuan akan penderitaan suatu kelompok khusus yang tertindas, yakni kaum perempuan. Situasi tersebut menggerakan sejumlah teolog feminis untuk bangkit dan meneriakkan sebuah situasi yang bertentangan dengan kehendak Allah. Tujuan berteologi ini tidak hanya memahami makna tradisi iman, tetapi juga mengubah tradisi (dominasi patriarkat). Tujuan lanjut dari teologi ini bukan melakukan diskriminasi sebaliknya, yaitu perempuan mendominasi laki-laki, seandainya hal tersebut terjadi, maka masalahnya akan sama saja akan tetapi Teologi ini menuntut setiap orang dengan hak-haknya sendiri ikut berpartisipasi menurut bakatnya, tanpa stereotip-stereotip tertentu, dan saling memberi dan menerima satu sama lain. Visi yang membimbing Teologi Feminis ialah visi suatu masyarakat manusia yang baru yang berdasarkan pada nilai-nilai saling menghargai dan timbal balik (laki-laki dan perempuan). Metode yang diterapkan oleh Teologi (pembebasan) Feminis adalah menganalisis situasi, menyelidiki tradisi untuk mencari apa yang ikut ambil bagian dalam menciptakan penindasan, dan menyelidiki lagi untuk mencari apa yang membebaskan serta menghasilkan penghargaan yang baru mengenai makna Yesus Kristus bagi kaum perempuan.
Reaksi kaum feminis atas situasi penindasan dan ketidakadilan dalam struktur masyarakat melahirkan 2 (dua) jenis aliran Teologi Feminis yaitu Teologi Feminis Revolusioner dan Teologi Feminis Reformis. Teologi Feminis Revolusioner diciptakan oleh kaum perempuan yang setelah menyelidiki tradisi Kristiani mengambil kesimpulan bahwa tradisi itu didominasi oleh kaum laki-laki dan menyatakan bahwa tradisi itu tidak dapat memberikan harapan perbaikan. Kaum perempuan dalam aliran Teologi ini biasanya memeberikan suara dengan hentakkan kaki dan meninggalkan Gereja. Mereka membentuk kelompok-kelompok untuk berdoa dan beribadat bersama-sama. Kelompok ini menganggap persaudarian adalah nilai yang besar dan mereka menyebut Allah dengan panggilan Dewi . Hal tersebut menandasakan bahwa Teologi Feminis Revolusioner tidak tertarik kepada Teologi Katolik dan refleksi tentang Yesus Kristus. Sedangkan aliran Teologi Feminis Reformis , sekalipun sependapat dengan aliran Teologi Feminis Revolusioner bahwa tradisi Kristiani telah didominasi kaum laki-laki, mereka masih melihat alasan untuk tetap berharap bahwa tradisi Kristiani dapat diubah, sebab tradisi itu juga mengandung unsur-unsur pembebasan yang kuat. Namun perbedaan antara Teologi Feminis Revolusioner dengan Teologi Feminis Reformis nampak dalam reaksi yang mereka lakukan. Teologi Feminis Reformis tetap tinggal di dalam Gereja dan berusaha mengadakan perubahan. Para teolog aliran ini mengunakan model pembebasan dalam arti mereka mengusahakan pelucutan patriarki dan keadilan yang sama terutama bagi orang-orang yang terampas dan tertindas.

Menggali Akar Permasalahan
Pada bagian terdahulu telah disebutkan mengenai metode yang diterapkan dalam Teologi (Pembebasan) Feminis yakni menganalisis situasi, menyelidiki tradisi untuk mencari apa yang ikut ambil bagian dalam menciptakan penindasan, dan menyelidiki kembali tradisi untuk mencari apa yang membebaskan kaum perempuan dalam cengkraman dominasi partriarkal. Ketiga langkah di atas akan diterapkan dalam menggali akar permasalah yang tumbuh di permukaan.
Langkah pertama dalam metode Teologi (Pembebasan) Feminis adalah menganalisis situasi. Pendekatan ini penting agar kita dapat mengetahui sebab musabab lahirnya negasi terhadap kaum perempuan dan peranannya dalam tradisi Kristiani. Berdasarkan analisis terhadap situasi yang menimpa kaum perempuan adalah karena faktor seksisme.
Seksisme seperti halnya rasisme bermuara pada penggolongan manusia, penentuan peranan-peranan tertentu dan mengingkari hak-hak orang-orang tertentu atas dasar ciri-ciri fisik. Rasisme memandang orang-orang tertentu lebih rendah martabatnya atas dasar warna kulit atau warisan budaya dan dengan gigih berusaha keras membatasi orang-orang kulit berwarna dalam ‘keranjang’ yang sudah ditakdirkan, demikian halnya atas dasar jenis kelamin, seksisme memandang kaum perempuan pada hakikatnya lebih rendah harga dirinya sebagai manusia daripada kaum laki-laki dan berusaha dengan sekuat tenaga untuk membatasi kaum perempuan dalam ‘kandang’ mereka sendiri. Dalam kedua paham tersebut, ciri-ciri fisik dipandang sebagai yang menentukan hakikat manusia, sehingga martabat luhur pribadi manusia dilanggar.
Seksisme menampakkan dirinya dalam 2 (dua) cara. Pertama, pola struktural sehingga kaum perempuan berada dalam genggaman laki-laki. Pola ini menjadikan laki-laki sebagai pusat, pemimpin, dan penguasa sementara perempuan dimarjinalkan. Pola tersebut kemudian dikenal dengan istilah patriarki . Pola penampakan seksisme yang kedua adalah mengangkat kemanusiaan laki-laki dan menjadikannya sebagai norma untuk semua orang. Pola ini dikenal dengan istilah androsentrisme. Cara berpikir androsentrik mengklaim bahwa kemanusiaan itu berpusat pada laki-laki dewasa. Perempuan dipandang sebagai manusia bukan menurut kedudukannya sebagai manusia kelas dua, kedudukannya berasal dari dan bergantung pada laki-laki. Pola pikir androsentrik dan patriarkal telah merasuki kehidupan masyarakat dan Gereja. Hampir semua teolog laki-laki yang berpengaruh dalam tradisi telah berpikir menurut pola tersebut, sebutlah Tertulianus, Augustinus, dan Paulus. Salah satu surat Paulus kepada Timotius berbunyi demikian “Aku tidak mengijinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengijinkannya memerintah laki-laki; Hendaknya ia berdiam diri. Karena Adam yang pertama dijadikan, kemudian barulah Hawa. Lagipula bukan
Adam yang tergoda, melainkan perempuan itulah yang tergoda dan jatuh ke dalam dosa” (bdk. 1 Tim. 2:11-14). Seksisme dengan struktur patriakalnya dan pemikiran androsentriknya telah membuat perempuan mengalami penderitaan yang sistematis.
Dalam tradisi klasik, Augustinus dan masyarakat umumnya berpendapat bahwa kesombongan adalah dosa asal yang menyebabkan manusia jatuh dalam dosa. Para teolog feminis berpendapat bahwa itu (mungkin) ada benarnya untuk laki-laki, namun untuk perempuan lebih besar kemungkinannya dosa asal timbul sebagai bentuk hilangnya pusat, buyarnya kepribadian, kurangnya kesadaran diri sehingga orang hanyut atau tidak tentu arah. Di sisi lain, seksisme juga merendahkan laki-laki, laki-laki biasa mengembangkan kemanusiaannya secara sempit (menjadi kuat, rasional, menguasai). Laki-laki juga tidak boleh mengembangkan kemanusiaannya dalam semua dimensinya, kita semua terkungkung dalam stereotip-stereotip.
Teologi Feminis telah mengembangkan sebuah kriteria atau prinsip kritis untuk menilai sistem seksisme. Menurut rumusan Rosemary Radford Ruether, prinsip itu adalah nilai kemanusiaan sepenuhnya kaum perempuan yang merunjuk kepada Gaudium et Spes, 29 tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini. Apa pun yang memampukan nilai ini tumbuh dan berkembang bersifat menebus dan berasal dari Allah; apa pun yang mengerdilakan nilai ini bersifat tidak menebus dan bertentangan dengan kehendak Allah. Dengan mengingat hal ini maka seksisme sendiri dinilai berdosa.

Kritik atas Kristologi
Langkah kedua dalam berteologi (pembebasan) feminis adalah analisis atas tradisi. Kristologi merupakan salah satu ajaran Gereja yang paling banyak mengundang kontroversial. Hal ini disebabkan karena Kristologi banyak digunakan sebagai ‘buldozer’ untuk menindas kaum perempuan. Titik penyulut dalam Kristologi adalah cara penafsiran kelaki-lakian Yesus. Kekhususan historis-Nya (laki-laki) juga dilabelkan pada diri Allah, karena Yesus laki-laki maka Allah juga laki-laki. Sehingga gambaran Allah yang dicitrakan seperti seorang perempuan tidak mendapat tempatnya. Namun dalam Kitab Kejadian, sebenarnya tertulis jelas bahwa Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan adalah sama-sama citra Allah, maka tidak ada diskriminasi di sini. Masih bertalian dengan ayat Kitab tersebut Teologi Feminis berpikir bahwa bila laki-laki dan perempuan diciptakan menurut citra Allah maka Allah dapat digambarkan sebagai laki-laki ataupun sebagai perempuan.

Kristologi Pembebasan Feminis
Metode terakhir dalam berteologi (pembebasan) feminis adalah menyelidiki tradisi untuk menemukan unsur-unsur Kristologi yang membebaskan kaum perempuan. Penyelidikan atas tradisi itu akhirnya sampai pada kesimpulan, pertama, pengajaran Yesus memaklumkan keadilan dan damai sejahtera untuk semua orang, termasuk kaum perempuan. Para teolog pembebasan melihat bahwa dalam pengajaran Yesus justru orang yang tersisih dan tersingkir dalam struktur-struktur yang sudah mapanlah yang ditempatkan pertama sebagai pemerintahan Allah, bukan untuk menciptakan diskriminasi melainkan mendobrak pola lama diskriminasi dan menciptakan pola relasi baru. Kedua, Yesus memanggil Allah sebagai Abba juga membebaskan, sebab menurut pemahaman Yesus, Abba adalah kebalikan dari patriarki yang mendominasi. Sebaliknya, Abba yang penuh belas kasih, mesra, dan erat ini membebaskan setiap orang dari pola-pola dominasi. Ketiga, perilaku Yesus yang khas, yaitu memihak kaum marjinal, meliputi kaum perempuan sebagai pihak yang tertindas dari kaum yang tertindas dalam setiap kelompok. Teladan Yesus sendiri telah membuat seorang teolog feminis berkomentar bahwa masalahnya bukan bahwa Yesus itu laki-laki, melainkan bahwa lebih banyak laki-laki tidak seperti Yesus. Keempat, kisah-kisah tentang perempuan dalam Injil ditafsirkan dari sudut pandang feminis, menjadi jelas bahwa meskipun hal ini telah disisihkan dalam tradisi androsentrik, Yesus memanggil perempuan-perempuan untuk menjadi murid-murid-Nya. Kelima, selain berkeliling bersama dengan Yesus di Galilea, perempuan-perempuan yang menjadi murid-murid-Nya juga mengikuti-Nya sampai ke Yerusalem. Keenam, dalam dasawarsa pertama Gereja, ada bukti yang kuat bahwa perempuan-perempuan menunaikan pelayanan yang gigih sebagai rekan dari para laki-laki.
Kristologi Pembebasan Feminis telah menemukan Yesus sebagai Sang Pembebas, bukan dalam arti umum yang berkenaan dengan orang-orang miskin tetapi khususnya berkenaan dengan kaum perempuan. Ia membawa keselamatan melalui hidup dan Roh-Nya, mengembalikan kaum perempuan kepada martabat pribadi yang sepenuhnya dalam Kerajaan atau Pemerintahan Allah., serta mengilhami mereka untuk membebaskan diri dari struktur-struktur dominasi dan subordinasi.

DAFTAR PUSTAKA

Banawiratma, JB dan Sindhunata, Di Bawah Bayang-Bayang Kekuasaan Lelaki, BASIS no 07-08 Tahun ke-45, Yogyakarta, Kanisius, Oktober 1996.

Budi Hardiman, F., Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Chang, William, Berteologi Pembebasan, Jakarta, Obor, Juni 2005.

Gahral Adian, Doni, Tealogi, Spiritualitas, dan Keberpihakan pada Perempuan, dalam Jurnal Perempuan seri 20, Jakarta, Yayasan Jurnal Perempuan, 2001.




Senin, 16 Maret 2009

LUGO DAN PARA WAKIL RAKYAT KITA


Katedral saya bukan lagi sebuah Gereja Keuskupan. Kini seluruh Negara adalah Katedral saya”. (Fernando Lugo)
Demikian kata seorang mantan uskup yang kini menjabat sebagai Presiden Paraguay. Pria bernama lengkap Fernando Armindo Lugo Méndez mengantongi surat suara sebanyak 41% dari pemilih Paraguay yang memungkinkan dirinya keluar sebagai pemenang dalam pemilihan Presiden Paraguay yang berlangsung pada hari Minggu (20/4). Keluarnya Lugo sebagai pemenang dalam pemilu di Paraguay memupuskan harapan Partai Colorado yang selama 61 tahun (sejak 1947) bertengger di kursi kepresidenan. Terpilihnya Lugo sebagai Presiden memiliki alasan yang sangat kuat sebab Partai Colorado yang sudah memerintah sangat lama tidak membawa perubahan yang sangat signifikan, bahkan rakyat menjadi semakin menderita karena lilitan ekonomi yang sangat akut. Angka penduduk miskin mencapai 43%, dari 6,5 juta penduduk negara tersebut (hampir 4 dari 10 penduduk Paraguay miskin), pengangguran mencapai 13%, dan 300.000 petani tanpa lahan. Jumlah warga buta huruf pun sangat memprihatikan. Karena kondisi seperti itulah sebagian besar dari 2,8 juta pemilih menaruh harapan akan adanya perubahan yang dihembuskan Lugo di negara dengan julukan Corazon de America (jantung Amerika).

Dalam tulisan ini penulis ingin menampilkan secara garis besar tentang sepak terjang Lugo dan situasi politik-ekonomi Paraguay yang menggerakkan dirinya untuk duduk di kursi kepresidenan serta pesan yang bisa kita petik dalam persiapan menghadapi pesta akbar lima tahunan (Pemilu) dalam menentukan pemimpin yang berkualitas baik bibit, bebet maupun bobotnya. Tulisan ini juga tidak menutup kemungkinan diperuntukan bagi para pelayan Sabda agar lebih berpihak kepada mereka yang miskin dan tertindas yang menjadi fokus perhatian setiap Buku Suci.

Dalam merancang tulisan ini penulis mengumpulkan informasi dari surat kabar terutama Kompas, majalah Mingguan Hidup dan hasil diskusi yang diadakan oleh PP PMKRI beberapa Minggu lalu (7/9) di daerah Cikini. Pada kesempatan tersebut hadir Robert Bala dan Budiman Sudjatmiko dimana kedua orang tersebut pernah bertemu dengan Lugo dan terlibat dalam pembicaraan bersama mereka. Tulisan ini juga tidak terlepas dari pemikiran pribadi penulis yang menemukan human interest setelah mengetahui sosok seorang Lugo dari berbagai informasi di atas.


Selayang Pandang tentang

Fernando Lugo

Fernando Lugo lahir pada 30 Mei 1951 di San Pedro del Parana, Encarnacion, sebuah kota yang berjarak 370 km dari Asuncion. Lugo berasal dari keluarga yang tidak terlalu religius. Ayahnya seorang politikus dan jarang ke Gereja. Pamannya, Epifanio Menes Fleitas, adalah seorang pembelot dari partai Colorado. Lugo juga memiliki background keluarga petani.

Lugo menamatkan pendidikannya pada umur 17 tahun di sebuah sekolah milik Yesuit. Kemudian ia bekerja di sebuah sekolah di pedalaman (Encarnacion). Pada umur 19 tahun Lugo memutuskan untuk masuk seminari, hal ini bertentangan dengan kehendak ayahnya yang menginginkan dirinya menjadi seorang pengecara. Setelah menamatkan pendidikan di seminari, Lugo melamar ke Serikat Sabda Allah (SVD: Sociedad del Verbo Divino atau Societas Verbi Divini). Pada 15 Agustus 1977 ia ditahbiskan menjadi imam Katolik dan ditugaskan ke Ekuador selama lima tahun, di tempat tersebut ia belajar banyak mengenai Teologi Pembebasan. Bahkan akhirnya ia menjadi pengagum dan peminat Teologi Pembebasan yang antara lain telah mampu membuat dirinya memahami realitas dan ketimpangan sosial. Teologi Pembebasan juga memberi inspirasi bagi tindakan politiknya, menurut beliau ajaran sosial dan nilai-nilai luhur seperti yang diajarkan berbagai agama, perlu diwujudnyatakan bagi masyarakat lapis bawah yang umumnya terlantar atau ditelantarkan.

Pada tahun 1987 ia kembali ke Paraguay. Pada tahun tersebut ia mulai aktif membela kaum tertindas, keterlibatannya mendapat sorotan dari pemerintah hingga akhirnya ia diusir oleh (rezim) militer yang diktator. Pada tahun itu pula ia dikirim untuk belajar di Roma hingga memperoleh gelar licenciat dalam ilmu sosial.

Tanggal 17 April 1994 ditahbiskan sebagai seorang uskup dan ditugaskan di wilayah San Pedro, salah satu wilayah miskin di Paraguay. Selama 10 tahun ia menjabat sebagai uskup, ia mengalami sendiri betapa keuskupannya yang berada di sebuah ibu kota provinsi, hingga kini belum beraspal.


Paraguay dan Perjalanan Politik Lugo

Paraguay adalah sebuah negara kecil dengan area 406.762 km persegi diapit oleh negara-negara besar, seperti Brasil dan Argentina. Paraguay sebenarnya negara yang sangat kaya dengan dua perusahaan Hindricos, yang menggunakan kekuatan air untuk mengaliri listrik Brasil dan Argentina.

Anehnya, sepertiga wilayah negara yang hanya berpenduduk 6,5 juta orang itu belum dialiri listrik. Listrik masih merupakan barang mewah sementara pemerintahnya berjaya dalam korupsi dengan menjual turbin-turbin pembangkit listrik. Bukan itu saja. 60% warganya tergolong miskin. Malah 32% berada dalam kemiskinan absolut. Menurut PBB di antara 10 orang Paraguay hanya satu orang yang memiliki asuransi kesehatan. Sekitar 25% warganya memilih pergi ke dukun untuk mengobati diri bila sakit karena tidak sanggup membeli obat-obatan.

Kekayaan Paraguay tidak hanya itu saja. Ia memiliki bentangan tanah yang sangat luas, muali dari selatan yang berbatasan dengan Argentina hingga ke bagian Chaco (baca: Cako) Bolivia. Sejauh mata memandang, hanya ada bentangan tanah yang luas. Ironisnya, tanah-tanah luas itu sudah bertuan. Tidak sedikit orang Eropa yang sudah memiliki sertifikat atas tanah tersebut. Pemerintah Paraguay sudah menjual tanahnya. Jadi, lebih dari 80% tanah dikuasai oleh segelintir orang kaya. Sementara rakyat Paraguay terpaksa hidup sebagai penyewa di tanah air sendiri.

Keadaan seperti itulah yang membuka mata Lugo dan bersama para petani memperjuangkan kembali tanah-tanah mereka. Dari sudut kegembalaannya sebagai uskup, ia telah berteriak bersama umat. Ia hadir di tengah umat, memperjuangkan kembalinya tanah-tanah yang dikuasai tuan-tuan tanah (latinfundos) kepada para petani. Lugo mulai menggalang kekuatan untuk melakukan reformasi agraria. Kemiskinan bisa dicabut dari petani apabila mereka memiliki lahan sendiri.

Namun usaha tersebut tak semudah membalikkan telapak tangan. Teriakan, seruan, anjuran bak menghadapi tembok beton, mekanisme korupsi sudah mentradisi sehingga sulit diubah kecuali bila dapat masuk ke dalam sistem (pemerintah) dan mengubah situasi di dalam. Atas desakan rakyat yang meminta kesediaannya menjadi Presiden dan terlebih karena realita penderitaan rakyat Paraguay, maka pada tanggal 18 Desember 2006 Lugo mengirim surat pengunduran diri dari jabatan uskup dan imam untuk dapat mencalonkan diri menjadi Presiden. Hal ini ia lakukan karena menurut hukum Gereja dan negara seorang tertahbis dilarang untuk terlibat dalam politik praktis dan menjadi seorang presiden. Keputusan Lugo menuai banyak reaksi dalam tubuh Gereja. Di satu sisi ada yang mendukung namun di sisi lain tak sedikit yang menentang keputusannya, namun demikian dadu telah dilempar dan kini sudah kita ketahui bersama bahwa Lugo telah menjabat sebagai Presiden Paraguay.


Antara Lugo dan Perilaku Wakil Rakyat Kita,

Antara Paraguay dan Indonesia

Lilitan praktek korupsi yang membelenggu Paraguay selama lebih dari enam dekade membawa penderitaan kronis bagi sebagian besar rakyat Paraguay . Padahal seperti yang telah kita ketahui dari informasi di atas, Paraguay memiliki tanah pertanian dan ladang yang sangat luas yang memungkinkan para petani untuk bercocok tanam dan memetik pendapatan dari menjual hasil pertanian dan ladangnya. Syukur bila komoditi tersebut dapat diekspor ke negara lain. Selain itu, Paraguay juga memiliki 2 perusahaan Hindricos (PLTA-nya Paraguay) yang dapat menyumbangkan devisa bagi negara untuk kemajuan dan kemakmuran rakyat. Namun ironisnya rakyat Paraguay seperti tikus yang mati kelaparan di dalam lumbung beras. Rakyat Paraguay hanya bisa menatap kekayaan alamnya dijarah oleh sekelompok kecil orang baik itu pemerintah, para tuan tanah, maupun perusahaan-perusahaan asing. Situasi Paraguay tak jauh berbeda dengan ‘iklim’ di Indonesia, tengok saja kekayaan alam dan harta karun yang terkandung di negara ini. Kita punya industri baja terkenal, tambang emas yang besar, kekayaan laut yang bernilai ekspor tinggi namun sayangnya semua itu tak memberi perubahan kasat mata bagi masyarakat setempat. Lantas kemana perginya semua kekayaan itu?

Kemiskinan, busung lapar, gagal panen karena bibit yang diberikan pemerintah “super letoy”, pengangguran yang membawa efek domino pada meningkatnya kriminalitas, harga BBM yang meroket, korupsi yang kian mengerikan bukan saja karena besarnya jumlah nominal yang membuat rakyat hanya bisa mengelus dada,, tetapi praktek ini dilakoni oleh para wakil rakyat dan penegak keadilan yang nota bene mengemban misi penting demi dan untuk kesejahteraan rakyat menjadi litani penderitaan yang menghiasi hidup harian rakyat.

Litani penderitaan ini kemudian menjadi ladang subur yang dapat dimanfaatkan bagi para calon legislatif dan presiden untuk menebar simpati dan merebut suara dalam pemilu 2009 nanti. Mereka tampil di depan publik, menampilkan gerak dan raut wajah hasil polesan jasa pembangun citra diri yang nilainya berkisar puluhan juta hingga milyaran rupiah untuk sekali tampil dalam pariwara, mereka mengkomersilkan, dan mempertontonkan penderitaan serta perjuangan rakyat mempertahankan hidup. Para caleg dan capres mendadak menjadi mesias meminjam istilah Sukardi Rinakit, yang seolah-olah kedatangannya sangat dinantikan oleh mereka yang miskin, lemah dan tertindas untuk membebaskan rakyat dari himpitan persoalan yang kian menindih, menciptakan keadilan serta membawa perubahan di dunia (Indonesia). Pemandangan tersebut hanya bisa kita alami ketika menjelang pemilu. Selain dari itu seperti yang telah kita ketahui bersama para caleg, capres dan cawapres terpilih sibuk mengadakan syukuran, jalan-jalan ke perbagai daerah dan luar negeri dengan embel-embel kepentingan dinas, mengumpulkan kembali dana yang telah keluar untuk membiayai kampanye dan menyusun strategi untuk membalas jasa kepada partai serta koalisinya dan trik-trik menghadapi pemilu berikutnya sehingga waktu lima tahun tidak cukup untuk membawa perubahan dan perbaikan kehidupan rakyat.

Membaca geliat para wakil rakyat kita di atas sangat jauh berbeda dengan kesan seorang Lugo sebelum dan ketika menjadi presiden. Sebelum menjadi presiden ia turut mengamati, mengalami dan menyerukan kegetiran hidup rakyat Paraguay dengan turun ke jalan menentang pemerintah yang korup. Pemahamannya tentang ajaran Injil, ajaran sosial gereja dan teologi pembebasan yang menekankan pemihakkan kepada orang miskin dan tertindas, cinta kasih dan solidaritas global tidak terkungkung pada tataran teoritis tetapi ia men-dunia-kan (baca: mengkonkritkan) maksud injil, ajaran sosial gereja dan konsep teologi pembebasan dilahirkan agar tidak terkesan omdo (omong doang) seperti yang sering terlontar dari mulut para kaum muda sekarang. Ketika Lugo menjabat sebagai presiden ia tidak perlu menunggu sampai lima tahun untuk membawa perubahan bagi Paraguay tetapi sesaat setelah ia dilantik, ia langsung menghembuskan sebuah perubahan salah satunya menolak menerima gaji presiden. Pola asketis menjadi inner beauty dari seorang Lugo. Pola asketis penting menjadi pola hidup seorang pemimpin atau mereka yang memegang peranan penting di negara ini dimana praktek korupsi sudah berurat akar agar tidak sampai terjerembab (untuk tidak dibilang lagi sial atau apes) kemudian mendekam dalam hotel pro deo namun lebih dari itu untuk memutuskan lingkaran setan (vicious circle) korupsi yang menyengsarakan rakyat. Mungkin kita akan terkejut menyaksikan seorang Lugo beberapa saat sebelum dilantik menjadi presiden, di meja makannya hanya tersaji labu ditaburi mayones sungguh suatu kesan yang jauh berbeda dari pemandangan ketika para calon wakil rakyat kita akan dilantik, tumpeng dan ayam goreng menjadi menu standar dalam acara syukuran tersebut.

Andaikan Lugo orang Indonesia dan menjadi pemimpin negara ini hampir dapat dipastikan ia dapat meniup angin reformasi terhadap carut marut sistem pemerintahan di negara ini yang sarat diwarnai praktek korupsi. Namun sayangnya Lugo memang bukan orang Indonesia apalagi seorang pemimpin di negara yang dulu terkenal sebagai jamrud katulistiwa akan tetapi para petinggi di negara ini dapat mengadopsi pola hidup dan tekad seorang Lugo.

Perubahan tidak akan terjadi apabila para pejabat negara kita malas belajar dan menyelesaikan tanggung jawab mereka sebagai penyambung lidah rakyat sehingga tak heran bila banyak dari mereka terkena cekal.



HENDAKNYA KITA BEREFLEKSI


Kereta bukanlah kereta, sebelum ia dijalankan. Nyanyian bukanlah nyanyian, sebelum ia dinyanyikan. Genta bukanlah genta, sebelum ia dibunyikan. Dan cinta bukanlah cinta, sebelum ia dilaksanakan”

(Gede Prama-Kereta, Genta dan Cinta)


Iklim pada siang hari itu terasa sangat panas seakan-akan membakar kulit, kulit tubuhku yang hitam dibuat menjadi kian legam dan mengkilat karena butiran keringat yang mulai membanjiri sekujur lenganku, seorang temanku pun tak tahan menghadapi iklim yang tak bersahabat seperti ini, kami akhirnya memilih untuk bernaung di sebuah warung yang menjadi langganan kami sekedar untuk pause, membebaskan tubuh dari kegerahan dan membuang dahaga. “mba, pop icenya satu” teriak temanku memesan minumannya, rupanya ia tak bisa menahan lebih lama lagi kekeringan yang terus mencekik kerongkongannya. Bung..lo minum apa? Tanya temanku kepada saya, “waduh...gak usah repot-repot, mau nraktrir ne?” jawabku dengan canda, “Yee, BS (bayar sendiri-sendiri) dong, gw hanya bantu mesenin supaya sekalian pesan” jawab temanku cepat, biasa apa pun makanannya Teh Botol Sosro minumanya, sergahku sambil mencontohi iklan di tv. Tak berapa lama kemudian pesanan kami sudah berada di hadapan kami, kami pun segera menyerumput minuman kami masing-masing, sambil menikmati minuman, saya mengungkapakan niat saya untuk membuat tulisan tentang pengalaman visualisasi beberapa minggu yang lalu, temanku merasa heran kenapa peristiwanya sudah berlalu cukup lama tetapi tulisannya baru hendak keluar, out of date, katanya. Aku hanya bisa terdiam, berpikir tentang pendapat yang disampaikan oleh temanku, apakah aku harus mengurungkan niatku untuk membuat tulisan seputar pengalaman saat visualisasi, atau maju sambil memohon maaf terlebih dahulu dan memohon pengertian dari pembaca untuk bisa memaklumi tulisan saya yang baru nongol kesiangan pasca-visualisasi beberapa pekan silam. Dilemma, mungkin kata yang tepat untuk melukiskan perasaan dan pikiranku saat itu. Entahlah, disaat dahi ini sudah kian berkerut, dan semangat dalam diri kian redup, masih ada saja seberkas cahaya kebijaksanaan yang memberi ilham kepada saya, lebih baik memulai walau terlambat dari pada tidak memulai sama sekali, mungkin (beribu maaf saya sampaikan bila pendapat saya ini salah) hanya sedikit orang saja yang menuangkan pengalamannya (tentang visualisasi) dalam bentuk tulisan, kebanyakan orang hanya meluapkan perasaan secara verbal, Verba volant scriptura manent-kata-kata terbang tetapi tulisan akan tetap tinggal, mungkin mereka yang menuangkan pengalaman visulisasi secara verbal tanpa dibarengi dengan tulisan, dalam kurung waktu sepuluh tahun atau bahkan dua puluh tahun kenangan akan indahnya pengalaman visualisasi akan pudar karena disesaki oleh pelbagai pikiran lain, sedangkan saya yang menuangkan perasaan dalam bentuk tulisan akan tetap terbayang sampai jiwa ini meninggalkan tubuhnya. Karena ilham dadakan itulah akhirnya saya berniat dan membuat tulisan ini.


Visualisasi: Ketika dihadapkan pada pilihan

Setiap manusia pasti pernah dihadapkan pada pilihan, dan setiap pilihan memiliki konsekuensi, mengorbankan yang satu dan menjalani pilihan yang lain. Dan hal itu tidaklah gampang, seandainya anda dihadapkan pada dua pilihan yang sama penting, disaat yang bersamaan dan keduanya menuntut kehadiran anda karena kehadiran anda sangat penting dan dibutuhkan, ibarat memakan buah simalakama, anda pasti merasa bingung memakan buah itu atau tidak memakannya, namun kedua pilihan tersebut mempunyai konsekuensinya masing-masing. Memilih keduanya memiliki konsekuensi memilih yang satu ada konsekuensinya dan tak memilih pun tetap memiliki konsekuensi.

Saya merasa bingung dan merasa serba salah harus menentukan pilihan yang mana, ketika beberapa hari menjelang pementasan dan tinggal dua hari merampungkan pementasan saya mendapat tawaran pekerjaan, saya berpikir untuk membuang dadu, menentukan pilihan mana yang harus saya ambil, menyetujui tawaran pekerjaan dan absen saat gladi bersih, atau sebaliknya melanjutkan terus persiapan visualisasi dan melepaskan rejeki yang berada di depan mata. Berat bagiku untuk membuang pilihan, tapi seperti kata pepatah the show must go on, maka setelah melalui sebuah ‘proses’ saya memilih untuk mengikuti persiapan visualisasi. Memang ada perasaan yang sulit untuk dibahasakan saat saya membuang kesempatan melewatkan rejeki tetapi saya yakin bahwa suatu hari nanti pasti ada kesempatan untuk kedua kalinya, karena saya yakin bahwa Allah itu Maha Pengasih, apalagi pilihan yang saya tekuni demi kebesaran nama-Nya dan demi perkembangan iman umat-Nya, dan benar harapan saya kemudian menjadi kenyataan, dua minggu setelah visualisasi saya mendapat panggilan untuk bekerja dan rejeki yang saya dapat dari pekerjaan tersebut saya gunakan untuk kebutuhan saya mendaftar di salah satu universitas di Jakarta.

Sahabat-sahabatku, setiap pilihan dan akhirnya sampai pada saat anda memilih salah satunya selalu mengandung resiko dan keberuntungan. Keputusan apa pun yang kita ambil, itulah yang terbaik bagi kita; jangan disesali jika akhirnya kurang berhasil. Yang penting, berdoalah dulu kepada Tuhan, agar kita dibimbing-Nya dalam menentukan keputusan terbaik bagi kita.


Visualisasi: Ruang untuk berefleksi

Pada tanggal 5 April 2007, saya mendapat sebuah pesan singkat (SMS) dari salah seorang teman saya yang sedang menyelesaikan gelar sarjananya pada salah satu universitas swasta di kota gudeg, Yogyakarta. Pesannya berbunyi “ Setiap perbuatan baik yang kita lakukan dengan tulus kepada sesama adalah tabungan untuk diri kita sendiri...itulah cara bagaimana kita mengumpulkan poin...merayakan hidup dan menikmati hasil kesehatan jiwa dan raga...apa kataku tentang Yudas yang menjual Yesus hari ini? Perjamuan terakhir sebagai simbol saling mengasihi seumur hidup” hati terdalamku tersentuh selesai aku membaca pesan singkat yang dikirim oleh teman, pesan tersebut seakan mendapat pemenuhannya ketika pementasan visulisasi berlangsung, adegan demi adegan yang ditampilkan menghantar saya untuk masuk secara lebih mendalam ke alam refleksi, tentang penghianatan, ketakutan menghadapi kesulitan, kebohongan, pengorbanan, cinta yang tulus, dan lain sebagainya. Sejujurnya, pengalaman visualisasi sebenarnya mengangkat perilaku-perilaku manusia zaman sekarang, bila tak berlebihan saya mengatakan bahwa sebenarnya banyak dari kita turut menyalibkan Yesus, untuk yang kedua kalinya lewat tutur kata dan perbuatan kita setiap hari. Kalau kita mau terbuka, terkadang kita pun sama seperti Yudas, penghianat. Kita menghianati teman, guru, pasangan, orang tua dan Tuhan dengan membeberkan janji palsu. Kita juga terkadang seperti Petrus, penakut dan pembual yang mengaku setia namun menjadi ciut ketika bahaya menghadangnya. Atau kita juga pernah bersikap seperti Pilatus, selalu mencuci tangan, tak mau tahu dan tak ingin terlibat dalam maslah padahal sikap kitalah yang menjadi sumber masalah, mengambil keputusan tidak bijaksana dan diganti dengan prinsip ABS (Asal Bapa Senang) demi mempertahankan dan menaikan pamor kita dihadapan orang-orang, namun berapa orang yang dapat bersikap seperti Yesus, mencintai semua orang hingga mengorbankan diri-Nya untuk menanggung semua salah dan dosa yang telah kita lakukan. Yesus mengajarkan dan memberi teladan tentang arti sebuah cinta, cinta bukanlah cinta sebelum ia dilaksanakan. Saya akhirnya kembali teringat akan sepatah kalimat yang berbunyi siapa yang berani mencintai ia harus berani berkorban, apakah anda sudah siap untuk mencintai...??

Jika kita tanggap visualisasi bukanlah show atau lakon pada sebuah locus, visualisai lebih sebagai sebuah medium yang membawa anda dan saya ke dalam suatu ruang refleksi tentang sepak terjang kita di bumi ini dan bagaimana kita menata hidup menjadi kian indah baik bagi Tuhan, orang lain dan diri sendiri. Hal inilah yang saya temukan dalam visualisasi kali ini, ia (visualisasi) membawaku masuk ke dalam permenungan dan memberi ajaran moral bagi saya untuk mempercantik tutur kata dan perbuatan saya. Terima kasih...

ASTAGA KRISIS CINTA

Kita sedang mengalami krisis saat ini. Baik itu krisis Ekonomi, krisis politik maupun krisis cinta. Mungkin tanpa kita sadari eksistensi cinta menjadi ‘kebutuhan’ yang sangat langka kita jumpai sekarang dengan melihat situasi hidup kita saat ini. Silahkan kita tengok fenomena yang ada di luar sana, perang menjadi sebuah solusi yang efektif untuk menangani konflik, tawuran menjadi muara penyelesain masalah bagi para akademisi (bdk. Tawuran antar mahasiswa di Makassar dan di Jakarta), beberapa hari lalu dalam pemberitaan media elektronik seorang bapa di Bekasi tega mengendera anak kandungnya yang masih berada di bawah umur, masih banyak kasus lain yang membuktikan bahwa cinta kian tergerus dalam diri manusia. Dengan demikian teori filosofis Gabriel Marcel yang mengatakan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk yang mencinta tidak berlaku lagi saat ini, bahwasanya ketika cinta dipertemukan dengan naluri menguasai, keserakahan dan kepentingan pribadi, manusia rela menyantap sesamanya, manusia telah berubah wujud menjadi pemangsa yang mengerikan dan mengancam kehidupan orang lain. Hal ini pun diamini oleh Thomas Hobbes, seorang filsuf perintis aliran empiris modern, Hobbes mengatakan bahwa manusia pada dasarnya ingin menguasai yang lain dan akhirnya terciptalah perang antar sesama, karena yang lain pun ingin mempertahankan dan merebut kekuasaan lain, kekuasaan di luar diri atau kelompoknya, situasi seperti ini dinamakan Hobbes sebagai bellum omnes contra omnia, atau perang semua melawan semua. Dalam perang tesebut, manusia adalah serigala bagi sesamanya, homo homini lupus, yang saling memangsa dan menjadikan sesamanya korban.

Defisit nilai suatu cinta juga nampak dari sikap kita memperlakukan alam. Eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran tanpa dibarengi rasa tanggung jawab, kebiasaan nyampah, budaya konsumeristik yang memberi dampak negatif bagi keseimbangan alam serta kemajuan teknologi yang tak ramah linkungan menjadi indikator pupusnya rasa cinta dan penghargaan kita pada alam sehingga jangan heran bila alam pun pada akhirnya menjadi ‘buas dan mengamuk’ hingga manusia dibuat tak berdaya olehnya.

life is pain, life is fear,

and man is unhappy

now all is pain and fear.

Now man lives because he loves pain and fear

(Dostoevsky, Demons)

Ketakutan,kengerian,ratap tangis dan sembilu yang menyayat hati telah menyelimuti kehidupan kita dewasa ini. Tanda-tanda kehancuran kosmos (mikro maupun makro) telah hampir sampai pada tapal batas, inilah buah yang kita petik dari ketiadaan cinta di dalam diri kita. Dengan demikian benar apa yang dikatakan Ibu Teresa dari Calcuta bahwa “Kehancuran di dunia pertama-tama tidak disebabkan karena peperangan tetapi karena ketiaadaan cinta”.

Rabu, 28 Juli 2010

Andrea Hirata Bikin Saya "Gila"

images: www.andrea-hirata.com
Gila. Demikian yang bisa saya katakan usai membaca dwilogi terbarunya Andrea Hirata, Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas. Penyakit gila nomor satu, ketika Andrea "Ikal" Hirata bekerja sama dengan Penerbit Bentang meluncurkan 2 novel di atas dalam 1 selimut. Hal ini jarang saya temui, untuk  koleksi novel  saya pribadi tidak ada sama sekali yang bentuknya seperti itu (2 novel dalam 1 kemasan). Hal itulah yang membuat saya jatuh hati pertama kali membeli buku ini. Menarik, lucu, ngemesin, dan tergolong cukup murah untuk 2 novel yang menjadi satu ini. Saya mentaksirnya kalau 2 novel ini tidak disatupadukan harganya berkisar @Rp. 45.000-50.000, sementara untuk 2 karya ini Anda hanya mengeluarkan 76.000. Lebih hemat bukan? Selain penampilan, ada hal lain yang membuat saya memilih dan membeli buku pemuda Belitong itu saat Pesta Buku 2010 di Senayan. Selain dibubuhkan tanda tangan penulisnya sendiri, yang membuat buku ini menjadi lebih spesial, buku ini saya beli dari hasil jerih payah saya selama 6 bulan mengajar. "Lumayan untuk kenangan-kenangan di hari tua nanti," celetukku dalam hati. Lantas, apakah hanya alasan itu saja yang membuat saya membeli buku ini? Tidak. Bukan secara kebetulan saya membeli buku ini, bagi saya tulisan Ikal bagus, meskipun setiap karyanya bagi saya pribadi memiliki tegangan yang berbeda-beda. Karya yang sarat akan budaya, perjuangan/motivasi hidup, nilai-nilai religius, pendidikan, cinta, dan pengetahuan membuat saya tidak ragu-ragu membeli dan membaca buku ini. Ditambah 4 karya sebelumnya sudah mengisi rak koleksi novel pribadi di kamar saya. Jadi, bila melihat tapi tidak membeli karya terbarunya Ikal terasa masih ada yang kurang. Dan rasa itulah yang mengetuk-ngetuk hati saya untuk mendapatkan karya ini. Proficiat buat Andrea "Ikal" Hirata. Boi, karyamu ini sudah kubaca. Bagus kali kau menulisnya, Boi. Andaikan A Ling membacanya kujamin dia pasti terpesona. Untuk karyamu ini, tak usah kau pakai jasa detektif  M.Nur, Jose Rizal, Preman Cebol, dan Ratna Mutu Manikam. Dengan ini kau sudah bisa membuat A Ling berpaling dan jatuh pada pelukanmu. Terima kasih pula untuk Penerbit Bentang yang sudah membantu melahirkan karya fenomenal ini.

Penyakit gila nomor dua yang kurasakan ketika pemuda Belitong itu membuatku tertawa terpingkal-pingkal sendirian ternyata di Belitong itu ada detektif swasta sekaliber Sherlock Holmes atau spy layaknya James Bond. Tapi aku berani taruhan, bila membandingkan M.Nur (detektif Belitong) dengan Sherlock Holmes dan James Bond, aku pasang M.Nur. Tak ada detektif/mata-mata di belahan dunia mana pun yang bisa melatih seekor merpati layaknya pak pos, yang bisa pulang pergi mengirimkan surat dari tuannya kepada klien mereka. Detektif seperti itu hanya dijumpai di Belitong, dalam diri M.Nuh bersama merpatinya yang dinamai Jose Rizal. Kalau ada yang mengatakan "Itu khan hanya tokoh fiktif saja," saya akan menjawabnya, itulah kegilaannya Ikal, ia pandai mencari dan membuat tokoh ceritanya di luar frame pikiran manusia. Dan tokoh yang ia buat itu merangsang pembacanya menjadi kagum dan ingin bertemu dengan tokoh seperti itu, seperti ketika Ikal menampilkan tokoh Lintang, pasti banyak pembaca berharap bisa bertemu Isaac Neewton-mu itu, qui genus humanum ingenio superavit (dia yang jenius tiada tara). Ngomong-ngomong tentang Lintang, di karya terbaru ini, Andrea masih menampilkan tokoh Lintang dan tentu kegeniusannya. Hal itu tampak ketika Lintang secara matematis memecahkan konspirasi pemilihan lawan dalam pertandingan catur 17 Agustus.  

Karya ini juga membuat saya masuk dalam duka mendalam ketika Syalimah harus kehilangan Zamzami, suami yang sangat ia cintai. Zamzami, seorang suami yang sangat penyayang keluarga, tewas tertimbun tanah ketika mendulang timah. Padahal paginya Zamzami baru saja memberi kejutan kepada Syalimah sebuah sepeda yang lama ia rindukan namun tak ia utarakan kepada suaminya, karena pendapatan keluarga hanya cukup untuk membeli makanan dan sekolah anak-anak mereka. Padahal Syalimah sudah memiliki rencana bahwa malamnya ia, Zamzami, dan anak-anak mereka akan pergi ke pasar malam mengunakan sepeda itu. Namun, keinginan itu terkubur bersamaan dengan terkubur suaminya. Sepeninggalan Zamzami, banyak pria yang ingin menjadikan Syalimah sebagai istri, keluarganya pun mendukung dirinya untuk mendapatkan pengganti Zamzami, namun dengan tegas ia mengatakan bahwa selama hidupnya ia hanya mengenal satu cinta, dan cinta itu hanya ia dapatkan dari seorang pria yakni Zamzami, karena itu ia memutuskan untuk menjanda hingga akhir hayatnya. 

Selain tawa dan kesedihan, kisah dalam buku ini juga menonjolkan perjuangan hidup dan kesetaraan gender. Enong (Maryamah), anak dari Zamzami dan Syalimah, di usianya yang tidak muda lagi/lebih tua dari teman-temannya yang mengikuti kursus Bahasa Inggris, tidak canggung mengikuti kursus Bahasa Inggris agar ia bisa menguasai Bahasa Inggris, apalagi bila ia melihat kamus 1 miliar kata pemberian bapanya, ia berjuang melawan sesuatu yang tidak mungkin itu. 
Maryamah, demi membalas kebejatan suaminya, ia mengikuti turnamen catur di kampungnya. Catur, yang saat itu menjadi permainan dan pertandingan yang didominasi dan secara tak langsung dimiliki oleh kaum laki-laki berhasil ia jebol. Ia berhasil berhadapan dengan suaminya, selain itu ia juga berhasil membuka seluruh mata kaum laki-laki masyarakatnya, bahwa kaum perempuan juga berhak memainkan catur dan mengambil bagian dalam kompetisi catur yang dibuat saban 17 Agustus di kampungnya. 

Andrea "Ikal" Hirata, sudah membuat saya gila dengan karyanya ini. Gila yang sudah ia jangkiti kepada saya membuat saya berani untuk terus berjuang dalam hidup ini, bahkan meraih untuk sesuatu yang tidak mungkin sekali pun. Seperti tokoh Maryamah, dalam novel karya terbarunya ini. Sekali lagi, terima kasih Ikal. Terima kasih Bentang.




Jumat, 16 Juli 2010

Penjaga Warnet

       Waktu liburan semester ini, tak saya sia-siakan. Saya memanfaatkan waktu liburan ini dengan bekerja. Meskipun (hanya) sebagai penjaga warnet, saya merasa bahwa ini peluang yang sangat berharga. Saya bisa mendapatkan pengalaman, membayar uang transportasi ke kampus, dan yang terpenting saya bisa memperoleh banyak pengetahuan dari dunia maya. dan lagi aku bisa menghemat uang sakuku untuk membeli koran, karena  di warnet ini aku bisa mengunduh koran dalam versi e-paper gratis! Saya juga hampir tidak pernah absen berinterakis di jejaring sosial                                  
seperti facebook dan yahoo. sekedar memberi comment atau mengirim email.
       Selama sepekan di sini aku juga mendapat teman baru. mereka semua baik dan punya keterampilan, terutama di bidang informasi dan teknologi, dari mereka, aku pun mendapat pengetahuan tambahan. Kamu tahu?bahwa menjaga warnet merupakan impian saya, sebelumnya saya pernah berharap kalau suatu hari nanti saya bisa menjadi penjaga warnet dan akhirnya impian itu terwujud. Yah, semoga saya bisa bertahan terus di sini, karena di sini saya bisa mengatur jam kerja dan kesibukan pribadi saya, seperti kuliah, pertemuan di gereja, dan keluarga. Intinya agar saya terus bertahan di sini adalah kerja baik dan kesetiaan mencintai pekerjaan yang saya geluti ini. 
       Ada tantangan yang saya temui ketika hampir sepekan bekerja di sini. Tadi pagi usai menjaga warnet, saya kembali ke rumah. Ketika saya memarkirkan motor, ada seorang ibu yang bertanya, baru pulang pagi Yan? Entah apakah saya berpikir negatif dari pertanyaan itu atau tidak, tetapi yang saya rasakan bahwa dari pertanyaan ibu itu terbesit ada hal yang tidak baik. Hati saya langsung menyeletuk, "ngak lama lagi ibu itu akan menjadikan peristiwa ini sebagai gosip" dan benar ketika sore saya hendak berangkat ke warnet, di hadapan para ibu, ibu yang tadi pagi bertanya kepada saya langsung bernyanyi,"berangkat sore, pulang pagi lagi" ah persetan kataku dalam hati, aku hanya melemparkan senyum kepada ibu itu, dan tak lupa pamit dengannya. Saya juga tak memberi penjelasan kepadanya, biarkan dia sendiri belajar, jangan cepat menilai orang bila tidak tahu, apalagi tidak menanyakan latar belakang seseorang bertindak.


foto: http://www.google.co.id/imglanding?q=warnet&img

Senin, 26 April 2010

Berguru pada Seorang Jose Mourinho

Begitu susunan semifinalis Liga Champions (LC) diketahui, diantaranya Barcelona akan berhadapan dengan Inter Milan, banyak orang langsung memplot El Barca bakal medepak I Nerazzurri. Hal tersebut sangat beralasan sebab kiprah I Nerazzurri di musim ini tidak bisa dibilang istimewa. Saat menjamu El Barca di Giuseppe Meazza dalam penyisihan Grup F LC, Javier Zanneti cs hanya mampu menahan Charles Puyol cs dengan skor kaca mata (0-0). Dan ketika mereka bertandang ke Camp Nou-markas Barcelona, pasukan biru hitam itu harus pulang dengan kepala tertunduk setelah dilibas El Barca 2-0. Dengan demikian saat leg pertama semifinal LC mempertemukan kembali tim perwakilan Spanyol dan Italia, El Barca digadang-gadang bakal memperberat langkah I Nerazurri. Euforia publik Catalan kian meledak ketika Maxwell memberikan assist kepada Pedro Rodriques dan mengubah kedudukan menjadi 1-0 untuk El Barca. Namun kegembiraan itu hanya bertahan beberapa menit saja ketika Wesley Sneijder melesakan bola ke sudut kanan gawang yang tak mampu dijangkau kiper Victor Valdes. Skor menjadi imbang 1-1 hingga turun minum.
Babak kedua mulai bergulir, El Barca meningkatkan daya serang, namun langkah Lionel Messi cs nyaris tak sampai memasuki kotak penalti. Pergerakan Xavi Hernandes sebagai dirigen pengatur irama serang El Barca tak bisa bekerja secara optimal. Bahkan sang dewa-julukan Messi-yang banyak diharapkan bisa membuat ‘mukjizat’ tidak mampu berkutik. Tendangan keras La Messiah memang sempat membuat jantung melonjak tetapi tendangan itu mampu dimentahkan kiper Julio Caesar yang penampilannya sangat gemilang pagi itu. Keberanian Pique meninggalkan ‘sarangnya’ dan melesak ke wilayah Caesar memang sempat menghantui Kiper asal Brasil itu namun aksinya itu tak berbuah manis. Alih-alih El Barca merubah kedudukan justru Interlah yang kembali mempercundangi mereka dengan dua gol lewat kaki Maicon dan heading Diego Milito. Kemenangan 1-3 atas Barca membuat Internisti-julukan fans Inter Milan berpesta.
Tidak sedikit orang yang kecewa dan sedih ketika menyaksikan fakta Inter berhasil melibas sang juara Champions musim lalu. Tapi itulah sepak bola. Dalam pengantar penerbit Catatan Sepak Bola-nya Sindhunata, penerbit buku Kompas mengungkapkan di dalam sepak bola kita dapat melihat dan merasakan tragedi, komedi, ketabahan untuk menerima kegagalan, tekad dan keberanian untuk meraih kemenangan. Sepak bola memang membawa tawa. Tetapi sepak bola juga yang membawa tangis. Dan hal itu terbukti ketika para fans Barca menangisi dan menyesali kekalahan tim kesayangan mereka.
Terlepas dari kabut duka yang menghantar kepulangan anak-anak Josep “Pepp” Guardiolla menuju Catalan. Kita patut mengacungi dua jempol untuk allenatore (Italia, Pelatih) Jose Mourinho. Mou-demikian sapaannya kian membuktikan dirinya sebagai seorang pelatih berkelas. Pelatih asal Portugal ini punya curriculum vitae menawan. Dia pernah berhasil membawa tim non-unggulan seperti FC Porto menjuarai Liga Champions musim 2003-04 dan membawa Chelsea melangkah hingga semifinal musim 2004-05. Dan pertandingan dini hari itu kembali menunjukkan jati dirinya sebagai pelatih besar. Disaat banyak publik pencinta bola menjagokan El Barca, Mou tetap optimistis anak asuhnya bisa menjadi juara “Kami telah mencapai babak semifinal dengan cara yang pantas. Tim ini juga memiliki keyakinan dan kapasitas yang mampu mendorong kami untuk menjadi juara,” ujar Mou.
Sang entrenador (Spanyol, Pelatih) Barcelona, Pepp Guardiolla pun mengakui Mou sebagai seorang pelatih yang pintar, jenius. Kepintaran dan kejeniusan seorang Mou tampak ketika ia mengatur anak-anaknya membatasi ruang gerak Xavi dan Messi. Terbukti, kedua pemain itu dibuat mati kutu oleh para defender I Nerrazurri. Kecerdasan Mou juga mengalir dalam diri Sneijder. Mou mengakui langsung peran penting Sneijder. Dia (Mou) bahkan menyebut lebih baik kehilangan satu penyerangnya daripada kehilangan Sneijder. Itulah sebabnya mengapa Mou merasa heran dan mengatakan Madrid sebagai tim aneh karena menyia-nyiakan bakat besar Sneijder dan begitu mudah membuangnya. "Kami bergantung kepada Wesley Sneijder. Tak ada keraguan mengenai hal itu. Ia memiliki gaya yang unik untuk skuad kami. Tanpanya, kami akan menjadi tim yang berbeda. Aneh, pemain yang penting bagi kami hanya menghangatkan kursi cadangan di Real Madrid," ulas Mourinho.
Kemenangan Inter Milan atas Barcelona bisa dikatakan sebagai kesuksesan seorang Mourinho sebagai seorang panglima untuk anak-anaknya di medan perang bernama sepak bola. Lantas, pesan apa yang bisa kita pelajari dari seorang allenatore berjuluk The Special One itu?
Pertama, seorang pemimpin adalah seorang pengatur strategi dan rencana yang handal. Namun strategi dan rencana itu bakal gagal bila tidak ada yang mengoperasikannya. Strategi untuk mengunci celah Messi berakselerasi dan menghentikan umpan Xavi tidak akan tercapai tanpa perjuangan para pemain belakang Inter. I Nerazurri mungkin juga tidak bisa bermain cantik hingga mampu mengungguli El Barca andaikata tak ada seorang Sneijder yang membangun dan mengatur serangan.
Menurut buku Sun Tzu: War and Management, yang dikutip Sindhunata menyatakan, setiap perusahaan (organisasi, pen) masa kini mutlak perlu mempunyai manajer (pemimpin) yang mempunyai sifat seperti panglima jempolan di atas. Perusahaan-perusahaan modern (organisasi) bisa saja membuat pelbagai strategi atau rencana yang baik dan tepat. Namun, rencana itu akan sia-sia tanpa pelaksana yang mampu mengoperasikannya (Sindhunata: 2002).
Kedua, seorang panglima harus mengetahui kemampuan (bakat/talenta) setiap pasukannya. Selain itu panglima juga harus bisa memberi motivasi untuk para serdadunya. Usaha tersebut untuk tetap mengobarkan semangat, daya juang, dan bahkan melahirkan dan mengasah kemampuan para serdadunya itu. Hal tersebut bisa kita pelajari dari optimisme yang dibangun Mourinho serta mengangkat martabat Sneijder sebagai pemain buangan Real Madrid dan menempatkannya sebagai pemain kunci merealisasikan salah satu strategi dan rencananya. Dan itu sudah terbukti, El Barca menjadi tumbal kejeniusan seorang Mourinho. Tunggu apa lagi? Mari kita berguru pada seorang panglima Mourinho dalam medan pertempuran bernama sepak bola.

Mahasiswa: Perjuangan Mempertahankan Idealisme, Suara Hati, atau Perut?*

Alkisah, di wilayah Makedonia pernah dipimpin oleh seorang raja bernama Philipus. Ketika Philipus sedang membangun Makedonia, beliau selalu dihantam kritik pedas oleh seorang ahli pidato kawakan waktu itu. Namanya Demosthenes.
Dalam sebuah kesempatan, Demosthenes menulis sebuah pidato (Philipika) yang menyerang Philipus secara langsung. Dalam pidatonya itu ada penggalan yang menarik perhatian Philipus, demikian bunyinya, “Saya nyatakan dia (Philipus) sebagai musuh kita. Sebab segala perbuatannya hingga kini hanyalah menguntungkan dia dan merugikan kita.”
Kalimat Demosthenes yang tegas itu merupakan ajaran patriotis kepada segenap rakyat Athena supaya bisa mengangkat senjata melawan Philipus. Marahkah Philipus? Tidak. Hanya putranya, Alexander Agung (kaisar yang kemudian tersohor namanya), yang saat itu masih “bau kencur” politik menjadi geram. Alexander merasa ayahnya yang disegani di seluruh negeri sudah ditelanjangi oleh Demosthenes.
Philipus yang terkenal licik dan cerdik itu tenang-tenang saja menghadapi putranya yang sedang terbakar api amarah. Hebatnya lagi, Philipus dihadapan Alexander menempatkan Demosthenes sebagai seorang pejuang yang bersusah payah hendak mencapai dan mewujudkan sebuah cita-cita. Philipus menyebut cita-cita itu kedaulatan rakyat atau demokrasi.
Philipus tidak kehabisan akal. Dia lalu mengundang Demosthenes untuk berbicara di hadapannya dan rakyat banyak. Surat undangannya berisi demikian,”Saya mengundang Anda untuk berbicara di hadapan saya di Pella (Metropol Makedonia). Waktunya terserah Tuan. Saya jamin, Tuan bisa kembali ke Athena dengan selamat.”
Demosthenes memenuhi undangan Philipus. Ia berangkat menuju Pella. Namun, apa yang terjadi? Demosthenes yang begitu lugu dan jauh dari tahta kemewahan kerajaan mengalami keterpesonaan dangkal melihat sambutan luar biasa yang sengaja diperagakan Philipus untuk meruntuhkan mental dan daya nalarnya. Di tengah kemewahan dan kemegahan itu, Demosthenes seperti orang yang kehilangan lidahnya. Ia seperti bukan layaknya seorang ahli pidato yang patut disegani (Max Regus: 98-99).

Kisah Demosthenes memberi pelajaran agar seorang cendekiawan (baca: mahasiswa) berhati-hati terhadap strategi penguasa untuk meruntuhkan mental, daya kritis, serta membungkam seruan perubahan dan perbaikan masyarakat. Selain itu, Demosthenes juga bisa menjadi sebuah representasi mahasiswa yang awalnya begitu membenci dan vokal mencongkel borok penguasa seperti perilaku korup akhirnya tunduk menyerah termakan rayuan materi dan posisi. Dan secara serentak lahirlah kader-kader koruptor yang bakal mewarisi budaya tersebut. Bila hal tersebut terjadi pupuslah harapan memutuskan cengkraman gurita korupsi di negeri ini.
Dalam tulisan ini, penulis ingin menjawab persoalan dari mana tumbuhnya akar korupsi? Serta bagaimana upaya melepaskan lilitan korupsi itu? Goresan ini berangkat dari perspektif penulis sebagai seorang mahasiswa dan ditujukan bagi rekan-rekan mahasiswa yang masih setia memegang teguh idealisme mereka menciptakan pemerintahan dan kehidupan yang bebas dari korupsi.

Perjuangan Melawan Korupsi
Peran serta mahasiswa dalam membangun pemerintahan yang baik (good government) tak bisa disepelekan. Terbukti sedikitnya tiga kali mahasiswa rela meninggalkan sarangnya (kampus) sebagai seorang intelektual dan turun ke jalan sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat dan bersama rakyat meneriakan dan menumbangkan pemerintahan yang korup.
Pertama, pergerakan mahasiswa tahun 1970-1974. Aksi para cendekiawan muda rentang tahun tersebut mencapai klimaks dengan kecaman atas keadaan sosial. Keprihatinan yang muncul di kalangan mereka mengenai korupsi yang menciptakan jurang yang dalam antara golongan kaya dan miskin akibat pembangunan bercorak kapitalis. Mereka juga mengkoreksi pengaruh Jepang yang kuat dalam perekonomian di Indonesia serta memprotes para pejabat tinggi pemerintahan yang dianggap menerima suap dari kalangan pemerintah Jepang. (bdk. A. Atapunang: 20).
Kedua, tahun 1998. Mahasiswa bersama rakyat bahu membahu melengserkan Soeharto bersama kroni-kroninya yang lekat dengan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Gerakan massa juga lahir menentang sistem pemerintahan yang represif dengan didukung kekuatan militer yang kental dengan bau militeristik. Namun lahir pertanyaan, apakah semenjak jatuhnya Soeharto setelah 32 tahun berkuasa, dan bergulirnya bola reformasi yang menuntut pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, Indonesia sudah bebas dari malapraktek pemerintahan? Belum! Buktinya, beberapa bulan lalu kita masih menjumpai aksi mahasiswa yang berdemonstrasi menuntut agar masalah korupsi segera dituntaskan.
Ketiga, 28 Januari 2010. Bertepatan dengan 100 hari pemerintahan SBY-Boediono, ribuan orang dan di antaranya para mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi menggelar aksi demo dengan tujuan bersama membersihkan Indonesia dari praktik korupsi dan mengganti sistem pemerintahan yang tidak berpihak kepada rakyat dan pro modal asing. Selain itu, penuntasan hukum skandal Bank Century menjadi bagian agenda aksi massa di atas.

Antara Idealisme, Moralitas, dan Urusan Perut
Rentetan peristiwa di atas membuktikan bahwa mahasiswa memiliki kekuatan untuk menjebol tembok kekuasaan yang menindas rakyat sehingga mereka diberi gelar pencipta sejarah. Dalam kata-kata Sindhunata, mahasiswa adalah “subjek dan kekuatan sejarah”. Mahasiswa menjadi inisator perubahan dan pembaruan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan ide segar dan tanpa kenal kata menyerah, mahasiswa selalu tampil di garis terdepan menyuarakan perubahan. Arif Budiman mengibaratkan mahasiswa seperti seorang resi menurut konsepsi budaya politik sosial Jawa. Resi, menurut Arif adalah seorang tokoh spiritual yang tidak memiliki kepentingan duniawi. Mereka melancarkan kritikan serius dan agresif, meramalkan kebobrokan serta memberi peringatan bahwa kerajaan akan runtuh (Aswab Mahasin: 148). Benarkah ada kesesuaian antara pernyataan Arif Budiman dengan realitas saat ini? Bila kita ingin jujur, ada mahasiswa (resi) yang pada akhirnya terlibat dalam politik formal. Timbul pro kontra dalam masalah tersebut. Namun, yang terpenting di sini adalah mereka harus bisa menjaga idealisme dan moralitas. Agar tidak mengingkari perjuangan mereka sendiri dan demi tegaknya pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi. Bila pada saatnya terbukti perjuangan dan seruan mereka tidak lebih dari sekedar omong kosong dan opurtunis demi menarik simpati rakyat dan memuluskan ambisi mereka meraih kekayaan dan kekuasaan, maka tepatlah apa yang diisyaratkan Edward Shills dalam tulisannya berjudul Cendikiawan dalam Perkembangan Politik. Shills menandaskan,”Perubahan dari kaum cendikiawan ketika berkuasa membuka tabir mentalitas oposisi yang dualis. Kebencian terhadap kekuasaan tidak lebih dari pesona yang ditimbulkannya. Cendikiawan yang tadinya membenci, bila berkuasa segera berdamai dengan kekuasaan. Mereka menempelkan pada dirinya tanda-tanda kebesaran dari kekuasaan dan merasa bahwa mereka identik dengan negara. Sedangkan waktu perjuangan untuk kemerdekaan merasa bahwa mereka mewakili bangsa, tetapi sekarang ketika mereka berkuasa, mereka menganggap dirinya identik dengan negara dan semua orang yang tidak setuju dengan mereka dianggap musuh negara.” Sehingga tak heran muncul ungkapan, ketika dulu masih mahasiswa pertahankan idealisme, tapi ketika bekerja pertahankan perut. Jadi jangan heran bila korupsi masih terus bercokol di bumi ini, bila harga sebuah idealisme dan suara hati bisa dibeli dengan materi dan jabatan demi mempertahankan perut untuk selalu terus terisi.

Dosa-Dosa Korupsi
Praktek korupsi di Indonesia sudah kian menggurita. Artinya, praktek tersebut diaktori mulai dari para petinggi pemerintahan hingga pegawai rendahan. Bukan hanya itu saja, korupsi kini sudah seperti dewa baru, disembah dan memiliki banyak pengikutnya. Mungkin karena korupsi menjanjikan cara hidup instan untuk mendulang kekayaan, ketimbang harus bekerja membanting tulang selama beberapa puluh tahun yang hasilnya pun belum bisa dipastikan. Namun, mereka yang melakukan tindakan tersebut menegasikan hakekat yang melekat pada dirinya sebagai seorang manusia yang dibekali tidak hanya naluri (insting) semata tetapi juga budi dan suara hati. Bila manusia hanya ingin memuaskan nalurinya, sementara itu mengabaikan peranan budi (nalar) dan suara hatinya maka manusia tersebut kehilangan keutamaannya dan tidak patut dianggap sebagai seorang manusia, tetapi lebih tepatnya seekor binatang. Budi serta suara hatilah yang membuat manusia tahu membedakan mana yang baik dan jahat, tindakan apa yang bisa mereka lakukan serta tindakan mana yang harus mereka jauhi. Keutamaan-keutamaan itulah yang tidak dimiliki makhluk ciptaan lain.
Korupsi apa pun bentuk dan caranya, siapa pun pelakunya harus dikatakan salah secara definitif. Fritz Fios, dalam tulisannya berjudul Korupsi: Bukti Penjajahan Naluri Atas Nurani, menandaskan bahwa korupsi dikatakan salah karena melanggar dan melawan tigas buah institusi penting. Pertama, melawan institusi internal (nurani murni). Pada dasarnya nurani murni atau suara hati itu tidak salah. Suara hati merupakan kompas moral, malahan dianggap sebagai suara suci dari Tuhan. Suara hati senantiasa mengarahkan manusia untuk berbuat baik dan bertindak benar. Berhadapan dengan tawaran uang, manusia cepat tergoda untuk mengikuti naluri (insting). Konsekuensi logis, pilihan tindakan manusia keliru dan salah. Pada titik ini tindakan manusia menjadi asimetris dalam posisi yang melawan suara hati (nurani).
Kedua, melawan institusi sosial. Institusi sosial di sini lebih dimengerti sebagai ‘sesama’ atau ‘orang lain’. Dengan melakukan korupsi manusia memeras dan menipu. Perbuatan ini jelas mendatangkan kerugian bagi orang lain. Di sini manusia berlaku tidak adil terhadap sesamanya. Maka tindakan korupsi merupakan pengkhianatan dan pembunuhan atas hak milik sesamanya.
Ketiga, melawan institusi normatif (undang-undang). Korupsi terkategori sebagai tindakan pidana menurut undang-undang. Karenanya korupsi melanggar tatanan normatif yang berlaku. Institusi normatif bertujuan menjamin dan melindungi hak-hak individu maupun kelompok. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bahkan telah mencantumkan beberapa pasal tentang tindak pidana korupsi. Hal ini dinyatakan secara lebih jelas, misalnya dalam KUHP pasal 419, pasal 420, dan pasal 425 yang memvonis hukuman bagi oknum yang melakukan korupsi serta lamanya hukuman yang harus dijalani (Al. Atapunang: 53-54).
Beberapa Solusi Alternatif
Kita harus mengakui bahwa kasus korupsi di Indonesia sangat sulit untuk dihapuskan. Buktinya arus demonstrasi menuntut agar kasus ini segera dihapuskan hingga saat ini masih terdengar santer. Hadirnya lembaga independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sempat membersitkan harapan bahwa korupsi akan segera raib dalam budaya bangsa ini. Hal tersebut terbukti dari banyaknya para pejabat pemerintahan serta para penegak hukum yang di-bui-kan karena kedapatan tangan melakukan tindakan tersebut. Namun asa tersebut kini mulai mengendor ketika ada dugaan usaha pengkerdilan KPK dengan ditangkapnya dua pimpinan KPK, Bibit dan Chandra, meskipun pada akhirnya kedua pimpinan itu dibebaskan. Bukan hanya itu, bila dulu KPK leluasa menyadap telepon selular (hp) target mereka tapi kini aksi tersebut harus sepengetahuan menkoinfo. Dan terakhir, banyak masyarakat kini mengeluh dengan kinerja KPK yang terkesan lamban dalam menuntaskan kasus skandal Bank Century. KPK kini diklaim sudah hampir kehilangan taringnya.
Menghilangnya korupsi dari tengah masyarakat adalah suatu hal yang mustahil. Hal serupa juga diamini T.B. Silalahi. Ia mengatakan, “untuk menghilangkan korupsi tidak mungkin, kecuali mengurangi atau meminimalisirnya” (Pos Kupang: 11). Tetapi ada titik terang yang masih bisa ditempuh untuk mengurangi atau meminimalisir perilaku korupsi yakni pertama, optimisme dan komitmen setiap pribadi untuk menjaga agar idealisme perjuangan, budi (nalar), dan suara hati tetap bersih. Setiap pribadi secara khusus mahasiswa dituntut harus selalu sadar dan menjaga ideologi perjuangan mereka dalam memberanguskan praktek korupsi di negara ini. Tidak terlalu penting bila nanti akhirnya mereka bertengger di kursi pemerintahan atau tidak. Yang terpenting harus memegang teguh visi perjuangan mereka selama ini. Bersamaan dengan itu, mahasiswa juga dituntut harus kritis dan cerdik menghadapi berbagai strategi yang bisa menarik mereka melakukan praktek serupa. Di sini suara hati memegang peranan penting. Perilaku korupsi bisa diatasi bila setiap individu menempatkan suara hati dalam bertindak dan membuat pilihan. Sebab suara hati menentukan pilihannya pada nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Korupsi tidak sampai terjadi bila setiap manusia menghormati suara hati mereka masing-masing.
Kedua, pendidikan karakter. Universitas bertanggung jawab untuk menumbuh kembangkan soft skill mahasiswanya. Selama ini bila kita ingin jujur soft skill kurang mendapat tempat dalam pendidikan di universitas. Nilai-nilai kehidupan seperti kejujuran, ketekunan, menghormati, dan peduli sesama justru sering kali harus mengalah dari ilmu ekonomi, akuntasi, hukum, dan sebagainya. Akibatnya, keberhasilan mahasiwa diukur dari berapa besar nilai atau index pretasi (ip) yang mereka peroleh, tetapi kita lupa menanyakan atau malas mencari tahu bagaimana prosesnya hingga mereka bisa mendapat nilai atau index prestasi seperti itu. Selain itu, apakah ilmu yang sudah mereka dapatkan bisa mereka aplikasikan dan bertujuan membangun kebaikan bersama? Penting diingat, pendidikan pertama-tama tidak bertujuan untuk membuat orang cerdas, tetapi yang utama semakin memanusiakan manusia. Kecerdasan memang dibutuhkan. Tetapi bukanlah yang utama. Apalah artinya kepintaran bila hal itu digunakan untuk menipu orang lain. Karena itu, kecerdasan harus diimbangi dengan suara hati yang jernih dan bersih agar hidup menjadi suatu berkah bagi sesama.
Ketiga, mengoptimalkan undang-undang, peranan penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim), serta KPK. Salah satu kegagalan kita memberantas korupsi di negara ini adalah berlakunya undang-undang atau hukum ‘karet’. Benar seperti yang sudah dikemukan di atas bahwa, masalah korupsi dan putusan untuk para pelakunya sebenarnya sudah ada di dalam undang-undang kita. Permasalahannya, undang-undang tersebut kurang bisa diafirmasikan secara tegas oleh para penegak hukum di negara ini. Ibarat sebuah karet, dengan kebesaran uang undang-undang bisa dengan mudah ditarik sesuka hati demi meloloskan koruptor kelas kakap. Sementara, untuk rakyat kecil seperti nenek Mina, yang hanya mengambil kakao jatuh dari pohon milik tetangganya, harus pasrah menjalani proses hukum dan merasakan dinginnya lantai penjara. Berbeda dengan kasus skandal Bank Century, yang telah merugikan negara hingga 6,7 triliun, kabarnya kini seperti benang kusut dan tak tahu kapan berakhir dengan membawa kesimpulan. Lamanya penanganan masalah tersebut ada dugaan bahwa skandal tersebut melibatkan para petinggi negara ini. Singkat kata, undang-undang atau hukum di negara kita masih terkesan tebang pilih. Optimalisasi KPK juga perlu diperhatikan. Salah satunya membuang peraturan yang mengharuskan proses penyadapan terlebih dahulu mendapat persetujuan menkoinfo. Bila KPK merupakan salah satu lembaga independen maka biarkanlah lembaga tersebut bekerja secara independen.
Hingga saat ini rakyat Indonesia masih menanti sebuah impian bisa hidup di negara yang bebas dan bersih dari virus-virus korupsi. Jangan biarkan harapan tersebut memudar dan menaburkan benih-benih apatisme serta kebencian kepada para penyelenggara ini bila tidak ingin gelombang demonstrasi yang lebih besar dari peristiwa 98 terjadi di bangsa ini.

*Tulisan ini pernah diikutsertakan dalam lomba essai di Politeknik Negeri Jakarta, Universitas Indonesia, awal Maret 2010.

Bibliografi

Atapunang, Al (Peny.). KKN dan Perjuangan Mahasiswa. Maumere: STFK Ladalero, 2000.

Mahasin, Aswab dan Ismed Natsir (Eds.). Cendikiawan dan Politik. Jakarta: LP3S, 1983.

Pos Kupang, 18 Juni 1997

Regus, Max. Sketsa Nurani Anak Bangsa. Jakarta: Obor, 2004.

Senin, 13 Juli 2009

KRISTOLOGI FEMINIS

Ludwig Feurbach , dalam sebuah tesisnya mengungkapkan bahwa Teologi adalah antropologi . Artinya, teologi semata-mata proyeksi kualitas manusia kepada Yang Ilahi. Kualitas-kualitas yang melekat pada Yang Ilahi merupakan atau bersumber dari kualitas manusia sendiri. Jadi bila manusia mengatakan Yang Ilahi baik hal tersebut muncul karena kualitas kebaikan ada pada manusia, atau bila manusia mengatakan bahwa Yang Ilahi itu penyayang karena memang rasa sayang juga terdapat atau dimiliki manusia.
Kita harus mengakui bahwa Teologi selama ini didominasi oleh laki-laki. Medan wacana Teologi dikuasai laki-laki dan terbatas bagi perempuan. Apabila ruang wacana teologi dikuasai laki-laki, maka sesuai dengan argumen Ludwig Feurbach maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pertama, penafsiran terhadap Yang Ilahi disarati kepentingan laki-laki dan kedua, kualitas yang diproyeksikan kepada Yang Ilahi adalah kualitas laki-laki, hal tersebut kemudian memberikan ekses, pertama pencitraan Yang Ilahi sebagai sosok maskulin dan yang kedua pembacaan Kitab Suci melegitimasi posisi subordinat kaum perempuan.
Hal seperti itu memancing reaksi keras dari para teolog feminis yang ingin mengoreksi gambaran Yang Ilahi dengan sifat-sifat patriarkal dan sebagai pria. Selain itu para teolog feminis ingin membaca dan menafsirkan Kitab Suci dalam terang pengalaman perempuan. Dengan demikian mereka ingin mengimbangi dan mengatasi Teologi yang selam ini hampir secara eksklusif diciptakan oleh pria dan dalam perspektif serta latar belakang pengalaman pria.

Teologi (Pembebasan) Feminis
Teologi memiliki sikap kritis berhadapan dengan aneka bentuk tindakan manusia yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia . Sebagai salah satu contoh, lahirnya Teologi Pembebasan di Amerika Latin dipicu oleh situasi kemiskinan yang dialami masyarakat setempat. Situasi seperti ini paradoks dengan khotbah tentang hidup Kerajaan Allah yang mana kehadiran Yesus ke tengah dunia merupakan revelasi Allah menegakkan keadilan dan kesejahteraan seluruh dunia dengan mengangkat orang-orang yang paling hina. Oleh sebab itu, kehadiran Teologi Pembebasan ingin membangkitkan kesadaran manusia kepada gambaran Yang Ilahi dalam karya menghapuskan penindasan.
Ciri-ciri yang menandai Teologi Pembebasan secara keseluruhan juga hampir sama menandai Teologi (Pembebasan) Feminis. Teologi ini muncul dari pengakuan akan penderitaan suatu kelompok khusus yang tertindas, yakni kaum perempuan. Situasi tersebut menggerakan sejumlah teolog feminis untuk bangkit dan meneriakkan sebuah situasi yang bertentangan dengan kehendak Allah. Tujuan berteologi ini tidak hanya memahami makna tradisi iman, tetapi juga mengubah tradisi (dominasi patriarkat). Tujuan lanjut dari teologi ini bukan melakukan diskriminasi sebaliknya, yaitu perempuan mendominasi laki-laki, seandainya hal tersebut terjadi, maka masalahnya akan sama saja akan tetapi Teologi ini menuntut setiap orang dengan hak-haknya sendiri ikut berpartisipasi menurut bakatnya, tanpa stereotip-stereotip tertentu, dan saling memberi dan menerima satu sama lain. Visi yang membimbing Teologi Feminis ialah visi suatu masyarakat manusia yang baru yang berdasarkan pada nilai-nilai saling menghargai dan timbal balik (laki-laki dan perempuan). Metode yang diterapkan oleh Teologi (pembebasan) Feminis adalah menganalisis situasi, menyelidiki tradisi untuk mencari apa yang ikut ambil bagian dalam menciptakan penindasan, dan menyelidiki lagi untuk mencari apa yang membebaskan serta menghasilkan penghargaan yang baru mengenai makna Yesus Kristus bagi kaum perempuan.
Reaksi kaum feminis atas situasi penindasan dan ketidakadilan dalam struktur masyarakat melahirkan 2 (dua) jenis aliran Teologi Feminis yaitu Teologi Feminis Revolusioner dan Teologi Feminis Reformis. Teologi Feminis Revolusioner diciptakan oleh kaum perempuan yang setelah menyelidiki tradisi Kristiani mengambil kesimpulan bahwa tradisi itu didominasi oleh kaum laki-laki dan menyatakan bahwa tradisi itu tidak dapat memberikan harapan perbaikan. Kaum perempuan dalam aliran Teologi ini biasanya memeberikan suara dengan hentakkan kaki dan meninggalkan Gereja. Mereka membentuk kelompok-kelompok untuk berdoa dan beribadat bersama-sama. Kelompok ini menganggap persaudarian adalah nilai yang besar dan mereka menyebut Allah dengan panggilan Dewi . Hal tersebut menandasakan bahwa Teologi Feminis Revolusioner tidak tertarik kepada Teologi Katolik dan refleksi tentang Yesus Kristus. Sedangkan aliran Teologi Feminis Reformis , sekalipun sependapat dengan aliran Teologi Feminis Revolusioner bahwa tradisi Kristiani telah didominasi kaum laki-laki, mereka masih melihat alasan untuk tetap berharap bahwa tradisi Kristiani dapat diubah, sebab tradisi itu juga mengandung unsur-unsur pembebasan yang kuat. Namun perbedaan antara Teologi Feminis Revolusioner dengan Teologi Feminis Reformis nampak dalam reaksi yang mereka lakukan. Teologi Feminis Reformis tetap tinggal di dalam Gereja dan berusaha mengadakan perubahan. Para teolog aliran ini mengunakan model pembebasan dalam arti mereka mengusahakan pelucutan patriarki dan keadilan yang sama terutama bagi orang-orang yang terampas dan tertindas.

Menggali Akar Permasalahan
Pada bagian terdahulu telah disebutkan mengenai metode yang diterapkan dalam Teologi (Pembebasan) Feminis yakni menganalisis situasi, menyelidiki tradisi untuk mencari apa yang ikut ambil bagian dalam menciptakan penindasan, dan menyelidiki kembali tradisi untuk mencari apa yang membebaskan kaum perempuan dalam cengkraman dominasi partriarkal. Ketiga langkah di atas akan diterapkan dalam menggali akar permasalah yang tumbuh di permukaan.
Langkah pertama dalam metode Teologi (Pembebasan) Feminis adalah menganalisis situasi. Pendekatan ini penting agar kita dapat mengetahui sebab musabab lahirnya negasi terhadap kaum perempuan dan peranannya dalam tradisi Kristiani. Berdasarkan analisis terhadap situasi yang menimpa kaum perempuan adalah karena faktor seksisme.
Seksisme seperti halnya rasisme bermuara pada penggolongan manusia, penentuan peranan-peranan tertentu dan mengingkari hak-hak orang-orang tertentu atas dasar ciri-ciri fisik. Rasisme memandang orang-orang tertentu lebih rendah martabatnya atas dasar warna kulit atau warisan budaya dan dengan gigih berusaha keras membatasi orang-orang kulit berwarna dalam ‘keranjang’ yang sudah ditakdirkan, demikian halnya atas dasar jenis kelamin, seksisme memandang kaum perempuan pada hakikatnya lebih rendah harga dirinya sebagai manusia daripada kaum laki-laki dan berusaha dengan sekuat tenaga untuk membatasi kaum perempuan dalam ‘kandang’ mereka sendiri. Dalam kedua paham tersebut, ciri-ciri fisik dipandang sebagai yang menentukan hakikat manusia, sehingga martabat luhur pribadi manusia dilanggar.
Seksisme menampakkan dirinya dalam 2 (dua) cara. Pertama, pola struktural sehingga kaum perempuan berada dalam genggaman laki-laki. Pola ini menjadikan laki-laki sebagai pusat, pemimpin, dan penguasa sementara perempuan dimarjinalkan. Pola tersebut kemudian dikenal dengan istilah patriarki . Pola penampakan seksisme yang kedua adalah mengangkat kemanusiaan laki-laki dan menjadikannya sebagai norma untuk semua orang. Pola ini dikenal dengan istilah androsentrisme. Cara berpikir androsentrik mengklaim bahwa kemanusiaan itu berpusat pada laki-laki dewasa. Perempuan dipandang sebagai manusia bukan menurut kedudukannya sebagai manusia kelas dua, kedudukannya berasal dari dan bergantung pada laki-laki. Pola pikir androsentrik dan patriarkal telah merasuki kehidupan masyarakat dan Gereja. Hampir semua teolog laki-laki yang berpengaruh dalam tradisi telah berpikir menurut pola tersebut, sebutlah Tertulianus, Augustinus, dan Paulus. Salah satu surat Paulus kepada Timotius berbunyi demikian “Aku tidak mengijinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengijinkannya memerintah laki-laki; Hendaknya ia berdiam diri. Karena Adam yang pertama dijadikan, kemudian barulah Hawa. Lagipula bukan
Adam yang tergoda, melainkan perempuan itulah yang tergoda dan jatuh ke dalam dosa” (bdk. 1 Tim. 2:11-14). Seksisme dengan struktur patriakalnya dan pemikiran androsentriknya telah membuat perempuan mengalami penderitaan yang sistematis.
Dalam tradisi klasik, Augustinus dan masyarakat umumnya berpendapat bahwa kesombongan adalah dosa asal yang menyebabkan manusia jatuh dalam dosa. Para teolog feminis berpendapat bahwa itu (mungkin) ada benarnya untuk laki-laki, namun untuk perempuan lebih besar kemungkinannya dosa asal timbul sebagai bentuk hilangnya pusat, buyarnya kepribadian, kurangnya kesadaran diri sehingga orang hanyut atau tidak tentu arah. Di sisi lain, seksisme juga merendahkan laki-laki, laki-laki biasa mengembangkan kemanusiaannya secara sempit (menjadi kuat, rasional, menguasai). Laki-laki juga tidak boleh mengembangkan kemanusiaannya dalam semua dimensinya, kita semua terkungkung dalam stereotip-stereotip.
Teologi Feminis telah mengembangkan sebuah kriteria atau prinsip kritis untuk menilai sistem seksisme. Menurut rumusan Rosemary Radford Ruether, prinsip itu adalah nilai kemanusiaan sepenuhnya kaum perempuan yang merunjuk kepada Gaudium et Spes, 29 tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini. Apa pun yang memampukan nilai ini tumbuh dan berkembang bersifat menebus dan berasal dari Allah; apa pun yang mengerdilakan nilai ini bersifat tidak menebus dan bertentangan dengan kehendak Allah. Dengan mengingat hal ini maka seksisme sendiri dinilai berdosa.

Kritik atas Kristologi
Langkah kedua dalam berteologi (pembebasan) feminis adalah analisis atas tradisi. Kristologi merupakan salah satu ajaran Gereja yang paling banyak mengundang kontroversial. Hal ini disebabkan karena Kristologi banyak digunakan sebagai ‘buldozer’ untuk menindas kaum perempuan. Titik penyulut dalam Kristologi adalah cara penafsiran kelaki-lakian Yesus. Kekhususan historis-Nya (laki-laki) juga dilabelkan pada diri Allah, karena Yesus laki-laki maka Allah juga laki-laki. Sehingga gambaran Allah yang dicitrakan seperti seorang perempuan tidak mendapat tempatnya. Namun dalam Kitab Kejadian, sebenarnya tertulis jelas bahwa Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan adalah sama-sama citra Allah, maka tidak ada diskriminasi di sini. Masih bertalian dengan ayat Kitab tersebut Teologi Feminis berpikir bahwa bila laki-laki dan perempuan diciptakan menurut citra Allah maka Allah dapat digambarkan sebagai laki-laki ataupun sebagai perempuan.

Kristologi Pembebasan Feminis
Metode terakhir dalam berteologi (pembebasan) feminis adalah menyelidiki tradisi untuk menemukan unsur-unsur Kristologi yang membebaskan kaum perempuan. Penyelidikan atas tradisi itu akhirnya sampai pada kesimpulan, pertama, pengajaran Yesus memaklumkan keadilan dan damai sejahtera untuk semua orang, termasuk kaum perempuan. Para teolog pembebasan melihat bahwa dalam pengajaran Yesus justru orang yang tersisih dan tersingkir dalam struktur-struktur yang sudah mapanlah yang ditempatkan pertama sebagai pemerintahan Allah, bukan untuk menciptakan diskriminasi melainkan mendobrak pola lama diskriminasi dan menciptakan pola relasi baru. Kedua, Yesus memanggil Allah sebagai Abba juga membebaskan, sebab menurut pemahaman Yesus, Abba adalah kebalikan dari patriarki yang mendominasi. Sebaliknya, Abba yang penuh belas kasih, mesra, dan erat ini membebaskan setiap orang dari pola-pola dominasi. Ketiga, perilaku Yesus yang khas, yaitu memihak kaum marjinal, meliputi kaum perempuan sebagai pihak yang tertindas dari kaum yang tertindas dalam setiap kelompok. Teladan Yesus sendiri telah membuat seorang teolog feminis berkomentar bahwa masalahnya bukan bahwa Yesus itu laki-laki, melainkan bahwa lebih banyak laki-laki tidak seperti Yesus. Keempat, kisah-kisah tentang perempuan dalam Injil ditafsirkan dari sudut pandang feminis, menjadi jelas bahwa meskipun hal ini telah disisihkan dalam tradisi androsentrik, Yesus memanggil perempuan-perempuan untuk menjadi murid-murid-Nya. Kelima, selain berkeliling bersama dengan Yesus di Galilea, perempuan-perempuan yang menjadi murid-murid-Nya juga mengikuti-Nya sampai ke Yerusalem. Keenam, dalam dasawarsa pertama Gereja, ada bukti yang kuat bahwa perempuan-perempuan menunaikan pelayanan yang gigih sebagai rekan dari para laki-laki.
Kristologi Pembebasan Feminis telah menemukan Yesus sebagai Sang Pembebas, bukan dalam arti umum yang berkenaan dengan orang-orang miskin tetapi khususnya berkenaan dengan kaum perempuan. Ia membawa keselamatan melalui hidup dan Roh-Nya, mengembalikan kaum perempuan kepada martabat pribadi yang sepenuhnya dalam Kerajaan atau Pemerintahan Allah., serta mengilhami mereka untuk membebaskan diri dari struktur-struktur dominasi dan subordinasi.

DAFTAR PUSTAKA

Banawiratma, JB dan Sindhunata, Di Bawah Bayang-Bayang Kekuasaan Lelaki, BASIS no 07-08 Tahun ke-45, Yogyakarta, Kanisius, Oktober 1996.

Budi Hardiman, F., Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Chang, William, Berteologi Pembebasan, Jakarta, Obor, Juni 2005.

Gahral Adian, Doni, Tealogi, Spiritualitas, dan Keberpihakan pada Perempuan, dalam Jurnal Perempuan seri 20, Jakarta, Yayasan Jurnal Perempuan, 2001.




Senin, 16 Maret 2009

LUGO DAN PARA WAKIL RAKYAT KITA


Katedral saya bukan lagi sebuah Gereja Keuskupan. Kini seluruh Negara adalah Katedral saya”. (Fernando Lugo)
Demikian kata seorang mantan uskup yang kini menjabat sebagai Presiden Paraguay. Pria bernama lengkap Fernando Armindo Lugo Méndez mengantongi surat suara sebanyak 41% dari pemilih Paraguay yang memungkinkan dirinya keluar sebagai pemenang dalam pemilihan Presiden Paraguay yang berlangsung pada hari Minggu (20/4). Keluarnya Lugo sebagai pemenang dalam pemilu di Paraguay memupuskan harapan Partai Colorado yang selama 61 tahun (sejak 1947) bertengger di kursi kepresidenan. Terpilihnya Lugo sebagai Presiden memiliki alasan yang sangat kuat sebab Partai Colorado yang sudah memerintah sangat lama tidak membawa perubahan yang sangat signifikan, bahkan rakyat menjadi semakin menderita karena lilitan ekonomi yang sangat akut. Angka penduduk miskin mencapai 43%, dari 6,5 juta penduduk negara tersebut (hampir 4 dari 10 penduduk Paraguay miskin), pengangguran mencapai 13%, dan 300.000 petani tanpa lahan. Jumlah warga buta huruf pun sangat memprihatikan. Karena kondisi seperti itulah sebagian besar dari 2,8 juta pemilih menaruh harapan akan adanya perubahan yang dihembuskan Lugo di negara dengan julukan Corazon de America (jantung Amerika).

Dalam tulisan ini penulis ingin menampilkan secara garis besar tentang sepak terjang Lugo dan situasi politik-ekonomi Paraguay yang menggerakkan dirinya untuk duduk di kursi kepresidenan serta pesan yang bisa kita petik dalam persiapan menghadapi pesta akbar lima tahunan (Pemilu) dalam menentukan pemimpin yang berkualitas baik bibit, bebet maupun bobotnya. Tulisan ini juga tidak menutup kemungkinan diperuntukan bagi para pelayan Sabda agar lebih berpihak kepada mereka yang miskin dan tertindas yang menjadi fokus perhatian setiap Buku Suci.

Dalam merancang tulisan ini penulis mengumpulkan informasi dari surat kabar terutama Kompas, majalah Mingguan Hidup dan hasil diskusi yang diadakan oleh PP PMKRI beberapa Minggu lalu (7/9) di daerah Cikini. Pada kesempatan tersebut hadir Robert Bala dan Budiman Sudjatmiko dimana kedua orang tersebut pernah bertemu dengan Lugo dan terlibat dalam pembicaraan bersama mereka. Tulisan ini juga tidak terlepas dari pemikiran pribadi penulis yang menemukan human interest setelah mengetahui sosok seorang Lugo dari berbagai informasi di atas.


Selayang Pandang tentang

Fernando Lugo

Fernando Lugo lahir pada 30 Mei 1951 di San Pedro del Parana, Encarnacion, sebuah kota yang berjarak 370 km dari Asuncion. Lugo berasal dari keluarga yang tidak terlalu religius. Ayahnya seorang politikus dan jarang ke Gereja. Pamannya, Epifanio Menes Fleitas, adalah seorang pembelot dari partai Colorado. Lugo juga memiliki background keluarga petani.

Lugo menamatkan pendidikannya pada umur 17 tahun di sebuah sekolah milik Yesuit. Kemudian ia bekerja di sebuah sekolah di pedalaman (Encarnacion). Pada umur 19 tahun Lugo memutuskan untuk masuk seminari, hal ini bertentangan dengan kehendak ayahnya yang menginginkan dirinya menjadi seorang pengecara. Setelah menamatkan pendidikan di seminari, Lugo melamar ke Serikat Sabda Allah (SVD: Sociedad del Verbo Divino atau Societas Verbi Divini). Pada 15 Agustus 1977 ia ditahbiskan menjadi imam Katolik dan ditugaskan ke Ekuador selama lima tahun, di tempat tersebut ia belajar banyak mengenai Teologi Pembebasan. Bahkan akhirnya ia menjadi pengagum dan peminat Teologi Pembebasan yang antara lain telah mampu membuat dirinya memahami realitas dan ketimpangan sosial. Teologi Pembebasan juga memberi inspirasi bagi tindakan politiknya, menurut beliau ajaran sosial dan nilai-nilai luhur seperti yang diajarkan berbagai agama, perlu diwujudnyatakan bagi masyarakat lapis bawah yang umumnya terlantar atau ditelantarkan.

Pada tahun 1987 ia kembali ke Paraguay. Pada tahun tersebut ia mulai aktif membela kaum tertindas, keterlibatannya mendapat sorotan dari pemerintah hingga akhirnya ia diusir oleh (rezim) militer yang diktator. Pada tahun itu pula ia dikirim untuk belajar di Roma hingga memperoleh gelar licenciat dalam ilmu sosial.

Tanggal 17 April 1994 ditahbiskan sebagai seorang uskup dan ditugaskan di wilayah San Pedro, salah satu wilayah miskin di Paraguay. Selama 10 tahun ia menjabat sebagai uskup, ia mengalami sendiri betapa keuskupannya yang berada di sebuah ibu kota provinsi, hingga kini belum beraspal.


Paraguay dan Perjalanan Politik Lugo

Paraguay adalah sebuah negara kecil dengan area 406.762 km persegi diapit oleh negara-negara besar, seperti Brasil dan Argentina. Paraguay sebenarnya negara yang sangat kaya dengan dua perusahaan Hindricos, yang menggunakan kekuatan air untuk mengaliri listrik Brasil dan Argentina.

Anehnya, sepertiga wilayah negara yang hanya berpenduduk 6,5 juta orang itu belum dialiri listrik. Listrik masih merupakan barang mewah sementara pemerintahnya berjaya dalam korupsi dengan menjual turbin-turbin pembangkit listrik. Bukan itu saja. 60% warganya tergolong miskin. Malah 32% berada dalam kemiskinan absolut. Menurut PBB di antara 10 orang Paraguay hanya satu orang yang memiliki asuransi kesehatan. Sekitar 25% warganya memilih pergi ke dukun untuk mengobati diri bila sakit karena tidak sanggup membeli obat-obatan.

Kekayaan Paraguay tidak hanya itu saja. Ia memiliki bentangan tanah yang sangat luas, muali dari selatan yang berbatasan dengan Argentina hingga ke bagian Chaco (baca: Cako) Bolivia. Sejauh mata memandang, hanya ada bentangan tanah yang luas. Ironisnya, tanah-tanah luas itu sudah bertuan. Tidak sedikit orang Eropa yang sudah memiliki sertifikat atas tanah tersebut. Pemerintah Paraguay sudah menjual tanahnya. Jadi, lebih dari 80% tanah dikuasai oleh segelintir orang kaya. Sementara rakyat Paraguay terpaksa hidup sebagai penyewa di tanah air sendiri.

Keadaan seperti itulah yang membuka mata Lugo dan bersama para petani memperjuangkan kembali tanah-tanah mereka. Dari sudut kegembalaannya sebagai uskup, ia telah berteriak bersama umat. Ia hadir di tengah umat, memperjuangkan kembalinya tanah-tanah yang dikuasai tuan-tuan tanah (latinfundos) kepada para petani. Lugo mulai menggalang kekuatan untuk melakukan reformasi agraria. Kemiskinan bisa dicabut dari petani apabila mereka memiliki lahan sendiri.

Namun usaha tersebut tak semudah membalikkan telapak tangan. Teriakan, seruan, anjuran bak menghadapi tembok beton, mekanisme korupsi sudah mentradisi sehingga sulit diubah kecuali bila dapat masuk ke dalam sistem (pemerintah) dan mengubah situasi di dalam. Atas desakan rakyat yang meminta kesediaannya menjadi Presiden dan terlebih karena realita penderitaan rakyat Paraguay, maka pada tanggal 18 Desember 2006 Lugo mengirim surat pengunduran diri dari jabatan uskup dan imam untuk dapat mencalonkan diri menjadi Presiden. Hal ini ia lakukan karena menurut hukum Gereja dan negara seorang tertahbis dilarang untuk terlibat dalam politik praktis dan menjadi seorang presiden. Keputusan Lugo menuai banyak reaksi dalam tubuh Gereja. Di satu sisi ada yang mendukung namun di sisi lain tak sedikit yang menentang keputusannya, namun demikian dadu telah dilempar dan kini sudah kita ketahui bersama bahwa Lugo telah menjabat sebagai Presiden Paraguay.


Antara Lugo dan Perilaku Wakil Rakyat Kita,

Antara Paraguay dan Indonesia

Lilitan praktek korupsi yang membelenggu Paraguay selama lebih dari enam dekade membawa penderitaan kronis bagi sebagian besar rakyat Paraguay . Padahal seperti yang telah kita ketahui dari informasi di atas, Paraguay memiliki tanah pertanian dan ladang yang sangat luas yang memungkinkan para petani untuk bercocok tanam dan memetik pendapatan dari menjual hasil pertanian dan ladangnya. Syukur bila komoditi tersebut dapat diekspor ke negara lain. Selain itu, Paraguay juga memiliki 2 perusahaan Hindricos (PLTA-nya Paraguay) yang dapat menyumbangkan devisa bagi negara untuk kemajuan dan kemakmuran rakyat. Namun ironisnya rakyat Paraguay seperti tikus yang mati kelaparan di dalam lumbung beras. Rakyat Paraguay hanya bisa menatap kekayaan alamnya dijarah oleh sekelompok kecil orang baik itu pemerintah, para tuan tanah, maupun perusahaan-perusahaan asing. Situasi Paraguay tak jauh berbeda dengan ‘iklim’ di Indonesia, tengok saja kekayaan alam dan harta karun yang terkandung di negara ini. Kita punya industri baja terkenal, tambang emas yang besar, kekayaan laut yang bernilai ekspor tinggi namun sayangnya semua itu tak memberi perubahan kasat mata bagi masyarakat setempat. Lantas kemana perginya semua kekayaan itu?

Kemiskinan, busung lapar, gagal panen karena bibit yang diberikan pemerintah “super letoy”, pengangguran yang membawa efek domino pada meningkatnya kriminalitas, harga BBM yang meroket, korupsi yang kian mengerikan bukan saja karena besarnya jumlah nominal yang membuat rakyat hanya bisa mengelus dada,, tetapi praktek ini dilakoni oleh para wakil rakyat dan penegak keadilan yang nota bene mengemban misi penting demi dan untuk kesejahteraan rakyat menjadi litani penderitaan yang menghiasi hidup harian rakyat.

Litani penderitaan ini kemudian menjadi ladang subur yang dapat dimanfaatkan bagi para calon legislatif dan presiden untuk menebar simpati dan merebut suara dalam pemilu 2009 nanti. Mereka tampil di depan publik, menampilkan gerak dan raut wajah hasil polesan jasa pembangun citra diri yang nilainya berkisar puluhan juta hingga milyaran rupiah untuk sekali tampil dalam pariwara, mereka mengkomersilkan, dan mempertontonkan penderitaan serta perjuangan rakyat mempertahankan hidup. Para caleg dan capres mendadak menjadi mesias meminjam istilah Sukardi Rinakit, yang seolah-olah kedatangannya sangat dinantikan oleh mereka yang miskin, lemah dan tertindas untuk membebaskan rakyat dari himpitan persoalan yang kian menindih, menciptakan keadilan serta membawa perubahan di dunia (Indonesia). Pemandangan tersebut hanya bisa kita alami ketika menjelang pemilu. Selain dari itu seperti yang telah kita ketahui bersama para caleg, capres dan cawapres terpilih sibuk mengadakan syukuran, jalan-jalan ke perbagai daerah dan luar negeri dengan embel-embel kepentingan dinas, mengumpulkan kembali dana yang telah keluar untuk membiayai kampanye dan menyusun strategi untuk membalas jasa kepada partai serta koalisinya dan trik-trik menghadapi pemilu berikutnya sehingga waktu lima tahun tidak cukup untuk membawa perubahan dan perbaikan kehidupan rakyat.

Membaca geliat para wakil rakyat kita di atas sangat jauh berbeda dengan kesan seorang Lugo sebelum dan ketika menjadi presiden. Sebelum menjadi presiden ia turut mengamati, mengalami dan menyerukan kegetiran hidup rakyat Paraguay dengan turun ke jalan menentang pemerintah yang korup. Pemahamannya tentang ajaran Injil, ajaran sosial gereja dan teologi pembebasan yang menekankan pemihakkan kepada orang miskin dan tertindas, cinta kasih dan solidaritas global tidak terkungkung pada tataran teoritis tetapi ia men-dunia-kan (baca: mengkonkritkan) maksud injil, ajaran sosial gereja dan konsep teologi pembebasan dilahirkan agar tidak terkesan omdo (omong doang) seperti yang sering terlontar dari mulut para kaum muda sekarang. Ketika Lugo menjabat sebagai presiden ia tidak perlu menunggu sampai lima tahun untuk membawa perubahan bagi Paraguay tetapi sesaat setelah ia dilantik, ia langsung menghembuskan sebuah perubahan salah satunya menolak menerima gaji presiden. Pola asketis menjadi inner beauty dari seorang Lugo. Pola asketis penting menjadi pola hidup seorang pemimpin atau mereka yang memegang peranan penting di negara ini dimana praktek korupsi sudah berurat akar agar tidak sampai terjerembab (untuk tidak dibilang lagi sial atau apes) kemudian mendekam dalam hotel pro deo namun lebih dari itu untuk memutuskan lingkaran setan (vicious circle) korupsi yang menyengsarakan rakyat. Mungkin kita akan terkejut menyaksikan seorang Lugo beberapa saat sebelum dilantik menjadi presiden, di meja makannya hanya tersaji labu ditaburi mayones sungguh suatu kesan yang jauh berbeda dari pemandangan ketika para calon wakil rakyat kita akan dilantik, tumpeng dan ayam goreng menjadi menu standar dalam acara syukuran tersebut.

Andaikan Lugo orang Indonesia dan menjadi pemimpin negara ini hampir dapat dipastikan ia dapat meniup angin reformasi terhadap carut marut sistem pemerintahan di negara ini yang sarat diwarnai praktek korupsi. Namun sayangnya Lugo memang bukan orang Indonesia apalagi seorang pemimpin di negara yang dulu terkenal sebagai jamrud katulistiwa akan tetapi para petinggi di negara ini dapat mengadopsi pola hidup dan tekad seorang Lugo.

Perubahan tidak akan terjadi apabila para pejabat negara kita malas belajar dan menyelesaikan tanggung jawab mereka sebagai penyambung lidah rakyat sehingga tak heran bila banyak dari mereka terkena cekal.



HENDAKNYA KITA BEREFLEKSI


Kereta bukanlah kereta, sebelum ia dijalankan. Nyanyian bukanlah nyanyian, sebelum ia dinyanyikan. Genta bukanlah genta, sebelum ia dibunyikan. Dan cinta bukanlah cinta, sebelum ia dilaksanakan”

(Gede Prama-Kereta, Genta dan Cinta)


Iklim pada siang hari itu terasa sangat panas seakan-akan membakar kulit, kulit tubuhku yang hitam dibuat menjadi kian legam dan mengkilat karena butiran keringat yang mulai membanjiri sekujur lenganku, seorang temanku pun tak tahan menghadapi iklim yang tak bersahabat seperti ini, kami akhirnya memilih untuk bernaung di sebuah warung yang menjadi langganan kami sekedar untuk pause, membebaskan tubuh dari kegerahan dan membuang dahaga. “mba, pop icenya satu” teriak temanku memesan minumannya, rupanya ia tak bisa menahan lebih lama lagi kekeringan yang terus mencekik kerongkongannya. Bung..lo minum apa? Tanya temanku kepada saya, “waduh...gak usah repot-repot, mau nraktrir ne?” jawabku dengan canda, “Yee, BS (bayar sendiri-sendiri) dong, gw hanya bantu mesenin supaya sekalian pesan” jawab temanku cepat, biasa apa pun makanannya Teh Botol Sosro minumanya, sergahku sambil mencontohi iklan di tv. Tak berapa lama kemudian pesanan kami sudah berada di hadapan kami, kami pun segera menyerumput minuman kami masing-masing, sambil menikmati minuman, saya mengungkapakan niat saya untuk membuat tulisan tentang pengalaman visualisasi beberapa minggu yang lalu, temanku merasa heran kenapa peristiwanya sudah berlalu cukup lama tetapi tulisannya baru hendak keluar, out of date, katanya. Aku hanya bisa terdiam, berpikir tentang pendapat yang disampaikan oleh temanku, apakah aku harus mengurungkan niatku untuk membuat tulisan seputar pengalaman saat visualisasi, atau maju sambil memohon maaf terlebih dahulu dan memohon pengertian dari pembaca untuk bisa memaklumi tulisan saya yang baru nongol kesiangan pasca-visualisasi beberapa pekan silam. Dilemma, mungkin kata yang tepat untuk melukiskan perasaan dan pikiranku saat itu. Entahlah, disaat dahi ini sudah kian berkerut, dan semangat dalam diri kian redup, masih ada saja seberkas cahaya kebijaksanaan yang memberi ilham kepada saya, lebih baik memulai walau terlambat dari pada tidak memulai sama sekali, mungkin (beribu maaf saya sampaikan bila pendapat saya ini salah) hanya sedikit orang saja yang menuangkan pengalamannya (tentang visualisasi) dalam bentuk tulisan, kebanyakan orang hanya meluapkan perasaan secara verbal, Verba volant scriptura manent-kata-kata terbang tetapi tulisan akan tetap tinggal, mungkin mereka yang menuangkan pengalaman visulisasi secara verbal tanpa dibarengi dengan tulisan, dalam kurung waktu sepuluh tahun atau bahkan dua puluh tahun kenangan akan indahnya pengalaman visualisasi akan pudar karena disesaki oleh pelbagai pikiran lain, sedangkan saya yang menuangkan perasaan dalam bentuk tulisan akan tetap terbayang sampai jiwa ini meninggalkan tubuhnya. Karena ilham dadakan itulah akhirnya saya berniat dan membuat tulisan ini.


Visualisasi: Ketika dihadapkan pada pilihan

Setiap manusia pasti pernah dihadapkan pada pilihan, dan setiap pilihan memiliki konsekuensi, mengorbankan yang satu dan menjalani pilihan yang lain. Dan hal itu tidaklah gampang, seandainya anda dihadapkan pada dua pilihan yang sama penting, disaat yang bersamaan dan keduanya menuntut kehadiran anda karena kehadiran anda sangat penting dan dibutuhkan, ibarat memakan buah simalakama, anda pasti merasa bingung memakan buah itu atau tidak memakannya, namun kedua pilihan tersebut mempunyai konsekuensinya masing-masing. Memilih keduanya memiliki konsekuensi memilih yang satu ada konsekuensinya dan tak memilih pun tetap memiliki konsekuensi.

Saya merasa bingung dan merasa serba salah harus menentukan pilihan yang mana, ketika beberapa hari menjelang pementasan dan tinggal dua hari merampungkan pementasan saya mendapat tawaran pekerjaan, saya berpikir untuk membuang dadu, menentukan pilihan mana yang harus saya ambil, menyetujui tawaran pekerjaan dan absen saat gladi bersih, atau sebaliknya melanjutkan terus persiapan visualisasi dan melepaskan rejeki yang berada di depan mata. Berat bagiku untuk membuang pilihan, tapi seperti kata pepatah the show must go on, maka setelah melalui sebuah ‘proses’ saya memilih untuk mengikuti persiapan visualisasi. Memang ada perasaan yang sulit untuk dibahasakan saat saya membuang kesempatan melewatkan rejeki tetapi saya yakin bahwa suatu hari nanti pasti ada kesempatan untuk kedua kalinya, karena saya yakin bahwa Allah itu Maha Pengasih, apalagi pilihan yang saya tekuni demi kebesaran nama-Nya dan demi perkembangan iman umat-Nya, dan benar harapan saya kemudian menjadi kenyataan, dua minggu setelah visualisasi saya mendapat panggilan untuk bekerja dan rejeki yang saya dapat dari pekerjaan tersebut saya gunakan untuk kebutuhan saya mendaftar di salah satu universitas di Jakarta.

Sahabat-sahabatku, setiap pilihan dan akhirnya sampai pada saat anda memilih salah satunya selalu mengandung resiko dan keberuntungan. Keputusan apa pun yang kita ambil, itulah yang terbaik bagi kita; jangan disesali jika akhirnya kurang berhasil. Yang penting, berdoalah dulu kepada Tuhan, agar kita dibimbing-Nya dalam menentukan keputusan terbaik bagi kita.


Visualisasi: Ruang untuk berefleksi

Pada tanggal 5 April 2007, saya mendapat sebuah pesan singkat (SMS) dari salah seorang teman saya yang sedang menyelesaikan gelar sarjananya pada salah satu universitas swasta di kota gudeg, Yogyakarta. Pesannya berbunyi “ Setiap perbuatan baik yang kita lakukan dengan tulus kepada sesama adalah tabungan untuk diri kita sendiri...itulah cara bagaimana kita mengumpulkan poin...merayakan hidup dan menikmati hasil kesehatan jiwa dan raga...apa kataku tentang Yudas yang menjual Yesus hari ini? Perjamuan terakhir sebagai simbol saling mengasihi seumur hidup” hati terdalamku tersentuh selesai aku membaca pesan singkat yang dikirim oleh teman, pesan tersebut seakan mendapat pemenuhannya ketika pementasan visulisasi berlangsung, adegan demi adegan yang ditampilkan menghantar saya untuk masuk secara lebih mendalam ke alam refleksi, tentang penghianatan, ketakutan menghadapi kesulitan, kebohongan, pengorbanan, cinta yang tulus, dan lain sebagainya. Sejujurnya, pengalaman visualisasi sebenarnya mengangkat perilaku-perilaku manusia zaman sekarang, bila tak berlebihan saya mengatakan bahwa sebenarnya banyak dari kita turut menyalibkan Yesus, untuk yang kedua kalinya lewat tutur kata dan perbuatan kita setiap hari. Kalau kita mau terbuka, terkadang kita pun sama seperti Yudas, penghianat. Kita menghianati teman, guru, pasangan, orang tua dan Tuhan dengan membeberkan janji palsu. Kita juga terkadang seperti Petrus, penakut dan pembual yang mengaku setia namun menjadi ciut ketika bahaya menghadangnya. Atau kita juga pernah bersikap seperti Pilatus, selalu mencuci tangan, tak mau tahu dan tak ingin terlibat dalam maslah padahal sikap kitalah yang menjadi sumber masalah, mengambil keputusan tidak bijaksana dan diganti dengan prinsip ABS (Asal Bapa Senang) demi mempertahankan dan menaikan pamor kita dihadapan orang-orang, namun berapa orang yang dapat bersikap seperti Yesus, mencintai semua orang hingga mengorbankan diri-Nya untuk menanggung semua salah dan dosa yang telah kita lakukan. Yesus mengajarkan dan memberi teladan tentang arti sebuah cinta, cinta bukanlah cinta sebelum ia dilaksanakan. Saya akhirnya kembali teringat akan sepatah kalimat yang berbunyi siapa yang berani mencintai ia harus berani berkorban, apakah anda sudah siap untuk mencintai...??

Jika kita tanggap visualisasi bukanlah show atau lakon pada sebuah locus, visualisai lebih sebagai sebuah medium yang membawa anda dan saya ke dalam suatu ruang refleksi tentang sepak terjang kita di bumi ini dan bagaimana kita menata hidup menjadi kian indah baik bagi Tuhan, orang lain dan diri sendiri. Hal inilah yang saya temukan dalam visualisasi kali ini, ia (visualisasi) membawaku masuk ke dalam permenungan dan memberi ajaran moral bagi saya untuk mempercantik tutur kata dan perbuatan saya. Terima kasih...

ASTAGA KRISIS CINTA

Kita sedang mengalami krisis saat ini. Baik itu krisis Ekonomi, krisis politik maupun krisis cinta. Mungkin tanpa kita sadari eksistensi cinta menjadi ‘kebutuhan’ yang sangat langka kita jumpai sekarang dengan melihat situasi hidup kita saat ini. Silahkan kita tengok fenomena yang ada di luar sana, perang menjadi sebuah solusi yang efektif untuk menangani konflik, tawuran menjadi muara penyelesain masalah bagi para akademisi (bdk. Tawuran antar mahasiswa di Makassar dan di Jakarta), beberapa hari lalu dalam pemberitaan media elektronik seorang bapa di Bekasi tega mengendera anak kandungnya yang masih berada di bawah umur, masih banyak kasus lain yang membuktikan bahwa cinta kian tergerus dalam diri manusia. Dengan demikian teori filosofis Gabriel Marcel yang mengatakan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk yang mencinta tidak berlaku lagi saat ini, bahwasanya ketika cinta dipertemukan dengan naluri menguasai, keserakahan dan kepentingan pribadi, manusia rela menyantap sesamanya, manusia telah berubah wujud menjadi pemangsa yang mengerikan dan mengancam kehidupan orang lain. Hal ini pun diamini oleh Thomas Hobbes, seorang filsuf perintis aliran empiris modern, Hobbes mengatakan bahwa manusia pada dasarnya ingin menguasai yang lain dan akhirnya terciptalah perang antar sesama, karena yang lain pun ingin mempertahankan dan merebut kekuasaan lain, kekuasaan di luar diri atau kelompoknya, situasi seperti ini dinamakan Hobbes sebagai bellum omnes contra omnia, atau perang semua melawan semua. Dalam perang tesebut, manusia adalah serigala bagi sesamanya, homo homini lupus, yang saling memangsa dan menjadikan sesamanya korban.

Defisit nilai suatu cinta juga nampak dari sikap kita memperlakukan alam. Eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran tanpa dibarengi rasa tanggung jawab, kebiasaan nyampah, budaya konsumeristik yang memberi dampak negatif bagi keseimbangan alam serta kemajuan teknologi yang tak ramah linkungan menjadi indikator pupusnya rasa cinta dan penghargaan kita pada alam sehingga jangan heran bila alam pun pada akhirnya menjadi ‘buas dan mengamuk’ hingga manusia dibuat tak berdaya olehnya.

life is pain, life is fear,

and man is unhappy

now all is pain and fear.

Now man lives because he loves pain and fear

(Dostoevsky, Demons)

Ketakutan,kengerian,ratap tangis dan sembilu yang menyayat hati telah menyelimuti kehidupan kita dewasa ini. Tanda-tanda kehancuran kosmos (mikro maupun makro) telah hampir sampai pada tapal batas, inilah buah yang kita petik dari ketiadaan cinta di dalam diri kita. Dengan demikian benar apa yang dikatakan Ibu Teresa dari Calcuta bahwa “Kehancuran di dunia pertama-tama tidak disebabkan karena peperangan tetapi karena ketiaadaan cinta”.